Jumat, September 05, 2008

PANCARAN KEBAHAGIAAN DI WAJAH AYAH

Kampung Petapahan (Tapung), masa itu (1979 M) termasuk Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Riau, merupakan perkampungan terpencil… Dikelilingi hutan lebat… dialiri sungai Tapung, sebagai anak sungai Siak yang membentang memanjang sampai ke kota Pekan Baru dan bermuara ke Selat Malaka terkenal itu…

Penduduknya cukup ramai dan hidup makmur, terdiri dari suku Melayu dengan berbagai mata pencahariannya, seperti; bertani, menyadap karet, menangkap ikan, memungut hasil hutan, kerajinan tangan dan lain-lain...

Masyarakatnya hidup dalam suasana religius dan seluruhnya beragama Islam, serta memegang teguh adat tradisi mereka, seperti tidak membiarkan anak gadis remaja atau yang belum berkeluarga keluar rumah tanpa alasan tertentu….

Kerajinan tangan yang paling terkenal adalah membuat tudung saji, dengan bentuk dan warna yang unik... Terbuat dari bahan; bambu muda yang dibelah tipis dan dikeringkan, bagian dalamnya dilapisi dengan daun (sejenis daun nibung), dan bagian pinggirnya yang melingkar diapit dengan rotan yang terikat rapi. Lalu diwarnai dengan cat minyak dengan background berwarna merah. Diberi lukisan bermotif bunga-bunga, serta lukisan antik yang tidak aku pahami artinya… Tudung saji ini dipasarkan terutama ke daerah kami Limo Koto, yaitu: Kuok, Salo, Bangkinang, Air Tiris, Rumbio, bahkan Kampar, Danau Bingkuang, dan daerah lainnya di Riau… Konon tudung saji buatan orang Petapahan ini termasuk benda kerajinan khas Riau yang dipajang di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

Menurut riwayat… perkampungan ini mempunyai sejarah yang mengakar dengan kerajaan Siak Indrapura, dan di sini banyak terdapat keturunan bangsawan yang dipanggil dengan sebutan “sayid”. Mereka yang dipanggil “sayid” ini konon dipercayai sebagai keturunan bangsawan kerajaan Siak, dan mempunyai hubungan darah dengan keluarga Rasulullah SAW; Fatimah dan Ali; radhiyallahu ‘anhuma… Wallahu a’lam…

Barang-barang keperluan ekonomi didatangkan dari kota Pekan Baru dengan melayari sungai Siak dan memasuki sungai Tapung, atau melalui jasa pedagang asongan yang datang dari daerah kami; Sungai Tonang dan Bangkinang; dengan menembus hamparan hutan lebat dan perbukitan sejauh kurang lebih tiga puluh kilo meter…

Pedagang ini biasanya mendatangi Petapahan pada hari Kamis dan kembali lagi ke kampung halaman pada hari Sabtu…

Ayahku termasuk salah seorang pedagang asongan ke perkampungan ini… Dengan usaha inilah ayahku membiayai keperluan keluarga dan kebutuhan sekolahku, yang sebenarnya jauh dari cukup… Dan oleh sebab itu pulalah ibuku harus bekerja membanting tulang guna membantu memenuhi kebutuhan keluarga kami…

***

Pada bulan ramadhan sekolah kami libur total…

Masyarakat kami menghormati anak pesantren DN (Darun Nahdhah) dan mengandalkan kami dalam mengisi kegiatan ramadhan, seperti memberikan ceramah…, bagi yang sudah baligh dan dipandang mampu, bahkan ditunjuk menjadi imam shalat.

Tiga tahun sudah aku di pesantren DN, karena aku masuk pesantren langsung duduk di kelas II… maka setelah libur puasa nanti aku akan duduk di bangku kelas V…

Bulan puasa itulah pertama kali aku mengikuti ayahku ke Petapahan…

***

Ada kenangan indah yang tersimpan dalam memori, tentang kasih sayang seorang ayah kepada anaknya…

Pagi-pagi kami sudah bangun.

Ayah menempatkan barang dagangannya yang terdiri dari barang kelontong dalam sebuah keranjang yang terbuat dari rotan dan diberi tali penyandang kiri kanan, persis seperti ransel… Keranjang demikian di kampung kami disebut “ambung”, sementara beban bawaanku ditempatkan pada keranjang lain yang bermuatan lebih ringan…

Kami menempuh perjalanan bersama rombongan yang setujuan…

Masing-masing kami mendayung sepeda sejauh perjalanan kurang lebih sepuluh kilo meter, hingga Koto Sungai Tanang, yaitu; sebuah perkampungan terpencil di jurusan utara kota Bangkinang setelah melewati perkebunan karet dan rimbunnya hutan belantara…

Perjalanan dengan mendayung sepeda ini tidaklah berjalan mulus, karena sewaktu-waktu kami harus turun dari sepeda dan mendorongnya bila bertemu dengan jalanan yang becek atau semak belukar, atau menuruni bukit dan mendaki lagi.

Keletihan mulai menjalari tubuhku…

Aku seka keringat yang membasahi kening dan bergumam di hati “masih jauhkah lagi jalan yang akan ditempuh”…

Ayahku biasa-biasa saja…, meskipun terlihat bayangan keletihan di wajahnya, tetapi beliau tiada mengeluh…

Matahari telah naik tinggi... Kadang-kadang cahayanya terlihat menembus celah-celah rimbunnya dedaunan di hutan, dan kadang-kadang bersinar terik membakar ubun-ubun; sa’at kami melewati padang ilalang atau semak belukar yang rendah di sana sini…

Dari Koto Sungai Tanang kami meneruskan perjalanan berjalan kaki membawa beban di punggung, menembus hutan belantara menuruni lurah dan mendaki perbukitan sejauh kurang lebih dua puluh kilo meter…

Ada jalanan becek dan belukar menghadang langkah… Napas terasa sesak kala mendaki bukit… Kaki terasa tegang kala menuruni lurah… Aku kepayahan, namun tetap melangkah, dan tetap berpuasa, begitupun ayah dan seingatku; anggota rombongan kami juga berpuasa...

Aku lihat ayahku memandang kepadaku… dan bertanya: “Apakah masih kuat berjalan membawa beban?!”

Aku menjawab: “Masih!”, walaupun sebenarnya hatiku menjerit “letih…!”

Sekian lama menempuh jalan, maka di Sibuak (nama tempat di belantara) kami berhenti…

Kami melepas lelah di bawah sebatang pohon rindang… Beberapa meter dari tempat itu terlihat anak sungai mengalir jernih sekali… Terdengar desiran air yang ditingkahi suara siamang dan marga satwa lainnya di hutan… Di sanalah kami shalat zuhur dan beristirahat mengumpulkan tenaga bagi berjalanan berikutnya…

Dalam perjalanan yang melelahkan itu, selalu saja ayah bertanya: “Apakah masih kuat dan mampukah membawa beban?!”

Selalu saja aku menjawab “masih!”… Namun dengan hati yang mengeluh “lelah!”

Dalam kelelahan, ada bisikan kalbu tentang perjuangan ayah tak kenal lelah membesarkan kami… Ada rasa kasihan dan cinta kepada ayah mengetuk hatiku…

Dan… dari sorotan mata ayah, aku melihat sinar kasih sayang yang tidak pernah aku rasakan pada kesempatan lain… Pada kesempatan lain sikap ayah kadang-kadang menjengkelkan… Bahkan bila marah beliau sering berlebihan kepada kami anak-anaknya… suka menghardik dan memukul keras, tetapi kemudian beliau tampak menyesal, lalu bersikap lunak dan menghibur….

Barangkali sorotan mata ayah ini menyiratkan suatu pesan dan harapan “bersungguh-sungguhlah kamu menuntut ilmu, semoga masa depanmu lebih cerah dari yang kita alami sekarang”, kira-kira begitu; mungkin!

Hari menjelang sore, sinar matahari panas sekali… Kerongkongan terasa pahit. Dari kejauhan mulai terlihat pucuk-pucuk kelapa melambai, sebagai pertanda bahwa sebentar lagi kami sampai di perkampungan Petapahan.

Setelah melewati semak belukar dan padang ilalang, maka kami turun menyeberangi sebuah sungai dangkal, berair jernih. Sungai ini seperti sebuah pagar pemisah antar perkampungan dengan hutan terhampar. Kalau bukan karena sedang berpuasa, mau rasanya aku meminum air mengalir itu sepuas-puasnya agar dahaga hilang membakar tenggorokan…

Kami disambut masyarakat yang ramah dengan sapaannya yang khas: “Tibo Cu?... Tibo…?!”

Kami beristirahat dan menginap di rumah kenalan ayah, yang tak obahnya seperti keluarga sendiri…

Di kampung ini juga terdapat kawan-kawanku yang sama-sama sekolah di pesantren DN. Mereka umumnya pintar belajar dan menjadi juara di kelas… Dan seperti lazimnya kami anak-anak pesantren DN di mana saja berada, kami terikat dengan rasa persaudaraan dan solidaritas yang tinggi… Meskipun, biasa selama di kompleks, antara kami terjadi ketidak serasian… namun, bila telah berada di tempat lain, maka kami tak obahnya seperti saudara dekat… Ikatan emosi seperti ini tetap bertahan sepanjang hidup kami.

Meskipun rasa letih masih belum hilang, dan betisku serasa remuk karena lelah… namun malam harinya kami tetap ikut dengan masyarakat melaksanakan ibadah shalat fardhu dan qiyamu ramadhan di masjid…

Esoknya hari jum’at…

Aku beristirahat di rumah kenalan ayah yang ramah… Pagi itu pertama kali aku melihat ayah menjajakan dagangannya dari rumah ke rumah… Ada rasa malu yang menusuk kalbuku, dan… aku tak tahu entah kenapa…?! Ada rasa kasihan kepada ayahku…, dan ada suatu dorongan untuk mengukir masa depan yang lebih baik dari yang kami alami kini…

Waktu shalat jum’atpun tiba…

Entah karena usulan kawan-kawanku, atau karena apa; maka pengurus masjid meminta agar aku bertindak menjadi khatib jum’at… Inilah tawaran kehormatan yang tidak dapat aku tolak… Padahal aku seorang remaja belia, anak pedagang asongan yang datang dari balik rimba sana…

Aku lihat pancaran kebahagiaan di wajah ayah, kala aku berkhutbah… meskipun kebahagian itu dibayangi oleh perjalanan menempuh hari esok dengan segala kelelahannya...

Puluhan tahun sudah berlalu…, sekarang ayahku telah terbaring di tempat peristirahatannya yang terakhir… Petapahan kini telah menjadi negeri yang maju, hutan belantara telah digantikan oleh pemukiman transmigrasi dan perkampungan baru, pohon-pohon liar digantikan oleh hutan sawit dan karet… Jalan setapak telah berobah menjadi jalan raya beraspal beton… Namun pemandangan masa lalu masih tersimpan dalam kenangan, membawa indah nyanyian kehidupan!

Dan… Aku sekarang telah menjadi ayah bagi tujuh orang anak-anakku, maka mengertilah aku sekarang tentang arti kasih sayang dan tanggung jawab seorang ayah kepada anak-anaknya… Tentang emosi yang kadang-kadang meluap karena anak-anak bertingkah… Tapi, tetap saja mengharapkan semoga anak-anakku mempunyai masa depan yang lebih baik dan cerah…!

“Ya Allah! Ampunilah dosa-dosaku, serta dosa-dosa kedua ibu bapakku… Kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihaniku semasa kecil…”

2 komentar:

  1. tetaplah menjadi seorang ayang yang menjadi teladan buat anank anak mu...??? mengertilah dg kondisi anak anak mu...??

    BalasHapus
  2. teringat juga disaat menanti ayah pulang..rasa bahagia disaat ayah membawa depang untuk kita...kasih sayangnya masih terasa sampai sekarang bahkan sampai kapan pun..semoga kakanda menjadi ayah yang tauladan buat anak-anak kakanda..amin..disaat usia senjanya ayah tak pernah menysahkan kita..keadaan yang membuat begitu..Semoga ALLAH melindungi Ayah di alam sana..AMIN...

    BalasHapus