Ingatanku melayang ke masa silam, lebih dari seperempat abad yang lalu, sewaktu aku masih menjadi salah seorang santri di Pesantren Darun Nahdhah Thawalib Bangkinang; sebagai satu-satunya pesantren yang paling terkenal di Propinsi Riau kala itu. Didirikan pada 1948 M oleh - Allah yarham - Abuya K.H. M. Nur Mahyuddin, sebagai seorang ulama yang kesohor dengan keteguhan pendiriannya memegang prinsip di daerah kami... Dan pada masa tersebut masih dibawah pimpinan dan asuhan beliau juga…
Sebagai pesantren yang bercita-cita menciptakan ulama, maka di sini diterapkan kurikulum khusus dengan tujuh puluh lima persen untuk pelajaran agama dan dua puluh lima persen untuk pelajaran umum; sedang waktu belajar selama tujuh tahun.
Jalan utama terhampar dari selatan ke utara yang menghubungkan antara kompleks pesantren dengan jalan umum dan sungai Kampar. Sungai ini bagi kami memiliki multifungsi, seperti; tempat mandi, mencuci pakaian, tempat buang air besar dan keperluan bersuci lainnya.
Ada jenjang batu dengan sejumlah anak tangga untuk menuruni sungai. Pada bagian atas jenjang batu terdapat tempat duduk yang biasa kami pergunakan sebagai tempat bercengkerama. Dan pada malam hari dari tempat ini kami dapat menikmati keindahan kota Bangkinang yang terlihat benderang dari seberang sungai… atau, berbagi cerita tentang berbagai hal di bawah cahaya bulan purnama.
Di pinggiran sungai terdapat bronjongan kawat yang diisi dengan batu-batu sebesar betis dan paha orang dewasa, untuk penahan tebing sungai dari bahaya banjir di musim hujan yang datang melanda. Bronjongan ini dibuat oleh para santri… sedangkan batu-batu itu dipungut oleh para santri dari sungai, yang biasanya dikumpulkan oleh santri yang dijatuhi hukuman tertentu karena melakukan suatu pelanggaran atas tata tertib pesantren.
Di samping bronjong kawat berbatu, kami juga menanam aur atau bambu penahan tebing… Dan di bawah rindang bambu-bambu itulah kami biasa beristirahat, atau berbagi kisah tentang cinta dan tentang kehidupan; sambil menikmati hembusan angin yang datang dari jurusan sana.
Kalau kita memasuki kompleks pesantren dari jurusan sungai dan jalan umum yang berjarak kurang lebih seratus lima puluh meter, maka kita akan melihat pandam perkuburan yang kurang terawat di sebelah kanan, dan hamparan sawah di sebelah kiri hingga perkampungan. Lalu… kita akan menyaksikan bangunan sekolah berbentuk letter L yang membelintang dari timur ke barat.
Bagian tengah bangunan yang membelintang ke barat, terdiri dari dua lantai, dengan tambahan satu lokal “serba guna” di depannya... Di atas bangunan tadilah kita menemukan nama “Darun Nahdhah Thawalib Bangkinang” terpampang jelas serta catatan tahun awal didirikan “1948” yang ditulis dengan huruf Arab Melayu. Lalu…
Kitapun menyaksikan asrama putera bersahaja di kiri kanan kompleks yang membujur dari timur ke barat dan dari utara ke selatan, di samping beberapa asrama yang berdiri secara acak di sana sini. Hampir seluruh bangunan berlantai dan berdinding papan…, serta beratap daun rumbia... Hanya segelintir saja –seingatku- yang beratap zeng. Memang… Tata bangunan ini tidaklah dapat dikatakan rapi dan asri… tetapi di kompleks ini terdapat beratus-ratus santri yang datang dari berbagai daerah di propinsi Riau; baik daratan maupun lautan.
Sebenarnya, di samping asrama putera yang ada di sekitar kompleks sekolah, terdapat asrama putera lain; yang berjarak kurang lebih dua ratus meter ke arah barat… Kompleks “asrama lama” – demikian kami menyebut - berada tidak jauh dari pinggiran sungai Kampar, dan umumnya dihuni oleh para santri yang berasal dari daerah Bangkinang sendiri, yang wajib tinggal di asrama; setelah menduduki bangku kelas empat.
Sedangkan asrama puteri - yang bangunannya tidak jauh berbeda dengan asrama putera - berada di lokasi rumah tempat tinggal Abuya pimpinan, yang jaraknya kurang lebih dua ratus meter juga dari kompleks sekolah. Tetapi lokasi asrama puteri relatif lebih terjaga keamanannya, dan dikelilingi kawat berduri. Namun untuk keperluan MCK, biasanya santriwati juga memanfaatkan jasa sungai Kampar…
Pada malam hari kami mempergunakan penerangan lampu minyak tanah. Namun, bila acara “sidang pelanggaran” atau “muhadharah” diadakan, maka kami biasa menyalakan lampu petromax…
Kehidupan kami sebenarnya jauh dari standar kesehatan yang diharapkan…
Tetapi sama sekali tidak mengurangkan semangat kami dalam menuntut ilmu, atau meraih cita-cita seperti bintang di langit.
Meskipun dalam satu ruangan asrama yang berukuran tiga kali empat meter, dihuni oleh empat orang santri atau lebih, namun pada umumnya kami masak sendiri-sendiri, di samping ada juga yang masak bersama… Tetapi, biasa berbagi kalau ada sesama teman yang meminta makanan… dan makanan yang kami konsumsi umumnya jauh dari standar makanan bergizi. Bayangkan, hampir setiap hari seluruh kami mengkonsumsi nasi bersama tumisan kol dan ikan teri plus cabe giling yang sudah agak asam rasanya… tetapi, sama sekali tidak mengurangi selera makan kami.
Untuk memasak tersebut kami memanfa’atkan air sumur yang berwarna kuning, kemudian disaring melalui alat penyulingan sederhana, terdiri dari lapisan ijuk, kerikil dan pasir. Dan umumnya kami mengkonsumsi air mentah tadi untuk diminum. Maka tidaklah mengherankan mengapa kami diserang oleh penyakit gatal-gatal, yang lazim kami garut sambil menyanyikan hapalan tashrif (perubahan kata-kata dalam tata bahasa Arab). Kami menamakan perbuatan begini dengan “bermain gitar pekak”.
Aktifitas santri diikat dengan tata tertib pembagian waktu dua puluh empat jam sehari semalam… mencakup waktu untuk belajar, memasak, shalat, bermain, bermuzakarah, beristirahat tidur dan lain sebagainya. Maka barangsiapa yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sangsi hukuman, sesuai dengan tingkat kesalahannya…
***
Di sini aku menjalani awal masa remaja dengan beribu kenangan yang tak terlupakan sepanjang hidupku. Ada yang manis dan ada pula yang pahit… tetapi semuanya membawa hikmah yang bermanfa’at dalam perjalanan hidupku… banyak pelajaran yang dapat aku petik di sini, antara lain tentang pentingnya arti keadilan dan bahaya fitnah…
***
Suatu hari serombongan itik milik penduduk yang tak jauh dari kompleks masuk ke dalam ruang belajar. Hari itu hari libur, tak ada seorangpun di ruangan itu… Itik-itik tadi terperangkap di dalam lokal dengan suara gaduh berisik. Mereka berak di sana sini yang tentu saja mengotori ruangan…
Aku berlari menghalau itik-itik nakal, tetapi mereka berlari berputar-putar di sana.
Agar itik-itik ini tidak memasuki lokal sebelah, maka aku menutup pintu yang menghubungkan ke dua lokal itu. Dan membiarkan dua buah pintu muka dan belakang terbuka lebar, dengan maksud; supaya itik-itik ke luar di sana dan tidak memasuki lokal sebelah atau mengotorinya…
Rupanya perbuatanku ini dilihat oleh teman santri lain, dan tanpa melihat realitas sebenarnya, lalu melaporkan kepada ketua asrama, bahwa aku mengurung itik-itik di lokal. Padahal aku sama sekali tidak berbuat demikian…
Ketua asrama berintial J marah besar. Ia menelan mentah-mentah laporan itu… Aku berusaha menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Tetapi J tetap menolak. Karena memang dilihatnya pintu penghubung masing-masing lokal, tertutup rapat...
Ketika sidang pelanggaran yang diadakan setiap malam rabu itu, maka diangkatlah kasusku tadi ke persidangan yang dipimpin oleh Abuya sendiri.
Aku dituduh melakukan kesalahan besar“sengaja mengurung itik dalam lokal hingga kotor” dan seluruh santri yang hadir tertawa mengejekku, menggelariku dengan sebutan tidak senonoh... Aku malu bercampur geram…
Aku membela diri tetapi ucapanku tidak digubris, karena ketua asrama dan teman santri tadi sebagai saksi. Maka dijatuhilah aku sangsi hukuman; yang secara fisik tidak seberapa. Tapi… semenjak peristiwa itu pula para santri menjuluki aku dengan nama “si… itik”.
Gelar memuakkan ini tetap disandangkan kepadaku bertahun-tahun sepanjang aku masih belajar di pesantren, bahkan oleh mereka yang biasa menjuluki demikian; meskipun kami telah menamatkan pendidikan di pesantren ini…
Peristiwa itu telah berlalu lebih seperempat abad silam, namun kenangan ini tidak pernah hilang dari ingatanku… membentuk luka yang meninggalkan bekas dan empati mendalam… Aku mema’afkan mereka semua, tetapi aku tidak dapat menghilangkan kenangan pahit itu hingga kini… Setiap aku mendengar atau menyaksikan suatu kasus yang dituduhkan kepada orang lain, maka kenangan tadi mencuat ke permukaan. Dan aku bergumam “semoga orang tersebut terhindar dari tuduhan atas perbuatan yang sama sekali tidak dilakukannya…”
Hanya Allah SWT Hakim Yang seadil-adilnya….!
Rabu, September 03, 2008
TENTANG SUATU TUDUHAN…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar