tag:blogger.com,1999:blog-76685402989811188562024-02-07T10:07:54.848+07:00Kompilasiبسم الله الرحمن الرحيم
Bunga Rampai pemikiran tentang agama dan kehidupanAbdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.comBlogger24125tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-7045159318009710832013-10-10T01:15:00.005+07:002013-10-10T01:15:41.202+07:00TENTANG ANAK-ANAK SHALAT PADA SHAF ORANG DEWASA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div>
<h2 class="_5clb">
</h2>
</div>
<div class="mts _50f8">
<span class="timelineUnitContainer"></span></div>
<div class="_5k3v _5k3w clearfix">
<div>
Pada
waktu senggang saya biasa menghabiskan waktu untuk bereakreasi
memancing ikan... Dan hari ini saya pergi memancing bersama putera
bungsu saya yang duduk di bangku kelas II SD, dengan tujuan Muara Batang
Sikerbau, atau Muara Pasar Air Bangis.<br />
<br />
Keberangkatan
kami dari Ujung Gading menuju Air Bangis kebetulan sudah mendekati waktu
zuhur. Maklum, berangkat setelah si bungsu pulang sekolah…. <br />
<br />
Demikianlah, kami menunggu waktu shalat Zuhur di Masjid Nurul Iman Pasar Air Bangis. <br />
<br />
Kurang
lebih dua puluh menit berselang, azan Zuhur-pun dikumandangkan oleh
seorang muazzin tua; mungkin beliau adalah gharim masjid bersangkutan…
Lantas… tibalah waktu shalat diiqamatkan.<br />
<br />
Mengingat
jama’ah shalat anak-anak pada waktu itu hanyalah putera saya seorang…,
maka saya sengaja membawanya ke ujung shaf sebelah kiri, dengan maksud;
agar tidak membaur di tengah shaf orang dewasa.<br />
<br />
Rupanya
orang tua (muazzin itu), menyusul kami yang berada di sudut shaf
sebelah kiri –padahal baru saja beliau iqamat dan semestinya beliau
berada di belakang imam— lantas tanpa terduga sama sekali, si orang
tua ini membentak saya dan hendak mengusir anak saya dari shaf shalat
sambil mengatakan:<br />
<br />
<i>“Di sini anak-anak tidak boleh shalat pada shaf orang dewasa!”</i><br />
<br />
Saya
mengerti dengan ucapan beliau bahwa; dalam aturan yang ideal tentang
shaf shalat, maka shaf anak-anak laki-laki hendaklah berada di belakang
shaf orang lelaki dewasa… <b>Tetapi, dalam kajian Hadits dan Fiqhi juga ditemukan larangan shalat sendirian di belakang shaf, meskipun anak-anak…</b>
Oleh sebab itu –seperti kami terapkan pada Masjid Raya Ujung
Gading—apabila ada seorang anak laki-laki saja yang mengikuti shalat
berjama’ah, maka kami menyuruhnya untuk berada pada ujung shaf orang
dewasa.<br />
<br />
Perbuatan kasar orang tua itu, dengan lemah lembut saya tanggapi:<i>“Tetapi, Bapak! Nabi SAW melarang shalat sendirian di belakang shaf”.</i><br />
<br />
Dengan nada yang lebih keras, beliau membentak lagi: <i>“Suruh dia bersandar ke tiang itu, atau duduk di belakang!” </i>Maksudnya: <b>Tidak usah ikut shalat!</b><br />
<br />
Suasana
tidak kondusif, rupanya…. dan tidak pada tempatnya untuk berdebat,
apalagi shalat sudah diiqamatkan, tambahan pula; para jama’ah lain-pun
memandang ke arah kami. <br />
<br />
Akhirnya, saya mundur ke
belakang bersama anak saya yang hendak diusir shalat oleh orang tua itu,
guna menemani sang anak pada shaf kedua di belakang shaf orang dewasa.<br />
<br />
Dari peristiwa itu, lama sekali saya berpikir:<br />
<br />
1.
Mengapa orang yang pada lahirnya adalah ahli ibadah menempuh cara yang
tidak Islami dan kasar kepada sesama muslim hanya karena masalah
fiqhiyah sedemikian rupa? Apa salahnya memberi pengertian dengan cara
yang bersahabat, mengingat kita sebagai sesama mukmin yang akan
bermunajat kepada Ilahi Rabbi…?! tambahan pula posisi kami sebagai tamu,
yang sudah barang tentu tidak mengerti situasi kondisi yang berlaku
selama ini di masjid itu?!<br />
<br />
2. Apakah di Air Bangis,
khususnya di Masjid Nurul Iman Pasar Air Bangis, diharamkan anak-anak
shalat pada shaf orang dewasa, walaupun dengan alasan sang anak
sendirian di belakang shaf?! Ataukah mereka menganggap batal shalat bila
shaf orang dewasa dimasuki anak-anak…? <b>Jika hal demikian telah menjadi paham keagamaan bagi mereka, maka menurut saya ini adalah perkara besar yang menyesatkan!</b><br />
<br />
Demikianlah!<br />
<br />
Jika
pemahaman fiqhi yang kaku diterapkan, maka boleh jadi kita akan
mengorbankan prinsip Islam yang lain, yang jauh lebih urgen dan
substansial dari paham fiqhi yang sempit itu sendiri.<br />
<br />
UG, 9 Oktober 2013 pukul 21:10 </div>
</div>
</div>
Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-4312633761879749572013-09-20T20:44:00.000+07:002013-09-20T20:44:12.057+07:00TALI KASIH SAYANG<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div>
<h2 class="_5clb">
</h2>
</div>
<div class="mts _50f8">
<span class="timelineUnitContainer"></span></div>
Ketika
orang dekat kita, atau orang yang kita sayangi dan cintai pergi
meninggalkan alam fana ini, maka kenangan-kenangan masa lalu kembali
muncul dalam memori ingatan kita, sehingga kita rindu hendak kembali
bersama mereka lagi. Kerinduan itu semakin membesar dan tidak
tertahan-tahan menyenak di dada sehingga air mata-pun mengucur tanpa
terasa... <br />
<br />
"Itulah tanda rahmat dan kasih sayang", sabda Rasulullah SAW.<br />
<br />
<b>Rasa kasih dan sayang</b>
adalah karunia Allah SWT yang sangat besar kepada insan; Yang dalam
literatur Islam disebut dengan "rahim" atau "rahmat"... Begitu agungnya
kasih sayang bahkan kata yang berakar pada huruf "ra", "ha", dan "mim"
ini berhubung-berkait dengan <b>Asmaa-ul Husma</b>, yakni; "Ar Rahmaan (Yang Maha Pengasih)" dan "Ar Rahiim (Yang Maha Penyayang)".<br />
<br />
Luar
biasa... bahwa, sebelum lahir ke dunia fana ini, maka setiap manusia
ditakdirkan hidup lebih dahulu di alam rahim; alam kasih sayang
--sebagai sebutan lain bagi kandungan ibu...<br />
<br />
Nasib,
rezeki atau segala peruntungan kita di sini ternyata erat hubungannya
dengan "rahim". Barangsiapa yang ingin dilapangkan hidupnya dan
dimurahkan rezekinya, maka hendaklah dia selalu menjaga erat-erat
"silatur rahim --tali kasih sayang", begitu pesan Rasul SAW.<br />
<br />
Dan
di sana... "Ada dua golongan orang yang tidak diacuhkan Allah pada hari
kiamat, yaitu: Orang yang memutuskan hubungan rahim, dan tetangga yang
buruk".<br />
<br />
Sekian!<br />
<br />
https://www.facebook.com/notes/abdul-muis-mahmud/tali-kasih-sayang/583973351666420<br />
</div>
Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-88378299123546309372013-08-27T07:32:00.002+07:002013-08-27T07:34:55.293+07:00BERLINDUNG DARI ILMU YANG TIDAK BERMANFA’AT<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]-->
<br />
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3x1PiWvhC5Srv6SDcCzvfe8Bd3rEt9h88i9r4EPCVg5MDM7ikf64sDnknvMQ2M6WQyJn6AiTgbz_TTGVlo5ouUfd8R640kIDXreGLu8AO4c2-fQuAGLFKai_lASLzBzTEvvaYQ2ABDdJa/s1600/ILMU.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="172" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3x1PiWvhC5Srv6SDcCzvfe8Bd3rEt9h88i9r4EPCVg5MDM7ikf64sDnknvMQ2M6WQyJn6AiTgbz_TTGVlo5ouUfd8R640kIDXreGLu8AO4c2-fQuAGLFKai_lASLzBzTEvvaYQ2ABDdJa/s320/ILMU.jpg" width="320" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">Tidak diragukan lagi tentang keutamaan orang berilmu di sisi
Allah, seperti telah diterangkan Allah SWT di dalam Kitab suci Al Quran atau
dinyatakan Nabi SAW melalui hadits-hadits beliau; yaitu apabila orang yang
berilmu itu adalah mukmin yang mantap dengan keimanannya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<i><span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">“….<span class="gen">Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”</span></span></i><span class="gen"><span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"> (QS. </span></span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">58. Al Mujaadilah:
11)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Dalam hadits Nabi SAW dinyatakan
bahwa: </span><i>“Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan dalam rangka untuk
menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga. Tidaklah
berkumpul suatu kaum disalah satu masjid diantara masjid-masjid Allah, mereka
membaca Kitabullah serta saling mempelajarinya kecuali akan turun kepada mereka
ketenangan dan rahmat serta diliputi oleh para malaikat. Allah
menyebut-nyebut mereka dihadapan para malaikat.” </i>(<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">HR. Muslim)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Sungguhpun demikian, apabila ilmu yang
kita diperoleh adalah menambah tipis keimanan dan menambah jauh kita dari
Allah, maka ilmu yang demikian adalah ilmu yang tidak bermanfa’at bahkan menjerumuskan…
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Adalah suatu yang mengherankan apabila
seseorang sudah meraih gelar kesarjanaan dalam ilmu-ilmu keislaman sehingga
dia-pun dijuluki orang sebagai profesor di bidangnya, namun ilmu yang
diperolehnya tadi ternyata menambah keraguannya kepada Allah, atau menggoyahkan
kepercayaannya kepada prinsip-prinsip iman dan Islam… Lalu, orang tersebut tampil
sebagai sosok yang malas beribadah kepada Allah serta melupakan kewajibannya
sebagai muslim yang beriman. Orang berilmu sedemikian rupa, bukan hanya celaka,
bahkan mencelakakan orang lain, maka “waspadalah kamu atas ketersesatan
orang-orang berilmu!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br />
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Nabi SAW mengungkapkan dalam do’a ta’awwuz
(permohonan perlindungan)nya sebagai berikut:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;">
<span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%;">اللَّهمَّ إني أعوذ بك من العجْزِ ، والكَسَلِ ، والجُبنِ ،
والبُخْلِ والهَرَمِ ، وعذاب القبر ، اللَّهمَّ آتِ نَفسي تَقْوَاها ، وزَكِّها أَنت
خَيرُ مَنْ زكَّاهَا ، أَنتَ وَلِيُّها ومولاها، اللَّهمَّ إِني أَعوذ بك من علم لا
ينفعُ ، ومن قَلبٍ لا يَخشَع ، ومن نَفسٍ لا تشبع ، ومن دعوة لا تُستَجَاب</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung
kepadaMu dari lemah, malas, penakut, bakhil, pikun dan azab kubur…<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Ya Allah! Berikanlah kepada jiwaku
ketaqwaannya, dan sucikanlah dia! Engkaulah sebaik-baik Yang menyucikannya.
Engkaulah Penolong dan Pembelanya… Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung
kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfa’at,<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>dari hati yang tidak khusyu’ , dari nafsu yang tidak pernah puas dan
dari do’a yang tidak diperkenankan!” (HR. Muslim) </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">Semoga Allah SWT melindungi kita dari ilmu yang tidak bermanfa’at!</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">UG- </span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">Selasa 27/08/2013 pukul
7:08:07</span><span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"></span></div>
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>AR-SA</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:Arial;
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
</style>
<![endif]--></div>
Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-79502053528343145482013-08-26T17:20:00.004+07:002013-08-26T17:22:55.139+07:00TAFAQQUH FID DIIN<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><br />
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>AR-SA</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:Arial;
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEix1zYdjIz9WkeTgNPDWx839PFCwyvtFrMvosLHubxPHmJ-0eBKk-HfPbPlJg05aECQGWrxtBvZW-PdeQpXpQVMoF9_XHGvlbY7Jv8K4emT6RhgFPdeBvWpUk1E2izJBwH9EhrUcsIKXNBf/s1600/tafaqquh.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEix1zYdjIz9WkeTgNPDWx839PFCwyvtFrMvosLHubxPHmJ-0eBKk-HfPbPlJg05aECQGWrxtBvZW-PdeQpXpQVMoF9_XHGvlbY7Jv8K4emT6RhgFPdeBvWpUk1E2izJBwH9EhrUcsIKXNBf/s1600/tafaqquh.jpg" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;">
<b><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic","serif"; font-size: 22.0pt; line-height: 115%;">وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ
لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ</span></b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-hansi-font-family: Calibri; mso-hansi-theme-font: minor-latin;"></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span><i>“</i><span class="gen"><i>Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”</i> (QS. 9. At Taubah: 122)</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span class="gen">Pada ayat 122 surat At Taubah di atas Allah
SWT mengingatkan umat mukmin agar tidak seluruh mereka terjun ke medan
peperangan guna menghadapi orang-orang kafir, atau pihak manapun juga yang
hendak memadamkan Nur (agama) Allah… Tetapi hendaklah dari tiap-tiap golongan mereka<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>ada yang berjuang di medan lain, melakukan “tafaqquh
fiddin”, memperdalam pengetahuan mereka tentang agama, dan memberi peringatan
kepada kaumnya bila </span>mereka kembali dari medan peperangan sehingga mereka
itu dapat menjaga diri dari melakukan pelanggaran.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Jika dalam suasana perang umat mukmin diperintahkan untuk
tidak mengabaikan tugas “Tafaqquh Fid Diin” –sebagai <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>fardhu kifayah bagi tiap-tiap golongan mereka—maka
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>kewajiban demikian tentu saja sama
sekali tidak akan terlepas dari umat ini dalam suasana aman dan damai.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sesungguhnya tantangan hidup kita –umat Islam—pada zaman ini
jauh lebih kompleks dan lebih membahayakan dibandingkan dengan tantangan hidup yang
dihadapi oleh pendahulu kita pada tahun-tahun berlalu… Kita sekarang <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tidak hanya menghadapi tantangan yang berasal
dari pihak non muslim, bahkan kita menghadapi bermacam ragam paham dan aliran
keagamaan yang menyimpang dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW… <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Kita menghadapi usaha tadhlil (penyesatan) dan
tasykik (upaya menyebar keragu-raguan kepada Islam), yang jauh lebih gencar dan
membahayakan dari pihak-pihak yang tidak sejalan dengan keyakinan kita;
terutama dengan semakin canggihnya teknologi<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>informasi seperti yang kita alami sekarang… </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tegasnya, kita sangat membutuhkan para “Ulama yang
bertafaqquh fiddiin”. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Akhirnya, meminjam istilah yuris muslim, “maalaa yatimmul
waajibu illaa bihi fahuwal waajibu (sesuatu yang tidak sempurna yang wajib
kecuali dengannya, <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>maka sesuatu itupun menjadi
wajib)”, maka dapat kita ungkapkan, bahwa: Menumbuhkan lembaga pendidikan
Islam; baik madrasah ataupun pesantren, atau lembaga lainnya yang mengkhususkan
diri guna tafaqquh fiddiin –mendalami ilmu agama—adalah fardhu kifayah bagi
kaum muslimin.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
UG-Senin <span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">26/08/2013
jam 16:53:52</span></div>
</div>
Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-1685596946018809612012-12-31T19:07:00.001+07:002012-12-31T19:09:11.644+07:00Nasehat Perkawinan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:TargetScreenSize>800x600</o:TargetScreenSize>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><br />
<div style="text-align: center;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>AR-SA</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";}
</style>
<![endif]--><span style="font-size: large;">NASEHAT UMAMAH BINTI AL HARITS </span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: large;">KEPADA PUTERINYA TENTANG DASAR-DASAR </span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: large;">KEHIDUPAN SUAMI ISTERI YANG BERBAHAGIA </span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; unicode-bidi: embed;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; unicode-bidi: embed;">
Umar bin Hajar; raja Kindah, meminang Ummi ‘Iyas binti ‘Auf
Muhailim As-Syaibani, setelah tiba masa mengantar pengantin wanita kepada
suaminya. Ibunya Umamah binti Al-Harits memberi nasehat kepada puterinya itu,
dengan menjelaskan dasar-dasar kehidupan suami isteri bahagia, dan kewajiban
seorang isteri kepada suaminya, ia berujar:</div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; unicode-bidi: embed;">
“Puteriku sayang: Kalau tersisa bagiku wasiat budi pekerti
mulia, tentulah aku tinggalkan (wasiatkan) buatmu Nak! Nasehat adalah
mengingatkan orang yang lalai, dan membantu orang yang sadar.</div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; unicode-bidi: embed;">
Sekiranya seorang wanita tidak membutuhkan suami karena
kekayaan (asuhan) ibu bapaknya, dan kedua ibu bapak sangat membutuhkannya
niscaya engkau tidak akan dikawinkan, tetapi wanita diciptakan untuk laki-laki,
dan laki-laki diciptakan untuk wanita!</div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; unicode-bidi: embed;">
Puteriku sayang! Sesungguhnya engkau akan berpisah dengan
udara tempat kelahiranmu, memasuki kehidupan lain, di sana engkau akan
menginjak tempat tinggal yang belum kau kenal, teman hidup yang belum pernah
kau berkasih-kasihan dengannya, dengan kekuasaannya padamu maka ialah pengawas
dan penguasamu, maka hendaklah engkau mendampinginya dengan baik; supaya dia
setia kepadamu!</div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; unicode-bidi: embed;">
Hendaklah engkau memelihara sepuluh perkara, sebagai bekal
(hidup) mu!</div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; unicode-bidi: embed;">
<i>Pertama dan kedua:</i> Hendaklah engkau rendah hati
kepadanya, bersifat qana’ah (menerima apa adanya), dan hendaklah engkau
mendengar dan mematuhinya sebaik mungkin!</div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; unicode-bidi: embed;">
<i>Ketiga dan keempat:</i> Hendaklah engkau memikat
pandangan dan penciumannya padamu, janganlah melakukan sesuatu yang merusakkan
pandangannya padamu, dan sekali-kali jangan ia sampai mencium sesuatu yang
tidak sedap darimu!</div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; unicode-bidi: embed;">
<i>Kelima dan keenam:</i> Hendaklah engkau menjaga waktu
tidur, dan waktu makannya. Berturut-turut lapar akan menyulut api pertengkaran,
dan sukar tidur akan menyulut kemarahan!</div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; unicode-bidi: embed;">
<i>Ketujuh dan kedelapan:</i> Hendaklah engkau menjaga
harta, kesenangan, dan keluarganya: pilar harta adalah menghargainya dengan
baik, pilar keluarga adalah mengurusnya dengan baik.</div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; unicode-bidi: embed;">
<i>Kesembilan dan kesepuluh:</i> Janganlah engkau
mendurhakainya, dan janganlah engkau membukakan rahasianya, jika engkau melawan
perintahnya, niscaya sempitlah dadanya, dan jika engkau menyebarkan rahasianya
niscaya engkau tidak akan aman dari kekhianatannya.</div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; unicode-bidi: embed;">
Kemudian janganlah engkau bersuka ria di hadapannya jika ia
mendapat nestapa, dan bersedih hati, jika ia bersuka ria.” (Fiqh Sunnah II/
199-200)</div>
</div>
Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-32173283111570760252011-10-13T17:47:00.003+07:002011-10-13T17:59:43.909+07:00Nasehat Abu Zar<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 18.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Arial;"></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 18.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Arial;"></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 18.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Arial;">TENTANG BEKAL AKHIRAT</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Al Makiy Al Fakihy dalam kitabnya “Akhbar Makkah” Juz V, halaman 105, meriwayatkan:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Abu Zar r.a. pernah bersandar ke Ka’bah lalu berkata: “Saudara-saudara sekalian, mendekatlah kepadaku (dan pandanglah daku) sebagai saudara kandung yang memberi nasehat (kepadamu)!”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Lantas orang banyak mengerumuninya. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiT3rZbBmJhhOD5iEhaUF6I3MBVJVfGTsdJC9ReBycs8pyo95Sg-rz-9lPo0Kcw_fdKZ2yrTQeg5dMF3-aw8KsgGCOObxq181mVeksjM11j4tl7ns2YSsGy4egtRIWplQTWlH9kplchGyy/s1600/perjalanan_hidup.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="319" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiT3rZbBmJhhOD5iEhaUF6I3MBVJVfGTsdJC9ReBycs8pyo95Sg-rz-9lPo0Kcw_fdKZ2yrTQeg5dMF3-aw8KsgGCOObxq181mVeksjM11j4tl7ns2YSsGy4egtRIWplQTWlH9kplchGyy/s320/perjalanan_hidup.jpg" width="320" /></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Selanjutnya Abu Zar berkata: “Bagaimana pandangan kalian, seandainya salah seorang di antaramu ingin bepergian… Bukanlah dia mengambil bekal yang sepantasnya? Perjalanan dimaksud adalah perjalanan akhirat… maka hendaklah kalian membekali diri dengan bekal yang sepantasnya!”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Lalu seorang lelaki penduduk Kaufah berdiri dan bertanya: “Apakah bekal yang sepantasnya bagi kita”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Abu Zar menanggapi: </span></div><ul><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">“Siapkan hujjah (argumentasi) demi menghadapi perkara-perkara yang sangat besar… </span></li>
</ul><ul><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Berpuasalah di hari yang sangat panas demi menghadapi hari berhimpun (kiamat)… </span></li>
</ul><ul><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Kerjakanlah shalat dua rakaat pada malam yang sangat gelap, demi menghadapi kegelapan kubur… </span></li>
</ul><ul><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Kata-kata baik yang engkau ucapkan…. </span></li>
</ul><ul><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Dan kata-kata jelek yang engkau menghentikan diri dari mengucapkannya…. </span></li>
</ul><ul><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Sedekahmu yang engkau berikan kepada orang miskin, mudah-mudahan engkau selamat dari hari yang sangat menyusahkan… </span></li>
</ul><ul><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Jadikanlah dunia ini dua majlis: Satu majlis dalam mencari yang halal, dan satu majlis lagi dalam mencari akhirat… Kemudian yang ketiganya adalah memudharatkan tidak membawa manfaat.</span></li>
</ul><ul><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Jadikanlah harta kekayaan itu dua dirham; Satu dirham engkau belanjakan untuk keluargamu, dan satu dirham lagi engkau persiapkan untuk akhiratmu… Kemudian yang ke tiga; memudharatkan, tidak membawa manfa’at…</span></li>
</ul><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Selanjutnya Abu Zar berucap: “Aduhai!”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Orang bertanya kepadanya: “Ada apa gerangan?”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: Arial;">Ia menanggapi: “Aku celaka lantaran panjang angan-angan… Dunia ini hanyalah dua sa’at, yakni: Sa’at yang berlalu, dan sa’at yang tertinggal… Adapun yang berlalu, maka telah sirna kelezatannya. Sedangkan yang tertinggal, maka dia telah menipumu, bahkan kurang kesabaranmu terhadapnya… Engkau mengambil yang halal dan yang haramnya… maka engkau adalah engkau… Jika engkau mengambil yang halalnya, maka engkau adalah engkau (beruntung dirimu)… Tetapi, jika engkau mengambil yang haramnya, maka aku tidak tahu bagaimana menerangkan buruknya kondisimu… Allahlah Yang mengatur segala nikmat dan rezekimu…</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; line-height: 115%;">أن أبا ذر رضي الله عنه أسند ظهره إلى الكعبة ، فقال : يا أيها الناس هلم إلى أخ ناصح شفيق قال : فاكتنفه الناس ، ثم قال : أرأيتم لو أن أحدكم أراد سفرا ، أليس كان يأخذ من الزاد ما يصلحه ؟ السفر سفر الآخرة ، فتزودوا ما يصلحكم ، فقام إليه رجل من أهل الكوفة ، فقال : وما الذي يصلحنا ؟ قال : احجج حجة لعظائم الأمور ، وصم يوما شديدا حره للنشور ، وصل ركعتين في سواد الليل لظلمة القبور ، وكلمة خير تقولها ، وكلمة شر تسكت عنها ، وصدقة منك على مسكين لعلك تنجو من يوم عسير ، اجعل الدنيا مجلسين : مجلسا في طلب الحلال ، ومجلسا في طلب الآخرة ثم الثالث يضر ولا ينفع ، اجعل المال درهمين : درهما تنفقه على عيالك ، ودرهما تقدمه لآخرتك ثم الثالث يضر ولا ينفع ثم قال : أوه قيل له : ما ذاك ؟ قال : قتلني طول الأمل ، إنما الدنيا ساعتان : ساعة ماضية ، وساعة باقية ، فأما الماضية ، فذهبت لذتها ، وأما الباقية فهي تخدعك حتى يقل صبرك فيها ، تأخذ حلالها وحرامها ، فإن أخذتها بحلالها ، فأنت أنت ، وإن أخذتها بحرامها فما أدري ما أصف من سوء حالك ، والله ولي نعمك ومعروفك</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-family: "Traditional Arabic";">UG-Kamis,10/13/2011 5:27:32 Wib</span></div><span style="font-size: 18.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Arial;"></span><br />
<br />
</div>Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-37286891173497908032011-10-11T10:54:00.000+07:002011-10-11T10:54:18.066+07:00YANG KIKIR DAN YANG PEMURAH<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"> <br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Di antara manusia ada yang kikir dan ada pula yang dermawan… Orang yang kikir mengukur laba rugi berdasarkan motif duniawi belaka, sedangkan orang dermawan menilai laba rugi berdasarkan motif ukhrawi yang jauh lebih baik dan kekal… <span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Diriwayatkan, bahwa: Seorang lelaki pemilik pohon kurma mempunyai pohon yang mayangnya menjulur ke rumah tetangganya seorang fakir yang banyak anaknya. Bila pemilik kurma itu memetik buah kurma, maka dia memetiknya dari rumah tetangganya, dan jika ada kurma yang jatuh dan dipungut oleh anak-anak yang fakir itu, ia segera turun dan merampasnya dari tangan anak-anak itu, bahkan yang sudah masuk ke mulut anak-anak itupun dipaksa dikeluarkan…</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhF-ElCgCU1vr6C6rc_ODzJO_KgSSWFzeRIGFFOZM6duYq0-oKRuyncLIWqp7pvVnZIf4VSh_YBWgzRr5RKOQ-bPw3mLCsFEtS8SS0MPEGCHa13XBHjcIRdA19UkI4sf-gCwfsvAXZvcSY-/s1600/images.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhF-ElCgCU1vr6C6rc_ODzJO_KgSSWFzeRIGFFOZM6duYq0-oKRuyncLIWqp7pvVnZIf4VSh_YBWgzRr5RKOQ-bPw3mLCsFEtS8SS0MPEGCHa13XBHjcIRdA19UkI4sf-gCwfsvAXZvcSY-/s320/images.jpeg" width="209" /></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Orang fakir itu mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW dan beliau berjanji akan menyelesaikannya. Kemudian Rasulullah SAW bertemu dengan pemilik kurma itu dan bersabda: “Berikanlah kepadaku pohon kurma yang mayangnya menjulur ke rumah si Fulan, dan bagianmu sebagai gantinya pohon kurma di surga”. Pemilik kurma itu menanggapi: “Hanya sekian tawaran tuan?” Aku mempunyai banyak pohon kurma dan pohon kurma yang diminta itu paling baik buahnya”… Pemilik kurma itu pergi.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Pembicaraan dengan Nabi SAW tersebut terdengar oleh seorang Dermawan yang langsung menghadap kepada Rasulullah SW dan bertanya: “Apakah tawaran tuan itu berlaku juga bagiku, jika pohon kurma itu telah menjadi milikku?” Rasulullah SAW menjawab: “Ya!” Maka pergilah orang itu menemui sang pemilik kurma. Pemilik pohon kurma itu berkata: “Apakah anda tahu bahwa Muhammad SAW menjanjikan pohon kurma di surga sebagai ganti pohon kurma yang mayangnya menjulur ke rumah tetanggaku? Dan bahwa aku catat tawarannya, akan tetapi buahnya sangat mengagumkan, padahal aku banyak mempunyai pohon kurma dan tidak ada satupun yang buahnya selebat itu?” Orang Dermawan tadi menanggapi: “Apakah anda mau menjualnya?” Ia menjawab: “Tidak, kecuali apabila ada orang yang sanggup memenuhi keinginanku, tapi… pasti tidak akan ada yang sanggup”. Dermawan itu mengatakan: “Berapa yang anda inginkan?” Ia berkata: “Aku inginkan empat puluh pohon kurma”. Ia terdiam kemudian berkata lagi: “Anda minta yang bukan-bukan, baik aku berikan empat puluh kurma kepadamu, dan aku minta saksi jika anda benar mau menukarnya”. Ia memanggil sahabat-sahabatnya untuk menyaksikan pertukaran itu.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dermawan tadi menghadap Rasulullah SAW dan berujar: “Wahai Rasulullah! Pohon kurma itu telah menjadi milikmu dan aku akan serahkan kepada tuan”. Maka Rasulullah SAW berangkat kepada pemilik rumah yang yang fakir itu dan bersabda: “Ambillah pohon kurma itu untukmu dan kelurgamu”. Sehubungan dengan kasus inilah turun surat Al Lail (S: 92) dari ayat 1 hingga terakhir. (Lihat, Jalaluddin As Suyuthi/ Ad Darr al Mantsur/ Juz X/ hal 278)</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;">Terjemahan maksud surat Al Lail:</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">1.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">2.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Dan siang apabila terang benderang,</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">3.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Dan penciptaan laki-laki dan perempuan,</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">4.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">5.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">6.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga),</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">7.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">8.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup,</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">9.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Serta mendustakan pahala terbaik,</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">10.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">11.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia Telah binasa.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">12.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk,</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">13.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Dan Sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">14.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Maka, Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">15.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">16.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">17.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">18.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">19.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">20.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Tetapi (Dia memberikan itu semata-mata) Karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">21.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">UG-</span><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Jumat, 24 Desember 2010 pukul 7:56:31</span></div><br />
</div>Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-50352090783119144792011-04-30T09:00:00.001+07:002011-09-29T22:33:51.596+07:00MASALAH EKONOMI SELAYANG PANDANG<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;">
</div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Pendahuluan</span></b></div>
<div style="mso-element-anchor-horizontal: column; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-linespan: 2; mso-element-wrap: around; mso-element: dropcap-dropped; mso-height-rule: exactly;">
<table align="left" cellpadding="0" cellspacing="0" hspace="0" vspace="0"><tbody>
<tr> <td align="left" style="padding-bottom: 0cm; padding-left: 0cm; padding-right: 0cm; padding-top: 0cm;" valign="top"><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 26.85pt; mso-element-anchor-horizontal: column; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-linespan: 2; mso-element-wrap: around; mso-element: dropcap-dropped; mso-height-rule: exactly; mso-line-height-rule: exactly; page-break-after: avoid; text-align: justify; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed; vertical-align: baseline;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 34pt;">M</span></div>
</td> </tr>
</tbody></table>
</div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt; letter-spacing: -0.2pt;">asalah ekonomi telah menguras energi ummat manusia sedemikian rupa, sehingga persoalan dunia hari ini seolah-olah hanya berpunca dari masalah ekonomi belaka. Oleh karena itu ekonomi telah menjadi t</span><span style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt; letter-spacing: -0.2pt;">h</span><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt; letter-spacing: -0.2pt;">ema sentral yang mendasari kehidupan. Saya pikir tidak ada satu kisi-kisi terpenting dari komponen</span><span style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt; letter-spacing: -0.2pt;">t</span><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt; letter-spacing: -0.2pt;"> kemanusiaan yang tidak didominasi oleh ekonomi. Bahkan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>faktor-faktor moral keagamaan yang semestinya menjadi wasit dalam interaksi sosial, oleh manusia dipaksakan turut membenarkan jargon ekonomi, maka jadilah dunia hari ini sebagai sebuah pasar raksasa, tempat transaksi hewan-hewan ekonomi yang satu sama lain dihubungkan oleh persaingan, konfrontasi dan dominasi. Bukan sebagai saudara dalam satu naungan sebagai makhluk Tuhan semesta alam.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt; letter-spacing: -0.2pt;">Apakah persoalah mendasar manusia adalah ekonomi? Jika ekonomi dipandang secara terpisah dari kesatuan kemanusiaan, dan kemanusiaan dipisahkan pula secara radikal dari kesatuan alam, lalu diputuskan hubungannya dengan Allah SWT Pencipta segalanya, maka ini adalah bencana. Dan lebih berbahaya lagi apabila pemecahan persoalan ummat manusia hanya ditinjau dari jurusan ini, kemudian memberikan t</span><span style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt; letter-spacing: -0.2pt;">h</span><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt; letter-spacing: -0.2pt;">erapi atas dasar itu pula. Meminjam ungkapan Al-Maududi: <i>tidak ubahnya dengan seorang spesialis penyakit hati, yang memisahkan hati itu dari keseluruhan susunan jasmani tanpa mengindahkan posisi yang diberikan kepada hati dan yang ditempatinya dalam tubuh manusia serta hubungannya dengan peralatan tubuh lainnya. Selanjutnya, si spesialis memeriksa hati itu dalam keadaan terpencil dan kemudian, demikian tenggelamnya spesialis tadi memeriksa hati itu sehingga akhirnya seluruh rangka jasmani pasiennya serta seluruh susunan tubuhnya seakan-akan menjadi suatu hati raksasa semata-mata.</i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Masalah sesungguhnya</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Apabila kita meninjau masalah ekonomi ke inti persoalannya dengan mengenyampingkan komplikasi istilah-istilah dan penjurusan-penjurusan, maka kita jumpai masalah ekonomi ummat manusia tidak lebih dari hal berikut ini. Bertujuan untuk mempertahankan dan memajukan peradaban manusia, bagaimana caranya untuk mengatur penyebaran perekonomian sedemikian rupa sehingga seluruh ummat memperoleh semua kebutuhan hidupnya dan untuk mengusahakan suapaya setiap individu dalam masyarakat mendapat kesempatan yang cukup untuk mengembangkan kepribadiannya dan untuk mencapai tingkat kesempurnaan setingi-tingginya sesuai dengan kesanggupan dan pembawaannya. (Abul A'la Al-Maududi, Masalah Ekonomi Dan Pemecahan Menurut Islam/ The Economic Problem of Man and Its Islamic Solution, hal. 11)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Pada taraf permulaan peradaban masalah ekonomi manusia sama mudahnya dengan kehidupan hewan, karena segala kebutuhan hidup tersedia berlimpah ruah di bumi ini. Segala kebutuhan hidup itu adalah sebagai anugerah Ilahi yang semestinya diperlakukan menurut hukum-hukumNya yang pasti, baik yang menyangkut kebutuhan pribadi, maupun yang bertalian dengan kebutuhan individu sebagai bahagian tak terpisahkan dari masyarakat dan alam sekitarnya. Tetapi setelah peradaban manusia mengalami perkembangan, maka masalah ekonomi bertam</span><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">bah banyak dan semakin berbelit-belit, terutama setelah manusia telah dikuasai nafsu hewani dan terkungkung di bawah dominasi syethan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Manusia yang pada dasarnya adalah makhluk sosial, memecahkan masalah ekonomi atas azaz kekeluargaan dan tolong menolong, sebagai hamba ciptaan Allah SWT Yang Maha Kuasa, lalu melakukan penyimpangan. Manusia yang telah berada dalam kedudukan ekonomi yang lebih baik akibat sebab-sebab alamiah, telah menjadi mangsa dari sikap individualismenya: berpendirian picik, dengki, kikir, tamak dan iri hati. Mereka yang telah berada pada kedudukan ekonomi lebih baik, bahkan dengan berbagai cara berusaha merampas kebutuhan hidup orang banyak... Mula-mula masalah ini timbul dalam kelompok kecil, lalu berkembang ke seluruh negeri, dan pada akhirnya mengacaukan hubungan bangsa-bangsa. Sistem kapitalisme yang telah menciptakan suasana internasional yang sangat menyedihkan, meman</span><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">dang bahwa keserakahan manusia bukan saja tidak berbahaya, bahkan merupakan sumber dinamik dari masyarakat kapitalis. Tanpa nilai-nilai dasar kehidupan, tanpa nilai-nilai moralitas religius, yang dengan itulah manusia berhak disebut manusia, maka harta kekayaan yang diperolehnya melebihi dari kebutuhan hidupnya, dan dikuasainya dengan sesuka hati digunakannya dengan dua macam cara: 1. bagi kenikmatan dirinya sendiri, kesenangan, hiburan serta hidup santai dan 2. bagi memperoleh kekayaan yang lebih lagi dan bila mungkin dengan menguasai kekayaan orang lain serta mengangkat dirinya jadi dewa-dewa sesungguhnya. Bagi mereka segala cara dihalalkan, bahkan pemerintahpun dijadikan budak</span><span style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">. Seperti dikatakan</span><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;"> oleh Milten Friedman, seorang penganut sistem kapitalisme yang memenangkan hadiah Nobel: <i>"... daerah pe</i></span><i><span style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">me</span></i><i><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">rintah harus dibatasi. Tugas utamanya adalah melindungi kemerdekaan kita, baik terhadap musuh-musuh dari luar maupun terhadap bangsa kita: untuk menyeleng-garakan keamanan dan ketertiban, untuk memaksa dipatuhinya kontrak-kontrak pribadi, untuk menjamin pasar yang bersaing secara bebas".</span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Golongan kaya ini bersikap masa bodoh atas hak-hak orang miskin, yang kebutuhan hidup mereka tidak mencukupi. Menurut golongan kaya ini, sudah pada tempatnya membiarkan orang-orang berkekurangan tadi dalam kemelaratan dan kepapaan. Adam Smith, bapak dari sistem kapitalis mengatakan: <i>"Bukan dari kebaikan hati sang pemotong hewan, sang pembuat minuman, atau tukang roti kita mengharapkan santapan kita... tapi dari kepentingan mereka sendiri. Kita harus berterima kasih bukan kepada kemanusiaan mereka, tetapi kepada kecintaan kepada diri mereka sendiri, dan jangan pernah berbicara kepada mereka tentang keperluan-keperluan kita, tapi tentang kepentingan-kepentingan mereka.</i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Sistem kapitalis ini bukan hanya menciptakan jurang yang sangat dalam antara si kaya dengan si miskin, bahkan telah menghancurkan tenaga jasmani dan rohani manusia ke derajat terbawah melebihi hewan... Demi memperkembangkan kekayaan, maka mereka menanamkan modal atas nama riba, lebih hebatnya usaha ini mereka namakan sebagai pemberi bantuan kepada negara-negara miskin, yang pada akhirnya menyebabkan negara bersangkutan dililit hutang turun temurun...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Guna menunjan</span><span style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">g</span><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;"> sistem ini maka didirikan lembaga-lembaga internasional, perguruan tinggi-perguruan tinggi yang mencetak profesor dan para sarjana yang tidak sedikit... Ditunjang dengan media informasi dan telekomunikasi canggih, dengan iklan-iklan yang dibiayai sedemikian rupa, seluruhnya bertujuan untuk membenarkan dan menjadikan sistem syethan ini sebagai suatu alternatif rasional bagi ummat manusia...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Untuk meladeni keinginan-keinginan cabul golongan kaya ini, dikerahkan laskar pelacur, perantara dan agen-agen yang tidak tahu harga dirinya. Kebutuhan yang dibuat-buat itu dimasukkan mereka ke dalam daftar yang wajar. Lalu dikerahkan ahli musik, gadis-gadis penari dan seterusnya, dan seterusnya... Beribu-ribu hektar lahan rakyat dirampas hanya untuk dijadikan lapangan golf dan untuk memuaskan kesenangan manusia celaka itu, padahal lahan sedemikian luas dapat diolah untuk memenuhi kebutuhan hidup beribu orang... Atas nama perkembangan dan kemajuan berjuta-juta hektar hutan dihancurkan, lalu dijadikan areal monokultur (sejenis tanaman saja), sehingga merusak keseimbangan alam yang mengakibatkan bahaya banjir dan kelaparan di sana sini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Kebutuhan yang dibuat-buat golongan kaya itu tiada habis-habisnya. Mereka juga membutuhkan minuman yang memabukkan maka dikerahkan tenaga manusia untuk membuat minuman keras, narkotik dan obat-obat terlarang. Selanjutnya, timbullah kerusakan-kerusakan, kejahatan-kejahatan dan perbuatan perbuatan laknat yang hanya Allah SWT saja Maha Mengetahui... bumi tidak mampu menampung keinginan-keinginan mereka...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Jadi, di samping menghancurkan diri mereka sendiri, golongan kaya yang tamak ini telah menjadikan berjuta-juta manusia sebagai makhluk tidak berguna. Dan tanpa mereka sadari telah melahirkan penjahat-penjahat profesional dan menggiring dunia ke dalam kancah peperangan berkepanjangan... Dunia telah dikapling sedemikian rupa dalam blok-blok yang tiap kapling dihuni oleh manusia yang satu sama lain memandang saling curiga dan saling menerkam...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Apabila kebutuhan hidup rohani dikesam-pingkan dan kebutuhan jasmani dilebih-lebihkan, maka bayangkan saja –meminjam ungkapan Sigmun Freud- bila dua aliran sungai mengalir, lalu salah satunya terhambat, bukankah akan menimbulkan banjir?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Penyelesaian Masalah Menurut Paham Materialisme</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Melihat betapa besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi kapitalis di atas, maka di Barat muncul pemecahan masalah yang diajukan oleh kaum komunis dan sosialis, tapi tetap atas dasar materialisme, anti rohani, dan keinginan hendak menjadikan manusia seragam. Pemecahan masalah menurut kaum komunis dan sosialis adalah sebagai berikut. Alat produksi hendaklah diambil dari tangan perorangan dan dipindahkan ke dalam tangan masyarakat untuk dimiliki secara bersama dan bahwa masyarakat hendaklah pula mengusahakan pembagian kekayaan alam kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>(Al-Maududi:34) Menurut Eric Fromm, seorang intelektual Amerika non komunis:<i> ...tujuan sosialisme adalah emansipasi manusia dan emansipasi manusia adalah sama dengan merealisasikan dirinya dalam suatu proses keterhu</i></span><i><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">bungan dan kesatuan yang produktif antara manusia dan alam. Tujuan dari sosialisme adalah penembangan kepribadian masing-masing orang.</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;"> (Agama dan Keke</span><span style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">-</span><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">rasan, 1985:34)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Pemecahan masalah menurut paham di atas sepintas lalu adalah sangat masuk akal, tetapi semakin direnungkan dalam prakteknya, semakin kita sadari bahwa pemecahan masalah ini sama buruknya dengan penyakit yang hendak diobati. Meskipun menurut teoritis pengaturan yang diadakan untuk memanfaatkan alat-alat produksi dan distribusi seakan-akan dipercayakan kepada seluruh masyarakat, dalam prakteknya tugas ini mau tidak mau harus diserahkan kepada suatu badan pelaksana yang kecil. Semula badan yang kecil ini dipilih oleh masyarakat, di kemudian hari apabila seluruh sumber kehidupan ini telah berada di tangannya dan orang seorang sudah tidak dapat lagi memperoleh bahagiannya kecuali melalui tangannya, maka nasib masyarakat terserah kepada badan kecil itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Selanjutnya tampil kaum fasis dan nasionalis sosialis mengajukan pemecahan masalah seperti berikut: sungguhpun milik individu atas alat-alat produksi tidak diganggu gugat, pemilikan tersebut hendaklah berjalan sesuai dengan rencana dan pengawasan negara demi kepentingan masyarakat umum. Namun dalam prakteknya sistem ini tidak ada bedanya dengan yang dijalankan kaum komunis. Begitulah sistem komunis sosialis, fasis dan nasionalis sosialis, telah melahirkan tiran-tiran diktator yang mengatas namakan kepentingan masyarakat, demi kepentingan segelintir orang. Negara-negara blok timur yang menganut paham yang bertentangan dengan fitrah manusia ini pada akhirnya runtuh, ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin di penghujung abad ke-20 silam.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Pada dasawarsa belakangan terjadilah proses asimilasi antara sistem kapitalis dengan sistem komunis sosialis, dan masing-masing pihak mengambil manfaat dari pihak lain, tetapi karena masing-masing pihak masih didasarkan atas pandangan materialisme dan mengenyampingkan masalah kemanusiaan yang sesungguhnya, maka keadaan masyarakat dunia masih diselimuti kabut hitam.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Saya tidak akan memberikan uraian lebih dalam dari sistem ekonomi materialisme yang dianut masyarakat internasional, di samping keterbatasan i</span><span style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">l</span><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">mu, lebih-lebih lagi ini bukanlah menjadi bidang saya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Pemecahan Masalah Menurut Islam</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt; letter-spacing: -0.2pt;">Pemecaha</span><span style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt; letter-spacing: -0.2pt;">n</span><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt; letter-spacing: -0.2pt;"> masalah menurut Islam adalah sebag</span><span style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt; letter-spacing: -0.2pt;">a</span><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt; letter-spacing: -0.2pt;">i berikut. Bertitik tolak atas dasar bahwa segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah, maka manusia hanyalah pelaksana hukum-hukumNya di bumi ini. Manusia tidak memiliki apa-apa selain dari hak milik pinjam pakai dari Pemilik Tunggal yang harus tunduk kepada aturan hukum yang ditetapkanNya. Hak milik bukannya merupakan hak perorangan, dan juga bukan hak sesuatu kelompok atau hak negara, akan tetapi suatu fungsi sosial. Si pemilik, siapa saja ia itu, baik perorangan atau kolektif atau negara, harus bertanggung jawab atas miliknya kepada masyarakat karena ia hanya pelaksana.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Bertitik tolak dari landasan ideal di atas, maka Islam mengemukakan prinsip dasar pemecahan masalah, yang menurut Al-Maududi ada tiga prinsip dasar pemecahan, yaitu sebagai berikut:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Prinsip pertama, dalam menghadapi seluruh masalah hidup, adalah menjadi pokok fundamental dalam Islam bahwa hukum alam dan prinsip-prinsip hidup yang berpadu dalam fitrahnya, manusia tidak boleh dikekang, dan apabila terdapat penyimpangan dari jalan alamiah ini, menjadi kewajiban ummat Islam untuk mengembalikannya ke jalan yang benar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Prinsip kedua, yang menjadi dasar dari perkembangan masyarakat dalam Islam ialah bahwa masyarakat itu tidak dapat diubah dengan hanya memasukkan sejumlah aturan dari luar, sebaliknya, kita hendaklah memberikan tekanan jauh lebih besar atas perbaikan moral yang benar ke dalam diri manusia sedemikian rupa sehingga kejahatan dapat dikekang sampai ke akar-akarnya dalam hati manusia.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Prinsip ketiga, yang akan dapat dilihat dalam seluruh sejarah Islam ialah bahwa kekuasaan dan tekanan hukum serta kekuatan pemaksaan dari pemerintah hendaklah dihindarkan, kecuali bilamana demikian terpaksa harus dilakukan (Al-Maududi: 43-44)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">Islam menetapkan hukum halal dan haram sebagai batasan yang mengekang manusia dalam berekonomi baik dalam memproduksi maupun dalam mengkonsumsi. Dan melarang dengan tegas praktek-praktek monopoli pasar. Kehadiran pasar dapat diterima, akan tetapi harus memberi kepuasan kepada kebutuhan-kebutuhan yan</span><span style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">g</span><span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;"> riil, dan cara berfungsinya harus mengikuti norma-norma Islam. Riba merupakan sistem yang sangat berlawanan dengan prinsip ekonomi Islam, selanjutnya menjadikan infak, zakat dan sedekah sebagai bentuk konfrontasi terhadap sistem riba... Dan untuk melembagakan jaminan sosial, maka Islam memunculkan lembaga Baitulmal dan Zakat. Saya pikir, uraian mendalam tentang sistem ekonomi Islam menghendaki waktu dan kesempatan lain... Kepada Allah SWT juga kita memohon taufiq dan hidayah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 18.0pt; text-justify: kashida; text-kashida: 0%; unicode-bidi: embed;">
<span lang="IN" style="font-family: "Calibri", "sans-serif"; font-size: 11pt;">(Abdul Muis Mahmud "Himpunan Tulisan UPAYA MENUJU TAQWA" Pustaka Al Fityah, halaman 175) </span></div>
</div>
Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-37207325862086199112011-01-06T06:40:00.000+07:002011-09-29T22:38:40.180+07:00INTELEKTUAL DIABOLIK PERUSAK AGAMA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">Dalam surat Al A’raf ayat 19 sd 22 Allah SWT menyatakan tentang kelicikan Iblis laknatullah, menggoda dan menjerumuskan Adam dan Hawa, sehingga mereka melakukan pelanggaran:</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">19.</span><span style="mso-spacerun: yes;"><span style="font-family: inherit;"> </span></span><span style="font-family: inherit;">(dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim."</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">20.</span><span style="mso-spacerun: yes;"><span style="font-family: inherit;"> </span></span><span style="font-family: inherit;">Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)".</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">21.</span><span style="mso-spacerun: yes;"><span style="font-family: inherit;"> </span></span><span style="font-family: inherit;">Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua",</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">22.</span><span style="mso-spacerun: yes;"><span style="font-family: inherit;"> </span></span><span style="font-family: inherit;">Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">Kelicikan iblis itu senantiasa wujud sepanjang zaman… </span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">Dalam dunia intelektual, kelicikan itu dapat berbentuk “diabolisme intelektual”… Di</span><span style="font-family: inherit;">ل</span><span style="font-family: inherit;">bolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani kuno, menurut A. Jeffery dalam bukunya </span><i><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: inherit;">the Foreign Vocabulary of the Qur'an</span></b></i><span style="font-family: inherit;">, cetakan Baroda 1938, hlm. 48. Maka istilah "diabolisme" </span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: inherit;">berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya</span></b><span style="font-family: inherit;">. Dalam kitab suci al-Qur'an dinyatakan bahwa Iblis termasuk bangsa jin (18:50), yang diciptakan dari api (15:27). Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Apakah Iblis atheist? Tidak. </span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: inherit;">Apakah ia agnostik?</span></b><span style="font-family: inherit;"> Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan. Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut 'kafir'? Di sinilah letak persoalannya. </span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">Kenal dan tahu saja, tidak cukup. Percaya dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab pun kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah SAW, sebagaimana orangtua mengenali anak kandungnya sendiri (</span><i><span style="font-family: inherit;">ya'rifunahu kama ya'rifuna abna'ahum</span></i><span style="font-family: inherit;">). Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam. </span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">Jelaslah bahwa pengetahuan, kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan melaksanakan perintah. "</span><i><span style="font-family: inherit;">Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission</span></i><span style="font-family: inherit;">, " tegas Profesor Naquib al-Attas. (lihat,</span><i><span style="font-family: inherit;"> </span></i><i><span style="font-family: inherit;">Dr. Syamsuddin Arif,MA, Diabolisme Intelektual/ Melawan Fitnah Jaringan Iblis Liberal/ </span></i><span style="font-family: inherit;">Kompilasi ke CHM: pakdenono 2006: </span><a href="http://www.pakdenono.com/home.htm" target="_blank"><span style="color: black;"><span style="font-family: inherit;">wewewepakdenonodotkom</span></span></a><span style="font-family: inherit;"> )</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">Intelektual diabolik adalah perusak agama yang paling membahayakan, menyusup ke dalam jantung Islam dan menghancurkan sendi-sendi bangunan Islam secara sistematis dan terencana… Kaum intelektual diabolik senantiasa melontarkan gagasan dan pemikiran yang membingungkan, menyebar keragu-raguan kepada ummat dengan memakai istilah-istilah yang berbelit-belit dan rumit… Tetapi, tidaklah sulit untuk mengidentifikasi mereka karena ciri-ciri mereka telah dijelaskan Allah SWT di dalam Al Quran…. Dan… Di sini saya salinkan tulisan Dr. Syamsuddin Arif, MA (ibid) sebagai berikut:</span></div>
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<i><span style="font-family: inherit;">Pertama</span></i><span style="font-family: inherit;">, </span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: inherit;">selalu membangkang dan membantah</span></b><span style="font-family: inherit;"> (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir'aun berikut hulu-balangnya, </span><i><span style="font-family: inherit;">zulman wa 'uluwwan</span></i><span style="font-family: inherit;">, meskipun dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. </span><span style="color: #003366;"><span style="font-family: inherit;">Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran</span></span><span style="font-family: inherit;">. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah Islamnya. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut juga </span><i><span style="color: red;"><span style="font-family: inherit;">al-'inadiyyah</span></span><span style="font-family: inherit;"> </span></i><span style="font-family: inherit;">(Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w. 537 H/1142 M), </span><i><span style="font-family: inherit;">al-'Aqa'id</span></i><span style="font-family: inherit;">, dalam Majmu? min Muhimmat al-Mutun, Kairo: </span><i><span style="font-family: inherit;">al-Matba'ah </span></i><span style="font-family: inherit;">al-Khayriyyah, 1306 H, hlm. 19).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<i><span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<i><span style="font-family: inherit;">Kedua</span></i><span style="font-family: inherit;">, </span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: inherit;">intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans).</span></b><span style="font-family: inherit;"> Pengertian takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.147): "Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (</span><i><span style="font-family: inherit;">al-kibru batarul-haqq wa ghamtu n-nas</span></i><span style="font-family: inherit;">)". </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an atau hadis Nabi SAW dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis, konservatif dan lain sebagainya</span><span style="font-family: inherit;">. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat al-Qur'an maupun Hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, </span><span style="color: navy;"><span style="font-family: inherit;">justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan sebagainya</span></span><span style="font-family: inherit;">, </span><span style="color: red;"><span style="font-family: inherit;">meskipun terbukti </span><i><span style="font-family: inherit;">zindiq, heretik </span></i><span style="font-family: inherit;">dan bermental Iblis</span></span><span style="font-family: inherit;">. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: inherit;">Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda</span></b><span style="font-family: inherit;"> (2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (</span><i><span style="font-family: inherit;">sufaha'</span></i><span style="font-family: inherit;">). Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur'an : "</span><i><span style="font-family: inherit;">Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya</span></i><span style="font-family: inherit;">" (7:146). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">Ciri yang </span><i><span style="color: blue;"><span style="font-family: inherit;">ketiga</span></span><span style="font-family: inherit;"> </span></i><span style="font-family: inherit;">ialah </span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: inherit;">mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran</span></b><span style="font-family: inherit;"> (</span><i><span style="font-family: inherit;">talbis wa kitman al-haqq</span></i><span style="font-family: inherit;">). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. </span><span style="color: navy;"><span style="font-family: inherit;">Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq. </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">Sebaliknya, yang haq digunting dan di'preteli' sehingga kelihatan seperti batil</span><span style="font-family: inherit;">. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">Contohnya seperti yang dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur'an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan konteks </span><i><span style="font-family: inherit;">siyaq, sibaq </span></i><span style="font-family: inherit;">dan </span><i><span style="font-family: inherit;">lihaq </span></i><span style="font-family: inherit;">maupun tafsir </span><i><span style="font-family: inherit;">bi l-ma'tsur </span></i><span style="font-family: inherit;">dari ayat-ayat tersebut. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: inherit;">Sama halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap al-Qur'an dan Hadis. </span><span style="color: #003300;"><span style="font-family: inherit;">Mereka mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (</span><i><span style="font-family: inherit;">tahrif</span></i><span style="font-family: inherit;">) sumber-sumber yang ada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah Yahudi dan Nasrani</span></span><span style="font-family: inherit;"> yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur'an 3:71, "</span><i><span style="font-family: inherit;">Ya ahla l-kitab lima talbisuna l-haqq bi l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta'lamun</span></i><span style="font-family: inherit;">?" Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang zahirnya Muslim. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="font-family: inherit;">Demikianlah, semoga Allah SWT melindungi kita dari kejahatan iblis dan intelektual diabolik, laknatullah… Amin!</span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="font-family: inherit;"><br /></span><span style="font-family: inherit;">
</span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="font-family: inherit;">UG-</span></span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="font-family: inherit;">Kamis, 06 Januari 2011 pukul 6:20:57</span></span></div>
</div>
Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-83654647996324092612010-12-28T07:34:00.006+07:002010-12-28T17:20:08.474+07:00KORUPTOR DAN SYAFA’AT NABI<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-size: 14pt; line-height: 115%;"></span></div><div class="MsoNormal">Alhamdulillah pagi ini cukup cerah; Segala puji bagiMu ya Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepadaMulah kami akan kembali…. </div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal">Entah mengapa pikiranku tertarik untuk mengetahui kerugian negara disebabkan kasus korupsi. Setelah on line maka saya mencari pada google hal-hal yang berhubungan dengan itu…</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal">Wal hasil… Ternyata kasus korupsi merupakan kasus yang telah menjerat negara kita kedalam kerugian yang luar biasa, dan belum mendapatkan penyelesaian yang diharapkan…</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal">Bayangkan saja total kerugian negara pada 2006, seperti dimuat DetikNews, Rabu, 19/07/2006 16:20 WIB:</div><div class="MsoNormal">Jakarta - Total kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 10,9 triliun dari 140 kasus yang berhasil diidentifikasi Indonesia Corruption Watch (ICW). Demikian disampaikan Koordinator Bidang Informasi Publik ICW Adnan Topan Husodo saat jumpa pers di kantor ICW, Jalan Kalibata Timur IV /D, Jakarta Selatan, Rabu (19/7/2006). Total kerugian negara sebesar Rp 10,9 triliun itu dapat dipilih menjadi dua bagian. Pertama, korupsi yang terungkap sebelum Januari 2006 mencapai Rp 9,7 triliun. Kedua, korupsi yang terungkap setelah Januari 2006 mencapai Rp 1,2 triliun. Lembaga negara yang terlibat kasus korupsi paling beras berada di pemerintah daerah yakni 40,71 persen, DPRD sebesar 20,71 persen, BUMN atau BUMD sebesar 20 persen. Namun dilihat dari kenaikan persentase korupsi, pemda dan DPRD mengalami penurunan. Hal itu disebabkan sikap hati-hatinya anggota DPRD karena banyaknya kasus korupsi berjamaah yang terungkap seperti di DPRD Sumatera Barat. Sementara yang mengalami kenaikan cukup signifikan adalah BUMN dan BUMD. Kasus korupsi itu sebenarnya adalah kasus lama yang baru terungkap akhir-akhir ini, maka yang menjadi tersangka adalah mantan dirut. Mengenai rata-rata kerugian negera per institusi, kerugian negara paling besar terjadi di Setneg mencapai Rp 1,9 triliun, Dephut Rp 1,145 triliun, BUMN/BUMD Rp 193,99 miliar. Menurut Adnan Topan, vonis yang sudah dijatuhkan selama periode Januari-Juli 2006 berjumlah 76, sedangkan vonis bersalah 62 kasus, vonis bebas 14 kasus. Rata-rata hukuman 43 bulan. Kasus korupsi paling banyak diputuskan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebanyak 11 kasus. (san/)</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b>Lalu, bagaimana dengan pemantauan penyelesaian kerugian negara?</b></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">Menurut “<b>Pokok-pokok Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK Semester I Tahun 2007</b>” <b><span style="color: black;">BAB V PEMANTAUAN PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA</span></b></div><div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 13.2pt; margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 6.0pt; mso-line-height-rule: exactly; text-indent: 28.3pt;"><span style="color: black;">Pemantauan penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara sampai dengan Semester I Tahun 2007 adalah sebagai berikut:</span></div><div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 13.45pt; tab-stops: 19.9pt;"><b><span style="color: black;">1. <span style="letter-spacing: -0.1pt;">Pengenaan Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Bendahara</span></span></b></div><div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 13.2pt; margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: .5pt; margin-top: 8.9pt; mso-line-height-rule: exactly; text-align: justify; text-indent: 19.9pt;"><span style="color: black;">Dalam Semester I Tahun 2007, BPK telah menyelenggarakan proses (pengadministrasian) pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara sebanyak 424 kasus yang terdiri dari 167 kasus yang terjadi di <span style="letter-spacing: -0.05pt;">lingkungan Pemerintah Pusat, 193 kasus di lingkungan pemerintah daerah </span>dan 64 kasus di lingkungan BUMN.</span></div><div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 13.2pt; margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: .25pt; margin-top: 8.9pt; mso-line-height-rule: exactly; text-align: justify; text-indent: 19.9pt;"><span style="color: black; letter-spacing: -0.15pt;">Penyelesaian kerugian negara atas kekurangan perbendaharaan sebagai </span><span style="color: black; letter-spacing: -0.05pt;">akibat kesalahan, kelalaian bendahara pada Pemerintah Pusat, pemerintah </span><span style="color: black;">daerah dan BUMN sampai dengan Semester I Tahun 2007 masih sangat rendah. Dari 424 kasus kerugian negara/daerah atas tanggung jawab bendahara senilai Rp134,13 miliar dan USD960,09 ribu baru dapat diselesaikan 24 kasus senilai Rp1,59 miliar (1,18%).</span></div><div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 13.2pt; margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 19.9pt; margin-right: 0cm; margin-top: 13.2pt; mso-line-height-rule: exactly; tab-stops: 19.9pt; text-indent: -19.9pt;"><b><span style="color: black;">2. Pengenaan Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara</span></b></div><div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 13.2pt; margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 8.9pt; mso-line-height-rule: exactly; text-align: justify; text-indent: 19.9pt;"><span style="color: black;">Tingkat penyelesaian kerugian negara sebagai akibat kesalahan, <span style="letter-spacing: -0.2pt;">kelalaian pegawai negeri bukan bendahara sampai dengan Semester I Tahun </span><span style="letter-spacing: -0.05pt;">2007 masih sangat rendah. Dari 3.750 kasus senilai Rp545,94 miliar pada </span>Pemerintah Pusat, pemerintah daerah dan BUMN baru dapat diselesaikan 97 kasus senilai Rp95,92 miliar (17,6%), sedangkan valuta asing senilai <span style="letter-spacing: -0.25pt;">USD4,34 juta, JPY629,68 juta, FFR37,164 juta, C$94,96 ribu, NLG2,97 juta, </span>DM1,83 juta, Aus$576,78 ribu dan Euro32,52 ribu belum ada penyelesaiannya.</span></div><div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 13.2pt; margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 19.9pt; margin-right: 0cm; margin-top: 13.2pt; mso-line-height-rule: exactly; tab-stops: 19.9pt; text-indent: -19.9pt;"><b><span style="color: black;">3. Pengenaan Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Pihak Ketiga</span></b></div><div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 12.95pt; margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 8.9pt; mso-line-height-rule: exactly; text-align: justify; text-indent: 19.9pt;"><span style="color: black; letter-spacing: -0.25pt;">Tingkat penyelesaian kerugian negara/daerah atas tanggung jawab pihak </span><span style="color: black;">ketiga masih sangat rendah. Sampai dengan Semester I Tahun 2007 dari <span style="letter-spacing: -0.1pt;">1.543 kasus pada Pemerintah Pusat, pemerintah daerah dan BUMN senilai </span>Rp7,69 triliun dan US$1,56 juta baru dapat diselesaikan 40 kasus senilai <span style="letter-spacing: -0.15pt;">Rp879,12 miliar (11,44%) dan valuta asing senilai US$1,56 juta belum ada </span>penyelesaian.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">***</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">Data yang saya salinkan di atas telah kedaluwarsa selama empat atau tiga tahun, lalu bagaimana pula dengan sekarang… Maasya Allah… Hanya Allah SWT saja yang Maha Mengetahui.</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">Bila orang bertanya, bagaimana cara mengatasi masalah korupsi di negara yang dihuni oleh populasi muslim terbesar di dunia ini? Maka dengan singkat dapat kita jawab: “Hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah!”</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">Orang yang bertaqwa adalah orang yang meyakini, bahwa: meskipun seorang koruptor dapat meluputkan diri dari kejahatan di dunia ini…, namun sama sekali tidak akan lepas dari tuntunan hukum di hadapan pengadilan Ilahi Rabbi… Dan koruptor sama sekali tidak akan memperoleh syafa’at dari Rasulullah SAW.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">Ibnu Jarir mentakhrijkan di dalam At Tafsir/ Juz IV/ halaman 159:</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;"></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; text-indent: 14.2pt; unicode-bidi: embed;"><br />
<div class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; text-indent: 14.2pt; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;">عن عكرمة، عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى لله عليه وسلم "لا أعْرِفَنَّ أحَدَكُمْ يَأْتي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْملُ شَاةً لَهَا ثُغَاءٌ، فَيُنَادِي: يَا مُحَمَّدُ، يَا مُحَمَّدُ، فَأقُولُ: لا أمْلِكُ [لَكَ] مِنَ اللهِ شَيْئًا، قَدْ بَلَّغْتُكَ. ولا أعْرِفَنَّ أحَدَكُمْ [يأْتِي] يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُ جَمَلا لَهُ رُغَاءٌ، فَيَقُولُ: يَا مُحَمَّدُ، يَا مُحَمَّدُ. فَأَقُولُ: لا أمْلِكُ لَكَ مِن اللهِ شَيْئًا، قَدْ بَلَّغْتُكَ. ولا أعْرِفَنَّ أَحَدكمْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُ فَرَسًا لَهُ حَمْحَمَةٌ، يُنَادِي: يَا مُحَمَّدُ، يَا مُحَمَّدُ. فَأَقُولُ: لا أمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا، قَدْ بَلَّغْتُكَ. وَلا أعْرِفَنَّ أحَدَكُمْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُ [قَشْعًا] من أدْمٍ، يُنَادِي: يَا مُحَمَّدُ، يَا مُحَمَّدُ. فأقُولُ: لا أمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا، قَدْ بَلَّغْتُكَ".</span></div><span lang="AR-SA" style="font-family: Arial, sans-serif;"></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;"><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;"><span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">Bersumber dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sama sekali aku tidak akan mengenal salah seorang kamu yang datang pada hari kiamat sambil membawa seekor kambing yang mengembek, lalu ia berseru: Wahai Muhammad, wahai Muhammad! Maka aku menjawab: Aku sama sekali tidak mampu (menolongmu) dari Allah sedikitpun, sungguh aku telah menyampaikan (bahaya ini) kepadamu… Aku sama sekali tidak akan mengenal salah seorang kamu yang datang pada hari kiamat yang membawa seekor unta yang mengeluh, lalu ia berkata: Wahai Muhammad, wahai Muhammad! Maka aku menjawab: Aku sama sekali tidak mampu (menolongmu) dari Allah sedikitpun, sungguh aku telah menyampaikan (bahaya ini) kepadamu… Aku sama sekali tidak akan mengenal salah seorang kamu yang datang pada hari kiamat yang membawa seekor kuda yang meringkik, lalu ia berkata: Wahai Muhammad, wahai Muhammad! Maka aku menjawab: Aku sama sekali tidak mampu (menolongmu) dari Allah sedikitpun, sungguh aku telah menyampaikan (bahaya ini) kepadamu… Aku sama sekali tidak akan mengenal salah seorang kamu yang datang pada hari kiamat yang membawa selembar kulit yang sudah disamak, lalu ia berkata: Wahai Muhammad, wahai Muhammad! Maka aku menjawab: Aku sama sekali tidak mampu (menolongmu) dari Allah sedikitpun, sungguh aku telah menyampaikan (bahaya ini) kepadamu…”<o:p></o:p></span></div></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><i>Ya Allah! Selamatkanlah kami!</i></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">UG-<span lang="IN">Selasa, 28 Desember 2010 pukul 7:07:44</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div>Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-11300900352104363792010-12-21T01:13:00.001+07:002011-09-29T22:24:16.844+07:00JAGALAH DIRI DARI NERAKA WALAUPUN DENGAN SEBUTIR KURMA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
</div>
<div align="left" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
</div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span lang="AF" style="font-family: "Verdana", "sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"></span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
</div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
</div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
</div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span lang="AF" style="font-family: "Verdana", "sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"></span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Verdana", "sans-serif";">Marilah kita merenung sejenak, terutama sa’at-sa’at larut malam sedang memeluk insan dalam dengkuran tidur yang nyenyak. Di sa’at manusia memperlihatkan wajah polos, siapapun dianya… walaupun di kala bangunnya, wajah itu terkadang ditutupi topeng-topeng yang berwarna-warni…</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Verdana", "sans-serif";">Mari kita meletakkan beban yang menghentak di puncak kepala, dan menyenak di jiwa…, kala bunga-bunga dunia memukau kita agar berpaling kepadanya dengan mengorbankan ketulusan, kejujuran dan cinta kasih… Lalu dipaksanya kita menutupi borok di muka dengan topeng kepalsuan… </span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Verdana", "sans-serif";">Renungan itu membawa kita untuk menginsafi jatidiri, bahwa; kita hadir di dunia ini sementara waktu dan kelak kita akan menghadap kepada Handai Tertinggi; Rabbul ‘Izzati, pada hari liqa’ (pertemuan itu) terjadi.</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Verdana", "sans-serif";">Seperti wajah-wajah polos dalam dengkuran tidur tengah malam itu, tak ada perbedaan antara wajah pencinta dengan pembenci, antara si adil dengan si zalim, si kaya dengan si miskin… maka kita hadapkan jiwa raga kita kepada Allah SWT dengan kepolosan hati, meminta kepadaNya ampunan dan kasih sayangNya, agar memelihara kita dari siksa neraka… </span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Verdana", "sans-serif";">Nabi SAW pernah mengingatkan kita, agar memelihara diri dari neraka, meskipun dengan sebutir kurma…</span><span style="font-family: "Verdana", "sans-serif";"> <span lang="AF">“jika kamu tidak mendapati separoh kurma”, kata beliau, “maka dengan kata-kata yang baik...”</span></span><span lang="AF" style="font-family: "Verdana", "sans-serif";"> </span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Verdana", "sans-serif";">Pesan Al Musthafa SAW tersebut seperti tercantum di bahwa ini:</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;">
<span lang="AR-SA" style="font-family: "Arial", "sans-serif"; font-size: 14pt; line-height: 115%;">جامع الأصول في أحاديث الرسول - (ج 11 / ص 313)</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;">
<span lang="AR-SA" style="font-family: "Arial", "sans-serif"; font-size: 14pt; line-height: 115%;">8877 - (خ) عدي بن حاتم - رضي الله عنه - قال : «بينما أنا عند النبي -صلى الله عليه وسلم- ، إِذ أتاهُ رجل. فشكا إِليه الفاقة ، ثم أتاهُ آخر فشكا إِليه قَطْع السبيل-[314]- فقال يا عدي ، هل رأيت الحِيرَةَ ؟ قلت: لم أرها ، وقد أنبئت عنها ،قال: إن طالت بك حياة لَتَرَيَنَّ الظَّعينة ترحل من الحِيرة حتى تطوف بالكعبة. لا تخاف أحدا إِلا الله تعالى.</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Arial", "sans-serif"; font-size: 14pt; line-height: 115%;"> </span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Arial", "sans-serif"; font-size: 14pt; line-height: 115%;">قلت: فيما بيني وبين نفسي : فأين دُعَّارُ طَيِّء الذين سعَّروا في البلاد ؟ - ولئن طالت بك حياة لتفتحن كنوز كسرى ، قلت: كِسرى بن هُرْمُز ؟ قال: كسرى بن هرمز، ولئن طالت بك حياة لَتَرَيَنَّ الرجل يُخرج مِلء كَفِّه من ذهب أو فضة يطلب من يَقْبَلُهُ، فلا يجد أحدا يقبله منه ، ولَيَلْقِيَنَّ الله أحدُكم يوم يلقاه ، وليس بينه وبينه حجاب ، ولا تَرْجمان يُترجم له. فليقولن : ألم أبعث إِليك رسولا فيُبلغك ؟ فيقول : بلى يا رب ، فيقول : ألم أعطك مالا وأُفْضِلْ عليك ؟ فيقول : بلى ، فينظر عن يمينه ، فلا يرى إِلا جهنم ، وينظر عن يساره فلا يرى إِلا جهنمي. قال عدي : فسمعتُ النبي -صلى الله عليه وسلم- يقول : اتقوا النار ، ولو بشق تَمرة، فمن لم يجد شِقَّ تمرة فبكلمة طيبة.</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;">
<span lang="AR-SA" style="font-family: "Arial", "sans-serif"; font-size: 14pt; line-height: 115%;">قال عدي : فرأيت الظعينة ترتحل من الحيرة حتى تطوف بالكعبة لا تخاف إِلا الله. وكنتُ فيمن افتتح كنوز كسرى بن هرمز. ولئن طالَت بكم حياة لَتَرَوُنَّ ما قال أبو القاسم -صلى الله عليه وسلم- يُخرج». أخرجه البخاري. (2/135و4/240)</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
<br />
<span lang="AF" style="font-family: "Verdana", "sans-serif";">Dari 'Adi bin Hatim ra., ia berkata : "Ketika saya berada di sisi Nabi SAW tiba-tiba datang seorang laki-laki kepada beliau, yang mengadukan tentang kemiskinan, kemudian datang pula kepada beliau orang lain yang mengadukan tentang penyamun.</span><br />
<span lang="AF" style="font-family: "Verdana", "sans-serif";"> </span><span lang="AF" style="font-family: "Verdana", "sans-serif";"> </span><br />
<span lang="AF" style="font-family: "Verdana", "sans-serif";">Rasulullah SAW, bersabda : "Wahai Adi, apakah kamu melihat Hirah ?"</span><br />
<span lang="AF" style="font-family: "Verdana", "sans-serif";"><br />Saya menjawab : "Saya belum pernah melihatnya, tetapi saya telah diberi tahu tentang Hirah itu".<br /><br />Rasulullah SAW. bersabda : "Jika kamu berusia panjang, niscaya kamu akan melihat sekedup perempuan yang berangkat dari Hirah hingga thawaf di Ka'bah, (perempuan yang ada di dalam) sekedup itu tidak takut kepada seorangpun kecuali kepada Allah".<br /><br />Saya bergumam kepada diri sendiri: "Dimanakah penyamun yang suka membuat keonaran di suatu negara ?"<br /><br />(Nabi SAW. bersabda) : "Jika kamu hidup lebih lama, maka kamu akan ikut menaklukkan perbendaharaan Kisra".<br /><br />Saya bertanya : "Kisra bin Hurmuz ?"<br /><br />Nabi SAW. bersabda : "Kisra' bin Hurmuz..., dan jika kamu hidup lebih lama, maka kamu akan melihat seorang laki-laki mengeluarkan emas atau perak sepenuh telapak tangannya, lalu mencari orang yang mau menerimanya; tetapi ia tidak mendapat seorangpun yang mau menerima sedekahnya itu... Dan seseorang di antaramu pasti akan menghadap Allah pada hari pertemuan itu; dimana antara dia dengan Allah sama sekali tidak ada penterjemah... Maka sungguh Allah akan berfirman kepadanya: "Bukankahkah aku telah mengutus seorang Rasul menyampaikan (risalah) kepadamu?" Ia menjawab : "Ya". Lalu yang bersangkutan melihat ke arah kanannya, ia hanya meliha neraka Jahannam, dan melihat ke jurusan kirinya, ia hanya melihat neraka Jahannam belaka.”<br /><br />'Adi berkata : "Saya mendengar Nabi SAW bersabda : "Jagalah dirimu dari neraka walaupun dengan separoh kurma, jika kamu tidak mendapati separoh kurma maka dengan kata-kata yang baik.”<br /><br />'Adi ra. berkata: Lalu saya melihat sekedup perempuan yang berangkat dari Hirah sehingga thawaf di Ka'bah... perempuan dalam sekedup itu tidak takut kecuali hanya kepada Allah... Dan saya termasuk orang-orang yang ikut menaklukkan perbendaharaan Kisra bin Hurmuz... Sungguh; jika kalian berumur panjang, maka kalian akan menyaksikan apa yang telah disabdakan oleh Nabi; Abil Qasim SAW, yaitu : "Orang mengeluarkan (emas atau perak sepenuh telapak tangannya, lalu mencari orang yang mau menerima sedekahnya) –realitas ini terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz-pent)". ((Sheheh Al Bukhari/Juz II/ hal 135 dan juz IV/ hal 240 (Jami’ al Ushul fii ahaadits al Rasul/ Juz XI/ hal 313))<br /><br /> UG-Selasa, 21 Desember 2010 pukul 00:51:06<br /></span><span lang="IN" style="font-family: "Verdana", "sans-serif";"></span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal">
</div>
<span lang="AF" style="font-family: "Verdana", "sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"></span></div>
Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-68866452780263690802009-10-17T09:55:00.009+07:002009-10-17T19:34:33.225+07:00MENINGGALKAN JAMA’AH JUM’AT SETELAH MEMBACAKAN PENGUMUMAN<div align="justify"><div align="left"><br /></div><strong>PERTANYAAN:</strong><br /><br /><i><strong>Apakah pandangan Syari’at Islam tentang perbuatan seseorang yang mendatangi jama’ah shalat Jum’at dalam suatu masjid, sekedar untuk membacakan atau menyampaikan suatu pengumuman –yang pada dasarnya bisa dibacakan atau diwakilkan kepada orang lain…-- Lalu, beberapa menit sebelum khatib naik mimbar, maka yang bersangkutan pergi meninggalkan jama’ah, untuk mendirikan ibadah Jum’at di tempat lain? Apakah perbuatan demikian pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW dan para Sahabat? Atau apakah prilaku demikian sesuai dengan Sunnah Rasulullah SAW?</strong></i> <strong>(Pertanyaan dari JMR di UG)</strong><br /><br /><strong>JAWABAN:</strong><br /><br />Para Ulama atau fuqahak sepakat menempatkan Ibadah Jum’at ke dalam bab “Al Ibaadaat (ibadah-ibadah)”, bukan ke dalam bab “Al Mu’amalat” atau bab lainnya. Dan sehubungan dengan masalah ibadah tersebut, maka para ulama telah sepakat menetapkan kaedah-kaedah seperti berikut:<br />الأصل في العبادة الحظر والتوقيف (Pada dasarnya dalam ibadah adalah terlarang dan terhenti) Maksudnya: tidak boleh melakukan ibadah tanpa dalil.) (lihat: تلقيح الافهام العلية بشرح القواعد الفقهية - (ج 3 / ص 27) atau فتح الباري - ابن حجر - (ج 3 / ص 54) )<br />الأصل في باب العبادات هو اتباع الرسول (Pada dasarnya dalam bab ibadat-ibadat adalah mengikuti Rasul) Maksudnya; tidak boleh melakukan suatu ibadah tanpa mengikuti Sunnah Rasulullah SAW. (lihat: قواعد وأسس في السنة والبدعة - (ج 1 / ص 27) )<br />أن الأصل في العبادات الحظر حتى يأتي الدليل (Pada dasarnya dalam ibadat-ibadat adalah terlarang sehingga datang dalilnya) (lihat: قسم العقيدة - (ج 5 / ص 15) )<br />الأصل في العبادة أن تكون مشروعة وإلا فهي باطلة (Pada dasarnya dalam ibadah hendaklah disyari’atkan, jika tidak maka ia adalah bathil) (lihat: شرح فتح المجيد شرح كتاب التوحيد - للغنيمان - (ج 128 / ص 14)<br /><br />Menilik pertanyaan di atas, maka kedatangan si pelaku kepada sidang Jum’at dimaksud, bukanlah untuk melaksanakan ibadah Jum’at, tetapi karena membacakan pengumuman, -- yang pada dasarnya dapat dibacakan oleh salah seorang jama’ah Jum’at yang ada pada masjid itu sendiri atau diwakilkan kepada orang lain--, maka setelah membacakan pengumuman, lalu dengan sengaja meninggalkan jama’ah (mufaraqah jama’ah), tanpa merasa melanggar aturan syari’at…. Inilah perbuatan mungkar, yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syari’at. Dan tampaknya pelaku tidak dapat membedakan antara kaedah yang berhubungan dengan ibadah, dengan kaedah yang berkaitan dengan mu’amalat dan lain sebagainya…<br /><br />Bahkan, hukum membacakan pengumuman atau maklumat sebelum imam/khatib naik mimbar pada hari Jum’at seperti umumnya di negeri kita, masih diperselisihkan. Sebagian ulama berpendapat dibolehkan atas pertimbangan maslahah. Tetapi menurut ulama yang lain tidak dibolehkan, karena bagi mereka kaedah “al mashalih al mursalah” tidak dapat diterapkan dalam ketentuan ibadah.<br /><br />Perbuatan di atas sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, dan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum begitu pula dengan para Tabi’in, rahimahumullah.<br /><br />Dan… Perbuatan demikian sama sekali tidak akan pernah dilakukan oleh orang-orang yang mengerti tentang hukum Syari’at… Bahkan ditinjau dari segi ‘urf (adat kebiasaan kaum muslimin), nyatalah bahwa; perbuatan di atas tidak dapat dibenarkan, karena mengandung prilaku tercela, seperti ‘ujub dan riya yang memamerkan bahwa; suatu pekerjaan seolah-olah hanya akan terlaksana dengan adanya orang seorang, dan lain sebagainya.<br /><br />Perhatikanlah firman Allah dalam surat Al Jumu’ah ayat 9 dan 10:<br /><br /><div align="right"><strong>يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9) فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10)</strong><strong><br /></strong></div><br /><i>“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”</i><br /><br />Dalam ayat di atas jelas dinyatakan bahwa; Orang yang beriman yang menghadiri jama’ah shalat Jum’at tidak boleh meninggalkan tempat (masjid) bersangkutan sampai ibadah shalat Jum’at selesai dilaksanakan.<br /><br />Jadi perbuatan mufaraqah jama’ah (memisah diri dari jama’ah) sebelum ibadah shalat Jum’at selesai dilaksanakan, seperti kasus yang ditanyakan di atas; adalah perbuatan bid’ah yang sesat dan mungkar.<br /><br />Barangkali ada yang berkata, bahwa yang bersangkutan keluar meninggalkan jama’ah shalat Jum’at sebelum azan dikumandangkan, maka perbuatan demikian tidaklah terlarang.<br /><br />Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut:<br /><br />Rasulullah SAW, menjelaskan bahwa di antara tanda orang munafik, adalah meninggalkan masjid sewaktu atau setelah azan dikumandangkan:<br /><br />Syekh Nashiruddin Al Albani di dalam kitabnya “As Silsilatus Shahiihah”, hadits nomor 2518 (Shaheh) mencantumkan:<br /><br /><div align="right"><strong>[ لاَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ أَحَدٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا ثُمَّ يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ لِحَاجَةٍ ثُمَّ لاَ يَرْجِعُ إِلاَّ مُنَافِقٌ ] ( صحيح بالطريق الآخر</strong>)<br /></div><br /><i>“Tidak seorangpun yang mendengar seruan azan di masjidku ini, yang dibolehkan keluar daripadanya, kecuali karena suatu hajat… Kemudian yang tidak kembali lagi (ke dalam masjid) pastilah orang munafiq.”</i> (hadits shaheh dengan jalurriwayat yang lain)<br /><br />“Ketahuilah”, kata Albani, “bahwa hadits ini menurut zahir lafaznya adalah khusus hukumnya untuk Masjid Rasulullah. Namun demikian maknanya adalah mencakup semua masjid, karena banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan tentang wajibnya shalat berjama’ah.….”<br /><br />Selanjutnya… Hadits yang dicantumkan Al Albani di atas, sama sekali tidak dapat dijadikan hujjah untuk membolehkan perbuatan memisah diri dari jama’ah sebelum shalat Jum’at selesai dilaksanakan… Dan… sama sekali tidaklah dapat dijadikan dalil untuk mentolerir perbuatan yang menyimpang dari tuntunan Syari’at yang shaheh. Karena perbuatan itu adalah berlawanan dengan hadits-hadits shaheh seperti yang kita cantumkan di bawah ini.<br /><br />Meminjam istilah Ibnu Manzur, perbuatan pelaku dapat dipandang sebagai “mufaraqah aljama’ah (memisahkan diri dari jama’ah)” yaitu; dengan pengertian meninggalkan sunnah dan mengikuti bid’ah (ومعنى مُفارقة الجماعة تَركُ السُّنة واتِّباع البِدْعة ) (lihat Lisanul ‘Arab/ Juz X/ halaman 112)<br /><br />Dalam hadits yang panjang riwayat At Turmudzi dinyatakan tentang bahaya memisahkan diri dari jama’ah:<br /><br /><div align="right"><strong>....قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللهُ أَمَرَنِي بِهِنَّ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ وَالْجِهَادُ وَالْهِجْرَةُ وَالْجَمَاعَةُ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ إِلاَّ أَنْ يَرْجِعَ ....) سنن الترمذى - ج 10 / ص 89 - جامع الأحاديث - ج 34 / ص 206</strong><br /></div><br />Nabi SAW bersabda: “Aku memerintahkan kepadamu lima perkara, sebagaimana Allah memerintahkan demikian kepada aku; (1) mendengar, (2) menta’ati, (3) berjihad, (4) hijrah dan (5) berjama’ah. Maka sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah, walaupun sejengkal, maka sungguh telah tanggal buhul Islam dari lehernya,kecuali dia kembali…”<br /><br />Jadi… Perbuatan demikian hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang menjadikan masjid sebagai tempat memamerkan diri (riya), bukan oleh orang-orang yang benar-benar berubudiyyah kepada Allah SWT.<br /><br />Sebagai landasan untuk beramal maka…. Cukuplah bagi kita hadits-hadits Rasulullah SAW sebagai berikut:<br /><br /><div align="right"><strong>عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: عَن الْمَلائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلاَّهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ لاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا دَامَتْ الصَّلاَةُ تَحْبِسُهُ لاَ يَمْنَعُهُ أَنْ يَنْقَلِبَ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ الصَّلاَةُ (صحيح البخاري - (ج 3 / ص 50) مسند الصحابة في الكتب التسعة - (ج 1 / ص 219</strong>)<br /></div><br />Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi SAW bersabda: “Tentang para malaikat yang bershalawat atas salah seorang kamu, <strong>selama yang bersangkutan di tempat shalatnya (masjid), dan selama dia tidak berhadats</strong> <i>“Allahmmaghfir lahu, Allahummarhamhu (Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah rahmatilah dia)”.</i> Salah seorang kamu senantiasa dalam (mendapatkan pahala) shalat selama shalat itu menahan dia (dari meninggalkan tempat shalat/ masjid), tiada yang menghalangi dia untuk kembali kepada keluarganya melainkan shalat.”<br /><br /><div align="right"><strong>عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- :« إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَىْءٌ أَمْ لاَ؟ فَلاَ يَخْرُجْ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ عَنْ زُهَيْرِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ جَرِيرٍ. السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي - (ج 1 / ص 117</strong>)<br /></div><br />Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang kamu mendapatkan sesuatu pada perutnya, lalu samar baginya apakah ada sesuatu yang keluar daripadanya? Maka<strong> janganlah dia keluar dari masjid</strong> sehingga dia mendengar suara atau mendapatkan bau (angin busuk).”<br /><br /><div align="right"><strong>أبو هريرة - رضي الله عنه - قال : قال رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم- : «صلاةُ الرجل في الجماعة تُضعَّف على صلاته في بيته ، وفي سوقه خمسا وعشرين ضعفا ، وذلك أنه إذا توضأ فأحسنَ الوُضُوءَ ، ثم خرجَ إلى المسجد ، لا يُخرِجُه إلا الصلاةُ ، لم يَخْطُ خُطوة إلا رُفعت له بها درجة ،- وحطَّ عنه بها خطيئة ، فإذا صلى لم تَزَل الملائكة ، تُصلِّي عليه ما د ام في مُصلاه ، اللهم صلِّ عليه ، اللهم ارحمه ، ولا يزال أحدُكم في صلاة ما انتظرَ الصلاةَ» )صحيح : 1- أخرجه أحمد (2/252) والبخاري (1/129) ومسلم (2/128و129) وأبو داود (559) وابن ماجة (281 و 774 و 786 و 799) والترمذي (603) والنسائي في الكبرى تحفة الأشراف (9/12407) جامع الأصول في أحاديث الرسول - (ج 9 / ص 413)</strong><strong><br /></strong></div><br />Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Shalat seseorang dalam berjama’ah, dilipat gandakan atas shalatnya di rumahnya, dan di pasarnya, dua puluh kali lipat ganda. Yang demikian, bilamana dia berwudhuk maka dia membaguskan wudhuknya, kemudian dia keluar menuju masjid, tiada yang mendorong dia keluar melainkan shalat, tidaklah dia melangkah dengan satu langkah melainkan dengan demikian diangkatkan baginya satu derjat, dan dihapuskan dengan demikian daripadanya satu dosa. Maka apabila dia shalat, niscaya para malaikat akan bershalawat atasnya, <strong>selama dia berada di mushalla (masjid)nya</strong>; <i>“Allahumma shalli 'alaihi, Allahummarhamhu (Ya Allah limpahkanlah shalawat kepadanya, Ya Allah rahmatilah dia)”</i>. Dan salah seorang kamu senantiasa dalam (pahala) shalat, selama dia menunggu shalat.”<br /><br />Demikianlah semoga bermanfa’at adanya.<br /><strong><i>Wallaahu a’lamu bis shawab.</i></strong><br /></div>Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-12256586388387447312009-10-05T06:34:00.002+07:002009-10-05T06:46:36.972+07:00CATATAN G 30 S (GEMPA 30 SEPTEMBER) 2009<div align="justify"> <br />Rabu 30 September 2009... Di tempat kami (Ujung Gading Pasaman Barat) jarum jam menunjukkan kurang lebih pukul 17.17 Wib.<br /><br />Pada waktu itulah kami dikejutkan oleh gempa dahsyat berkekuatan 7,6 pada SR.<br /><br />Saya berlari menggendong anakku Raihan yang berusia tiga tahun ke halaman rumah. Sementara isteriku berlari membawa anak-anak kami yang masih di bangku SD ke tempat terbuka di depan rumah kami… bangunan rumah berayun dibuai gempa… pepohonan meliuk-liuk seakan-akan tercerabut dari akarnya… Tonggak-tonggak listrik menari-nari bagai menggila…<br /><br />Kami semua bertahlil mengucapkan; <strong>Laa ilaaha illallah</strong>… sebagai pengakuan spontan bahwa; Tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah… Bahwa tiada tempat berlindung dan tempat meminta pertolongan selain hanya kepada Allah SWT belaka…<br /><br />Kalimah ini ternyata memberikan kekuatan luar biasa kepada kami… Ada ketenangan yang mengalir ke jantungku melenyapkan rasa takut dan gentar menghadapi bahaya… Kalimah ini tak obahnya seperti payung yang melindungi dari kucuran hujan lebat dan panasnya terik mentari… dengan mengucapkan kalimah tersebut dari jiwa terdalam, maka semakin mengertilah saya, akan makna ungkapan Nabi SAW yang menyebut kalimat Laa ilaaha illah sebagai kalimah ikhlas atau kalimah taqwa (الحاكم في مستدركه ج2/ص501 ح3717)….<br /><br />Aku melihat bangunan masjid Raya Ujung Gading, yang terletak di sebelah rumah kami; terutama kubah mesjid berayun-ayun seperti biduk di tengah laut. Aku berdo’a kepada Allah SWT semoga melindungi kami dan memelihara masjid kami dari kehancuran.<br /><br />Tak lama kemudian, gempapun berakhir…<br /><br />Saya masuk ke rumah mendapatkan Laptop masih menyala… Dan Alhamdulillah, Allah SWT memelihara kami dari marabahaya... Rumah kami tetap utuh, meskipun dengan perabotan rumah yang berantakan… tetapi tidak mengalami kerugian materil yang cukup berarti. Begitupun dengan rumah tetangga, kecuali sebuah rumah yang sudah tua, bagian dapurnya rubuh… Sungguhpun demikian, pada Kenagarian Ujung Gading berdasarkan informasi yang bersumber dari Kantor Wali Nagari 5/10/2009, terdapat lebih dari empat ratusan bangunan rumah, yang mengalami kerusakan ringan, sedang dan berat, di samping kerusakan bangunan masjid dan mushalla, perkantoran dan sarana umum lainnya.<br /><br />Masjid Raya Ujung Gading, hanya mengalami kerusakan pada kubah mihrabnya. Lalu…. dinding atas yang retak berat kemudian kami rubuhkan, agar jangan menjadi ancaman malapetaka bagi jama’ah shalat di kemudian hari…<br /><br />Aliran listrik terputus, jalur komunikasi via telephon dan HP terputus total…<br /><br />Kami sekeluarga masih dirundung rasa khawatir, mengingat anak kami yang tertua masih kuliah di Universitas Andalas Padang, begitupun dengan adik ipar dan keluarga lainnya yang ada di Padang.<br /><br />Kamis pagi 1 Oktober 2009 saya berangkat ke Padang dengan mengenderai sepeda motor. Meskipun harus melewati medan yang sulit saya bersama anak ke dua saya Hanif Muslim sampai juga di Padang.<br /><br />Kerusakan akibat gempa terlihat di mana-mana, terutama dari Kec. Kinali Pasaman Barat hingga ke Padang…<br /><br />Alhamamdulillah, anak tertua saya Abdul Azis dalam keadaan sehat wal ‘afiat, yang pada waktu gempa dahsyat itu terjadi sedang berada di kamarnya, di lantai IV asrama Islamic Centre DDII Jl. Srigunting 2 Padang… Allah telah memelihara gedung ini dari kerubuhan… Begitu pula dengan adinda H. Hayatul Fikri. MPd, sekeluarga yang tinggal di Perumahan Bungo Mas Padang… berada dalam keadaan sehat wal ‘afiat dan rumahnya terhindar dari kerusakan yang cukup berarti…<br /><br />Saya merasakan nikmat Allah SWT yang sangat besar kepada kami… Nikmat yang wajib kami syukuri dengan senantiasa bertaqarrub kepadaNya.<br /><br />Untuk saudara-saudara seiman… Semoga Allah SWT mengampuni mereka yang telah kembali ke alam baqa dan menempatkan mereka dalam surga jannatun naim. Dan bagi yang ditinggalkan diberi kesabaran dan keteguhan hati… dan semoga Allah SWT mengganti nikmat yang hilang dengan yang lebih baik daripadanya. Amin!<br /></div>Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-88230512287505890412009-04-23T10:50:00.004+07:002009-04-23T11:03:38.393+07:00Kutipan Surat Khalifah Ali bin Abi Thalib kepada Malik Asytar, Gubernur Mesir<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjUIPY42Pf6Q4tEeUm_rQVVAJeI4wvVBaM13KWYm56EJgo7B8JLlEwKo8BX_0U-M5mbxLqaArwZ2tT1v4BkEh545bErcqfRMt2YeSwoxw-sRA-s3xWdmdYoubII4V0MDqesC1cgAI6HaAQ/s1600-h/Picture+014.jpg"><img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjUIPY42Pf6Q4tEeUm_rQVVAJeI4wvVBaM13KWYm56EJgo7B8JLlEwKo8BX_0U-M5mbxLqaArwZ2tT1v4BkEh545bErcqfRMt2YeSwoxw-sRA-s3xWdmdYoubII4V0MDqesC1cgAI6HaAQ/s320/Picture+014.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5327730872144333650" /></a><br /><br /><br />HARTA PALING BERHARGA<br /><br />Ketahuilah olehmu, wahai Malik, aku kirim eng-kau sebagai gubernur ke suatu negeri yang masa lalunya pernah ditandai dengan pemerintahan yang adil dan yang tak adil. Rakyat akan mengamati tindakan-tindakan dengan teliti, sebagaimana engkau mengamati tindakan-tindakan para pendahulumu. Mereka akan mempercakapkanmu sebagaimana engkau memper-cakapkan pendahulu-pendahulumu. Sesungguhnya hanya orang-orang yang berbuat baik sajalah yang dipercakapkan baik oleh rakyat. Rakyatlah yang akan memberikan bukti tindakanmu. Maka harta yang paling bernilai yang semestinya kau dambakan haruslah perbuatan baik. Jagalah agar nafsumu tetap terkendali dan nafikanlah segala sesuatu yang terlarang bagimu, karena – hanya dengan pantangan semacam itu – engkau akan mampu membedakan antara yang mereka anggap baik dengan yang tidak.<br /><br />Kembangkanlah di dalam hatimu rasa cinta akan rakyatmu dan jadikanlah hal ini sumber kebaikan dan keberuntungan bagi mereka. Jangan bergaul dengan mereka seperti orang barbar dan jangan engkau ambil untuk dirimu sendiri segala sesuatu yang menjadi milik mereka. Ingatlah bahwa penduduk Negara ada dua macam, saudaramu seagama atau saudaramu sesama manusia. Mereka memiliki kelamahan dan dapat berbuat keliru. Beberapa di antara mereka benar-benar melakukan kekeliruan. Maafkanlah mereka sebagai-mana engkau berharap Allah akan memaafkan engkau. Camkanlah dalam pikiranmu bahwa engkau ditempat-kan di atas mereka, sama seperti aku ditempatkan di atasmu. Dan kemudian ada Allah yang berada di atas orang yang memberimu jabatan gubernur. Allah meng-hendaki engkau memelihara orang-orang di bawahmu dan mencukupi mereka. Dan engkau akan dinilai berdasarkan apa yang engkau lakukan bagi mereka.<br /><br />Jangan jadikan dirimu penentang Allah, karena tak kau miliki kekuatan untuk melindungi dirimu dari kemurkaanNya dan tak pula kau mampu menempatkan diri di luar kasih sayang dan ampunanNya. Jangan menyesal karena memaafkan dan pula bersenang hati dengan hukuman yang kau jatuhkan. Jangan bangkitkan dalam dirimu rasa marah, karena tidak ada kebaikan yang ditimbulkan olehnya.<br /><br />Jangan berkata: "Aku adalah tuan dan penguasa mutlak kalian. Karenanya kalian harus tunduk pada perintah-perintahku." Ucapan ini akan merusakkan hatimu, melemahkan imanmu dan menimbulkan kekacauan di negaramu. Jika engkau merasa bangga dengan kekuasaan, merasakan dalam jiwamu gejala-gejala kebanggaan dan kesombongan – yang paling halus sekalipun – maka tengoklah kekuasaan dan keagungan pengaturan Ilahi atas jagad raya yang sama sekali berada di luar kendalimu. Hal ini akan mengem-balikan rasa keseimbangan pada pikiranmu yang terombang ambing dan memberimu perasaan tenang dan keramah tamahan. Ingatlah! Jangan sekali-kali kau tantang keagungan dan kemegahan Allah dan jangan kau tiru kemahakuasaanNya, karena Allah memandang rendah setiap pembangkang terhadapNya dan setiap tiran atas manusia.<br /><br />Hormatilah hak-hak Allah dan hak-hak manusia dengan perbuatan-perbuatanmu, demikian pula dengan teman-teman dan kerabatmu. Ajaklah teman dan kerabatmu itu melakukan hal serupa, karena kalau tidak, engkau akan berlaku zalim terhadap dirimu sendiri dan terhadap kemanusiaan. Maka manusia dan Allahlah keduanya akan menjadi musuh-musuhmu. Orang yang menjadikan Allah sebagai musuhnya tak akan di dengar di mana-mana. Dia akan diperangi Allah sampai dia merasa sangat menyesal dan memohon ampun. Tidak ada yang sedemikian mudah meng-halangi manusia dari rahmat Allah atau menimbulkan kemurkaanNya selain daripada kekejaman. Maka dari itulah Allah mendengarkan suara kaum tertindas dan menjegal para penindas. (Kutipan dari buku Nahjul Balaghah)Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-68217568484712260972009-04-21T06:29:00.004+07:002009-04-21T06:41:05.914+07:00NASEHAT UNTUK PENGUASASURAT HASAN BASRI KEPADA KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ<br /><br />Hasan Basri (wafat 110 H) seorang tokoh ulama besar salaf pernah mengirimkan surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H) antara lain sebagai berikut:<br /><br />Ketahuilah wahai Amiral Mukminin! Bahwa Allah SWT menjadikan Kepala Negara yang adil untuk meluruskan segala yang miring, membetulkan segala yang bengkok, memperbaiki segala yang rusak, mem-belai kuatkan segala yang lemah, membela yang teraniaya dan untuk menjadi penolong bagi segala orang yang terlantar.<br /><br />Kepala Negara yang adil wahai Amiral Mukminin, adalah laksana seorang gembala yang sayang kepada binatang gembalaannya, kawan yang mengantarkannya ke tempat gembalaan yang lebih baik, menjauhkannya dari tempat-tempat yang berbahaya, menjaganya dari gangguan binatang buas dan memeliharanya dari kepanasan dan kedinginan.<br /><br />Kepala Negara yang adil wahai Amiral Mukminin, adalah laksana seorang ayah yang arif bijaksana terhadap anaknya, ia berbuat untuk kebahagiaan mereka, mengajarnya menjadi orang yang hidup berguna; ia berusaha membanting tulang selama hidupnya untuk mereka dan meninggalkan peninggalan yang berharga buat mereka sesudah matinya.<br /><br />Kepala Negara yang adil wahai Amiral Mukminin, laksana seorang ibu yang berhati kasih, yang bersikap lemah lembut kepada anaknya; ia mengandungnya dengan segala susah payah dan melahirkannya dengan segala susah payah pula. Ia mengasuhnya selagi kanak-kanak dan matanya bertanggang sepanjang malam, tak bisa tidur dengan tak bisa tidurnya anaknya itu; dan tenang lega perasaannya dengan tenag leganya anaknya. Ia susukan anaknya itu di kala membutuhkan, dan ia hentikan bila masanya telah tiba. Ia bergembira ria dengan sehat afiatnya buah hatinya itu, sebaliknya berduka hati jika anaknya menderita sakit.<br /><br />Kepala Negara yang adil wahai Amiral Mukminin, adalah menjadi pelindung anak yatim dan bendahara-wan bagi fakir miskin. Ia mendidik mengasuh mereka di kala kecil dan menjadi pelindungnya di kala ia besar.<br /><br />Kepala Negara yang adil wahai Amiral Mukminin, penaka jantung hati yang terletak di antara tulang-tulang iga, ia menjadi baik dengan baiknya hati dan ia menjadi rusak dengan rusaknya hati itu.<br /><br />Kepala Negara yang adil Wahai Amiral Mukminin, ialah orang yang berdiri di antara Allah dan para hambaNya. Ia mendengarkan firman Allah dan kemudian menyampaikannya kepada mereka, ia memandang kepada Allah dan kemudian ia memandang pula kepada para hambaNya itu; Ia patuh kepada Allah dan kemudian mengajak pula mereka itu supaya mematuhi perintah-perintahNya.<br /><br />Dari itu wahai Amiral Mukminin. Dalam segala apa yang dikuasakan Allah kepada engkau. Janganlah sekali-kali berlaku bagaikan seorang budak yang telah diberi amanah oleh majikannya untuk menjaga harta benda dan keluarganya, tetapi ia khianat berbuat sewenang-wenang terhadap harta benda itu dan menelantarkan kaum keluarga majikannya itu sehingga tinggal menjadi miskin dan harta benda itu menjadi hancur musnah berantakan sama sekali.<br /><br />Ketahuilah wahai Amiral Mukminin, bahwa se-sungguhnya Allah SWT telah menurunkan peraturan-peraturan yang mengandung ancaman yang berat (hudud) agar dengan itu orang menjauhkan diri dari skandal dan tindakan kejahatan. Tetapi bagaimana apabila yang melanggarnya orang yang seharusnya membelanya? Bahwa Allah SWT telah menjadikan hukum kisas sebagai jaminan kehidupan bagi para hambaNya, tetapi bagaimana apabila yang menjadi pembunuh mereka itu orang yang seharusnya dituntut menjalankannya?<br /><br />Wahai Amiral Mukminin, ingatlah senantiasa akan maut dan apa yang akan terjadi sesudah maut itu sedangkan para pengikut dan pembelamu di hadapan-Nya adalah sedikit. Maka dari itu persiapkanlah perbekalanmu menghadapinya dan apa yang terjadi kemudiannya berupa kerisauan yang besar.<br /><br />Ketahuilah wahai Amiral Mukminin, bahwa bagi engkau telah tersedia tempat tinggal yang lain dari rumah yang engkau tempati kini; yang engkau ter-bangun padanya sepanjang waktu tak bisa tidur sedangkan kekasihmu menjauhkan diri daripadamu; mereka menyerahkan engkau pada tempat yang paling bawah seorang diri tak ada teman. Maka dari itu siapkanlah perbekalan sejak kini yang kelak akan menemani engkau: <br /><br />"Ingatlah pada hari di mana manusia melarikan diri dari saudaranya, ibunya dan bapaknya, dan daripada isteri dan anak-anaknya." (QS. Abasa: 34-36)<br /><br />Wahai Amiral Mukminin, ingatlah!<br /><br />"Apabila dibongkar isi kubur dan dijelaskan apa yang tersimpan di dalam dada." (QS. Al-Adiyat: 9-10). Maka segala rahasia akan terbongkar nyata, sedangkan kitab catatan laporan amalpun menerangkan:<br /><br />"Tidak ada yang kecil maupun yang besar melain-kan semuanya itu tercatat di dalamnya." (QS. Al-Kahfi: 49). Maka sekarang wahai Amiral Mukminin, tampillah ke depan berbuat kebajikan sebelum ajal datang dan sebelum terputus segala cita-cita!... <br /><br />(Sayyid Sabiq, 'Anashirul Quwwah fil Islam, pag. 154-156/ Firdaus AN, Detik-detik terakhir Kehidupan Rasulullah SAW, pag. 106-109)Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-41589532668903904632008-12-01T12:58:00.002+07:002009-01-22T18:03:47.561+07:00Bahaya Berita FasikFASIK PENGHANCUR BANGUNAN<br />MASYARAKAT ISLAM<br />*Bahaya Berita Fasik<br /><br />Suatu ketika Nabi mengutus Walid bin 'Uqbah bin Abi Mu'ith untuk memungut zakat Bani Mustaliq. Ia menerima tugas itu tanpa ragu-ragu. Tetapi syethan telah menggoda hatinya dan menggoncangkan imannya. Ia merasa was-was untuk pergi ke Bani Mustaliq itu, karena khawatir kalau dirinya akan dibunuh. Di tengah jalan, sambil memperlambat jalan untanya, ia bimbang dan ragu, berat rasanya untuk memenuhi tugas yang dibebankan Nabi, sebab jiwanya pengecut. Maka diputuskannya lagi untuk kembali ke Medinah.<br /><br />Setelah sampai di sana, ia bercerita kepada Nabi:<br />"Bani Musthaliq kini telah kembali kafir. Mereka tidak mau menunaikan zakatnya, dan bahkan mereka sudah sepakat untuk menyerang kaum muslimin." (H.R. Ahmad dalam Musnad).<br /><br />Tentu saja Nabi memberikan perhatian sangat serius dengan berita yang dibawa Walid itu; bahwa mereka telah kafir, tidak mau berzakat, dan bahkan akan memerangi ummat Islam!<br /><br />Suatu kejutan dan berita gawat bagi Nabi dan kaum muslimin!<br />Di tengah kemarahan itu Nabi menyadari sendiri, bahwa kemarahan tidak dapat diselesai-kan dengan kemarahan juga, tetapi dengan: "Mohon perlindungan kepada Allah dari syethan terkutuk".<br /><br />Telah bulat tekad nabi untuk memerangi Bani Mustaliq, kalau tidak karena Allah mencegah pertumpahan darah itu. Melalui wahyuNya, Allah memerintahkan Nabi agar mengecek kebenaran berita Walid bin Uqbah. Kurir yang dipercayai untuk mengadakan pengecekan dengan tiba-tiba ini adalah pedang Allah, Khalid bin Walid, duta Nabi dan kepercayaan Islam.<br /><br />Berangkatlah Khalid ke Bani Mustaliq. Di batas kota ia berhenti untuk mencari informasi dari penduduknya tentang sikap mereka yang sesungguhnya. Ternyata apa yang ia dengar langsung adalah berita baik-baik saja, dan tidak ada yang harus ditakutkan. (Ahmad Muhammad Jamil, "Al-Qashashu al-Rumuzi fi al-Quran al-Karim", (terjemahan) pag. 116-118)<br /><br />Sehubungan dengan kasus di atas, maka turunlah ayat 6 sd 8 surat Al-Hujurat (49):<br />Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpa-kan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.(QS. 49:6)<br /><br />Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, (QS. 49:7)<br />sebagai karunia dan ni`mat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 49:8)<br /><br />DEFINISI FASIK<br /><br />Perbuatan Walid bin Uqbah di atas disebut Allah sebagai perbuatan orang fasik, dan berita yang bersumber dari orang fasik hendaklah diteliti, agar kita tidak menyesal di belakang hari. Lalu apakah yang dimaksud dengan fasik itu?<br />Kata "fasik" adalah berasal dari bahasa Arab "fasaqa" yang mengandung pengertian sebagai berikut:<br /><br />Menurut Ibnu Umar: asal "al-fisq" adalah keluar/ menyimpang dari sesuatu (أصل الفسق الخروج من الشيء) seperti firman Allah "maka ia (iblis) fasik dari perintah Tuhannya", maksudnya, "iblis keluar dari perintah". Seseorang dinamakan fasik, karena ia telah terlepas dari perbuatan baik (وسمي الرجل فاسقا لا نسلاخه من الخير). (Al-Gharib lil Khatthaabi Jilid I hal 603)<br /><br />Di dalam hadits misalnya kita jumpai:<br />في حديث النبي أنه قال خمس فواسق يقتلن في الحل والحرم الفأرة والعقرب والحدأة والغراب الأبقع والكلب العقور<br />"Lima jenis fasik yang dibunuh pada waktu halal dan haram (tahallul dan ihram): Tikus, kalajengking, burung elang, burung gagak yang belang putih dan hitam, serta anjing liar."<br />قال ابن قتيبة لا أرى الغراب سماه فاسقا إلا لتخلفه عن أمر نوح حين أرسله ووقوعه على الجيفة وعصيانه إياه وحكي عن الفراء أنه قال لا أحسب الفأرة سميت فويسقة إلا لخروجها من جحرها على الناس<br /> Ibnu Qutaibah berkata: "Aku berpendapat bahwa burung gagak dinamakan fasik hanya karena penyelewengannya atas perintah Nuh yakni sewaktu beliau mengutusnya, dan gagak bertengger di atas bangkai dan mendurhakai Nuh". Lalu orang menyebut tikus, maka ia mengatakan: "Aku kira tikus disebut fuwaisiqah (si kerdil fasik) hanya karena ia keluar dari lobang persembunyiannya kepada manusia." (Al-Gharib, ibid)<br />Bila kita meneliti kasus yang menjadi sebab turun ayat di atas, dimana Allah SWT menyebut Walid bin Uqbah sebagai fasik, maka sifat perbuatannya adalah sebagai berikut:<br />1. Mudah menerima suatu tugas tetapi tidak bertanggung jawab.<br />2. Karena sifat pengecut, maka ia menebarkan issue bohong atas Bani Musthaliq.<br />3. Demi kepentingan pribadinya, maka ia tidak menghiraukan bahaya pertumpahan darah yang membahayakan masyarakat banyak.<br />Sifat-sifat Walid bin Uqbah ini adalah sifat munafik tulen. Jadi munafik sekaligus disebut fasik.<br /><br />Rasulullah SAW bersabda:<br />حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ<br />"Tanda munafik itu ada tiga; Apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mungkiri dan bila ddiberi amanat ia berkhianat" (HR. Bukhari/ Al-Iman/ 32; Muslim/ fil Imam/ 89; At-Turmuzi/ fil Imam/ 2555; An-Nasa'i/ fil Imam wa syara'iihi/ 4935, dan Ahmad/ Musnad II/ 357,397,536)<br /><br />Berdasarkan keterangan para ulama, maka fasik dapat disimpulkan dengan:<br />Segala perbuatan yang keluar dari ketaatan./ Segala perbuatan yang keluar dari istiqamah (keteguhan memegang prinsip agama)/ Segala perbuatan maksiat/ Segala kedurhakaan/ Segala kebohongan./ Segala pengkhianatan atas agama. (Lihat: Mukhtaru al Shihhah, Jilid I/ hal. 206; Al-Gharib lil Khattaabi Jilid I hal 603; Al-Faiq, Jilid III, hal. 55, 116; an-Nihayah fi Gharib al-hadis, Jilid III, hal 446; Lisanul Arab, Jilid IV hal. 225, Jilid V, hal 47, 144, Jilid X, hal 208, dan Jilid XII hal. 270).<br /><br />KEHANCURAN UMMAT ISLAM<br /><br />Kasus yang terjadi pada masa Rasulullah SAW yang menyebabkan turunnya surat Al-Hujurat di atas sekaligus menggambarkan bahaya kefasikan sebagai ancaman bagi keutuhan ummat Islam. Oleh sebab itu, segala berita atau sepak terjang orang-orang fasik harus diwaspadai.<br /><br />Di samping kasus Walid bin Uqbah juga terdapat kasus turunnya surat An-Nur ayat 11-20:<br /><br />'Aisyah isteri Rasulullah SAW ikut bersama beliau dalam perang Bani Musthaliq. Tetapi ia ketinggalan baju rompinya. Maka ia kembali ke belakang, ke arah Medinah, diantar oleh satu regu tentara senior.<br /><br />Di tengah perjalanan kembali itu terlepas pula kalungnya, lalu hilang. Karena itu ia mengulangi jejak sendirian dan mencarinya agak lama.<br />Seorang dari regu pengawal merasa khawatir, lalu melacak di mana 'Aisyah berada. Kuda 'Aisyah terlihat minggat membawa sekedupnya.<br /><br />Kalung ditemukan oleh sang pengawal. Dan pada waktu itu 'Aisyah tinggal seorang diri di padang pasir. Ia kedatangan rasa kantuk, lalu tertidur dibuai angin sahara.<br />Pagi haripun datang, dan 'Aisyah bangun dari tidurnya. Tiba-tiba ia melihat Shafwan bin Muatthal sedang menjemput sesuatu yang terjatuh atau tercecer. 'Aisyah melihat Shafwan dan mendengarnya mengucapkan kata-kata: Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.<br />Setelah menjemput kalung yang tercecer, kemudian Shafwan membawa kembali 'Aisyah ke dalam rombongan untuk selanjutnya bergabung dengan rombongan Nabi SAW. Hati Shafwan lega, sebab ia telah menyelamatkan seorang yang paling dicintai Nabinya, dan 'Aisyah juga gembira karena sudah dapat berkumpul kembali dengan suami dan keluarga besarnya, setelah ia terpencil sendirian di padang pasir.<br />Namun demikian kegembiraan 'Aisyah belum tuntas, karena diikuti dengan banyaknya issue, berita bohong, fitnah dan gosip-gosip.<br />'Aisyah isteri Nabi, anak seorang sahabat terhormat dari keturunan bangsawan mulia itu difitnah ada main dengan Shafwan, seorang anak Mu'atthal, pahlawan dan sahabat yang mati syahid".<br /><br />Alangkah bohong berita itu!<br />Paling tandas dalam mengeksos berita itu dan penyebar luasnya di kalangan masyarakat adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Nah, mulut-mulut usil mulai berbisik-bisik di pasar dan di tempat-tempat yang banyak orang-orang berkumpul, sehingga dalam waktu relatif singkat, meratalah kabar bohong itu. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Abdullah bin Ubay untuk melampiaskan sakit hati dan menuruti ambisinya.<br />Alangkah keji tindakannya itu!<br /><br />Nabi pun sedih bercampur masygul. Begitu pula keluarga Abu Bakar. Beliaupun sampai mengerutkan keningnya, kepada siapa beliau akan menanyakan sesuatu yang akan bisa menghilang-kan kemasygulannya tentang 'Aisyah. Kepada sahabat-sahabat beliaukah? Atau kepada keluarga 'Aisyah? Atau isteri-isteri Nabi yang lain? Atau langsung kepada 'Aisyah?<br /><br />Mereka semua menyaksikan kebenaran dan kesucian 'Aisyah, tetapi bagi 'Aisyah sendiri berita bohong itu sebagai pukulan hebat. Lalu dia datang menemui ayahnya: "Perlukah aku menjelaskan kepada Rasulullah?", katanya. "Atau ayah ibukah yang harus menerangkan persoalannya kepada beliau?"<br /><br />Keduanya ragu-ragu dan bingung, bagaimana dan apa yang harus mereka katakan, haruskah mereka berdiam diri hingga turun ayat kepada Nabi?<br />"Demi Allah, kami tidak tahu bagaimana kami akan menjawab", kata mereka.<br />Setelah kedua orang tuanya tidak dapat berbuat apa-apa dan dadanya sesak bernafas, maka keduanya hanya dapat berkata:<br />"Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah tempat memohon pertolonganNya terhadap apa yang kamu ceritakan? (Yusuf: 18)<br />Jawaban mereka persis seperti jawaban Ya'kub yang kehilangan Yusuf, anak yang sangat disayang dan dicintainya.<br /><br />Allah tidak menyia-nyiakan kesabaran yang suci dan murni dari 'Aisyah yang mulia, atas musibah yang menimpanya, bahkan juga musibah bagi kaum muslimin dan muslimat di saat itu, hingga Allah menurunkan ayat-ayat kepada Nabi Muhammad SAW. (Ahmad Muhammad Jamil, "Al-Qashashu al-Rumuzi fi al-Quran al-Karim", op.cit hal 18-21)<br /><br />Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. (QS. 24:11)<br /><br />Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu'minin dan mu'minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." (QS. 24:12)<br /><br />Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. (QS. 24:13)<br /><br />Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (QS. 24:14)<br /><br />(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (QS. 24:15)<br /><br />Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar." (QS. 24:16)<br />Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman, (QS. 24:17)<br />dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 24:18)<br /><br />Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui. (QS. 24:19)<br />Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). (QS. 24:20)<br /><br />PENUTUP<br /><br />1. Kita ummat Islam hendaklah mawas diri dari perilaku fasik, karena kefasikan itu adalah dimurkai Allah SWT, berbahaya bagi diri kita sendiri dan bagi masyarakat umumnya.<br />2. Seharusnya ummat Islam waspada atas segala tindak-tanduk orang-orang fasik, terutama menanggapi segala berita yang berasal dari mereka yang mungkin menimbulkan fitnah di kalangan ummat manusia umumnya, dan ummat Islam khususnya.<br />Ahmad Muhammad Jamil mengatakan:<br />"Amatlah disayangkan, bahwa sebelum dan sesudah ini kita masih sering terperangkap dalam keragu-raguan, terpukul oleh berita-berita bohong, provokasi (hasutan), isu-isu, gosip dan berbagai infiltrasi (penyusupan) yang sangat merugikan kita sendiri. Berapa banyak fitnah dan langkah politik yang melarutkan kita ke dalam penyesalan, sehingga ummat Islam terpecah belah, melepaskan tali kekeluargaan, persaudaraan dan perdamaian." (Al-Qashashu al-Rumuzi fi al-Quran al-Karim:, (terjemahan) op.cit pag. 118)<br />3. Jika berita orang fasik saja bisa mengancam keselamatan ummat, maka lebih berbahaya lagi apabila yang menjadi pemimpin ummat adalah orang-orang fasik itu sendiri. Oleh sebab itu, hendaklah kita menjauhi pemimpin yang fasik dan tidak memberikan loyalitas kepada mereka, sampai mereka kembali kepada prinsip Islam yang sebenarnya. Wallahu a'lam.Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-41561811078408503972008-09-14T05:58:00.002+07:002008-09-14T07:39:55.389+07:00sekilas tentang qiyas<div align="center"><span style="font-size:180%;">SEKILAS TENTANG QIYAS</span><br /><br />Oleh: Abdul Muis Mahmud<br /></div><div align="center"><br /><em><span style="font-size:78%;">Seringkali kita mendengar kata-kata “Qiyas” disebut orang, lalu apakah yang dimaksud dengan Qiyas dalam istilah hukum Islam?<br />Pada tulisan berikut ini penulis mencoba menguraikan secara sekilas tentang Qiyas menurut hukum Islam, semoga bermanfa’at</span>.<br /></em></div><p><br />Pada umumnya Yuris muslim menempatkan Qiyas sebagai sumber hukum ke-empat, setelah Al Quran, As Sunnah dan Ijmak.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br />Qiyas menurut istilah Ushuliyyin (ahli Yurisprudensi hukum Islam) adalah: “Menghubungkan peristiwa yang hukumnya tidak dijelaskan nash (teks Al Quran dan As Sunnah), dengan peristiwa yang hukumnya dijelaskan nash, lalu menyamakan hukumnya dengan yang dijelaskan nash itu, karena adanya persamaan ‘illat hukum dalam kedua peristiwa itu.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a><br />Qiyas terdiri dari empat rukun, yang apabila salah satunya tidak ada, maka Qiyas sama sekali tidak dapat diterima:<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />Pertama: الأصل (asal); yaitu peristiwa yang hukumnya dijelaskan nash, disebut juga dengan: المقيس عليه [al maqis ‘alaih/ yang diperbandingkan kepadanya], dan المحمول عليه [al mahmul ‘alaih/ yang dibawakan hukum kepadanya], dan المشبه به [al musyabbah bihi/ yang dianalogikan hukum dengannya]<br />Kedua:الفرع [far’u/ bagian/ cabang] yaitu peristiwa yang hukumnya tidak dijelaskan nash, dan yang ingin disamakan hukumnya dengan asal, dinamakan juga dengan: المقيس [al maqis/ yang diperbandingkan], dan المحمول [al mahmul/ yang dibawakan hukumnya] dan المشبه [al musyabbah/ yang dianalogikan].<br />Ketiga: حكم الأصل [hukum asal] yaitu hukum syar’i yang dijelaskan nash pada asal [الأصل ], sebagai hukum yang dituju untuk diterapkan pada cabang [الفرع ].<br />Keempat: العلة [al ‘illat/ sebab/ kriteria] atau وصف جامع [washfun jaami’/ sifat yang menghimpun], yaitu; sifat/ kriteria yang menjadi landasan hukum asal, dimana kriteria itu terdapat pula pada cabang yang hendak disamakan hukumnya dengan asal.<br />Ahli Yuris Islam mensyaratkan pula pada masing-masing rukun Qiyas sebagai berikut:<br />Syarat الأصل (asal) dan الفرع [far’u/ bagian/ cabang].<br />Syarat “Asal” hendaklah ada nash yang menetapkan hukumnya, sedangkan “cabang” belum ada ketetapan hukumnya, baik dengan nash, maupun ijmak. Selanjutnya tidak ditemukan penghalang yang memisahkan persamaan hukum pada kedua belah pihak.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a><br />Tentang rukun ketiga yakni; حكم الأصل [hukum asal] haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu sehingga bisa diterapkan dengan cara qiyas (analogi) kepada الفرع [far’u/ bagian/ cabang]:<br />1. Hendaklah “hukum asal” itu berupa hukum syar’i ‘amaly (bersifat amal ibadah, bukan masalah akidah) yang telah ditetapkan dengan nash (Al Quran atau sunnah). Adapun hukum syar’i ‘amaly yang ditetapkan dengan Ijmak, maka menurut pendapat terkuat Qiyas tidak dapat diterapkan.<br />2. Hendaklah ‘illat (sebab) “hukum asal” itu dapat dipahami akal. Karena apabila ‘illatnya tidak dipahami akal, maka Qiyas tidak mungkin diterapkan, karena asas Qiyas adalah memahami ‘illat hukum asal dan memahami realisasinya kepada “cabang”.<br />3. “Hukum asal” itu bukanlah hukum yang dikhususkan untuk suatu kasus tertentu. Hukum asal tidaklah dikhususkan pada dua keadaan ini:<br />Apabila ‘illat hukum tidak tergambar wujudnya selain pada “asal”. Seperti mengqashar shalat bagi musafir. Hukum yang dapat dijangkau dalam pengertian akal adalah untuk menolak musyaqqat (kesulitan), tetapi ‘illat (sebab hukumnya) adalah adanya “safar (bepergian)”. Sedangkan “bepergian” tidak tergambar wujudnya tanpa “menempuh jarak”. Begitupun kebolehan mengusap dua sepatu sewaktu berwudhuk, maka hukum yang dapat dijangkau dalam pengertian akal adalah “kemudahan” dan “menghilangkan kesempitan”, tetapi illatnya adalah “memakai dua sepatu”, dan tidak tergambar wujudnya tanpa memakainya.<br />Apabila ada dalil yang menunjukkan hukum tersebut khusus untuk hukum asal. Misalnya hukum-hukum yang ditunjukkan oleh dalil yang hanya berlaku untuk Rasulullah SAW belaka. Seperti Nabi SAW berpoligami lebih dari empat orang isteri, dan larangan menikahi isteri-isterinya, setelah beliau berpulang ke Rahmatullah.<br />Tentang rukun keempat; العلة [al ‘illat/ sebab/ kriteria] atau وصف جامع [washfun jaami’/ sifat yang menghimpun], adalah rukun yang terpenting dan merupakan asas Qiyas. Oleh karena itu perlu pembahasan yang terpenting, yang dapat diringkas sebagai berikut:<br /><br />DEFINISI ‘ILLAT<br />‘Illat adalah sifat (kriteria) pada “asal” yang menjadi landasan hukumnya, yang dengan itu dapat diketahui adanya hukum pada “cabang”. “Memabukkan” adalah sifat pada khamar yang menjadi landasan keharamannya, dengan demikian dapat diketahui adanya keharaman pada seluruh perahan anggur atau kurma, atau yang memabukkan; lainnya. “Keaniayaan” adalah sifat yang ada pada transaksi jual beli yang dilakukan seseorang pada barang yang sedang dalam transaksi jual beli saudaranya, dan sifat inilah yang menjadi landasan keharamannya. Dengan sifat ini, dapat diketahui adanya keharaman pada transaksi sewa menyewa pada barang yang sedang dalam transaksi sewa menyewa saudaranya.<br />Inilah yang dimaksud oleh Ushuliyyun dengan: “’Illat adalah yang dikenal pada hukum itu [العلة هي المعرّف للحكم] dan ‘illat dinamakan dengan: “tempat bergantung hukum [مناط الحكم ], sebab dan petunjuknya[وسببه وأمارته ].”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a><br />Perlu digarisbawahi bahwa sebagian Ushuliyyun menempatkan “‘illat [العلة]” dan “sebab [السبب]” pada pengertian yang sama. Tetapi menurut mayoritas mereka, terdapat perbedaan antara ‘illat dengan sebab. Menurut mereka setiap “’illat” dan “sebab” merupakan penunjuk atas hukum [فعندهم كل من العلة و السبب علامة على الحكم] dan masing-masingnya menjadi landasan atas suatu hukum, serta yang mengikat ada atau tidaknya hukum [وكل منهما بني الحكم عليه وربط به وجودا و عدما]… Dari masing-masingnya, (dapat digali) hikmah syari’ (Allah), yakni; dalam keterikatan dan terbinanya hukum dengannya [وكل منهماللشارع حكمة في ربط الحكم به وبنائه عليه].<br />Selanjutnya, apabila ada kesesuaian dalam ikatan ini dengan yang dapat dipahami akal, maka kriteria ini dinamakan dengan : “’Illat”, dan: “sebab” [ولكن إذا كانت المناسبة في هذا الربط مما تدركه عقولنا سمي الوصف : العلة، وسمي أيضا : السبب]. Namun, bila tidak dapat dipahami akal, maka dinamakan dengan “sebab” saja, bukan ‘illat [وإن كانت مما لا تدركه عقولنا سمي السبب فقط و لا يسمى العلة]. Misalnya, “safar/ bepergian” adalah menjadi “‘illat dan sebab” mengqashar shalat-shalat ruba’iyyah (yang empat raka’at diringkas menjadi dua raka’at). Adapun “terbenam matahari” adalah menjadi “sebab” wajib shalat maghrib. Tetapi tidak dapat disebut “’Illat”, karena memahami hubungan terbenam matahari dengan shalat maghrib, adalah di luar jangkauan akal… Tegasnya: Semua ‘illat adalah sebab, dan setiap sebab tidak berarti ‘illat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a><br /><br />SYARAT-SYARAT ‘ILLAT<br />“Asal yang ada nash menerangkan hukumnya” kadang-kadang mengandung beberapa sifat dan karakter khusus, dan tidaklah berarti seluruh sifat pada asal itu pantas menjadi ‘illat hukumnya. Tetapi mestilah pada sifat-sifat yang menjadi ‘illat hukum itu memenuhi sejumlah syarat tertentu.<br />Ada empat syarat ‘illat yang disepakati ahli Ushul Fiqhi:<br />Pertama: Hendaklah ‘illat itu sebagai sifat yang nyata [أن تكون وصفا ظاهرا]. Artinya; dapat diindera dengan pancaindera lahir [ومعنى ظهوره ان يكون حسا يدرك بحاسته من الحواس الطاهرة]. Karena ‘illat yang dikenal untuk penerapan hukum pada cabang mestilah masalah nyata, dapat diindera pada asal dan diindera wujudnya pada cabang. Seperti “memabukkan” dapat diindera pada khamar dan dapat diindera wujudnya pada perahan anggur, kurma atau lainnya.<br />Kedua: Hendaklah ada sifat yang membatasi [ان يكون وصفا منضبطا]. Artinya; mempunyai hakikat tertentu dan terbatas yang mungkin terealisir wujudnya pada cabang [ومعنى انضباطه ان تكون له حقيقة معينة محدودة يمكن التحقق من وجودها في الفرع بحدها او بتفاوت يسير]. Karena asas Qiyas adalah; kesamaan cabang dengan asal, pada ‘illat hukum asal. Kesamaan begini, mengharuskan ‘illat mempunyai batasan tertentu sehingga memungkinkan untuk merealisir penerapan hukum pada dua peristiwa yang sama (‘illatnya) tadi. Misalnya, “pembunuhan sengaja dan permusuhan” yang dilakukan waris kepada orang yang diwarisinya, sebagai “hakikat yang terbatas” dan mungkin terwujud pada kasus “pembunuhan yang dilakukan penerima wasiat terhadap orang yang memberinya wasiat”.<br />Ketiga: Hendaklah ‘illat itu sebagai sifat yang pantas [ان تكون وصفا مناسبا]. Artinya pantas tidaknya adalah diduga demi terwujudnya suatu hikmah hukum. Sesuai dengan maksud syari’ (pembuat syari’at) yang mensyari’atkan suatu hukum, untuk membawa manfa’at dan menolak kemudharatan [و معنى مناسبته ان يكون مظنة لتحقيق حكمة الحكم، اي ان ربط الحكم به وجودا وعدما من شأنه ان يحقق ماقصده الشارع بتشريع الحكم من جلب نفع او دفع ضرر....].<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a> Oleh karena motive dan tujuan hakiki atas disyari’atkan suatu hukum adalah hikmahnya, maka jika hikmah pada semua hukum itu adalah nyata dan tertentu, maka itu adalah ‘illat-‘illat hukum. Jika sifat itu tidak pantas, maka ia tidak layak disebut sebagai ‘illat hukum. “Memabukkan” adalah sifat yang pantas untuk keharaman khamar, karena dalam bangun keharamannya itu akal akan terpelihara. Dan “pembunuhan sengaja dan permusuhan” adalah sifat yang pantas untuk “mewajibkan qishash” karena dalam bangun mewajibkan qishash itu “hidup manusia akan terjaga”. “Pencurian” adalah sifat yang pantas untuk “mewajibkan hukum potong tangan pada pencuri”, karena dalam bangun hukum potong tangan itu akan terpelihara harta kekayaan manusia.<br />Jadi, ‘illat tidak sah dengan sifat-sifat yang tidak pantas [لهذا لا يصح التعليل بالأوصاف غير المناسب، وتسمى بالأوصاف الطردية او الاتفاقية التي لا تعقل علاقة لها بالحكم، و لا بحكمته....]. Tegasnya, semua sifat-sifat yang hubungannya dengan suatu hukum atau dengan hikmahnya tidak diterima akal, maka dinamakan dengan ‘sifat-sifat tertolak”. Seperti “kondisi pembunuh sengaja dan bermusuhan” karena “ia berkebangsaan Mesir”.<br />‘Illat juga tidak sah dengan sifat-sifat yang pada asalnya adalah pantas; tetapi tanpa terduga hilang detailnya, sehingga tidak pantas lagi. Misalnya “balighnya seorang gila”, tidak pantas “menghilangkan perwalian untuk dirinya”. Karena sifat detail ini bukanlah sifat yang dianggap sesuai untuk tidak adanya tanggung jawab wali pada orang gila.<br />Keempat: ‘Illat itu bukanlah suatu sifat yang terbatas pada asal saja [ان لا تكون وصفا قاصرا على الأصل]. Maksudnya; ‘Illat hendaklah sifat yang mungkin terwujud dan ditemui beberapa afrad (individually) pada selain asal [ومعنى هذا ان تكون وصفا يمكن ان يتحقق في عدة افراد ويوجد في غير الأصل]. Karena sasaran yang dituju dari menetapkan ‘illat hukum asal adalah agar dapat diterapkan pada cabang [لأن الغرض المقصود من تعليل حكم الأصل تعديته الى الفرع]. Andaikan ‘illat itu hanya ditemukan pada asal belaka, maka yang demikian tidak mungkin menjadi dasar qiyas [فلو علل بعلة لاتوجد في غير الأصل لايمكن ان تكون اساسا للقياس]. Oleh karena itu tidak sah menjadikan ‘illat hukum keharaman khamar” karena ia adalah “perahan anggur” yang diproses melalui fermentasi.<br /><br />MASALIK AL ‘ILLAT<br />Masalik al ‘illat adalah jalan/ methoda untuk mengetahui ‘illat.<br />Ada tiga jalan yang paling masyhur untuk mengetahui ‘illat:<br />Pertama: Nash [النص]. Yaitu; apabila di dalam nash Al Quran atau As Sunnah ada yang menunjukkan ‘illat hukum bersifat tertentu. Maka sifat itu sebagai ‘illat atas dasar nash. Pada dasarnya qiyas yang dihunjukkan nash tersebut merupakan penerapan nash. Nash yang menunjukkan sifat tertentu itu, kadang-kadang tegas dan kadang-kadang samar, sekedar isyarat dari jauh saja.<br />Dalalah sharahah [الدلالة صراحة] : adalah lafaz yang ditunjukkan di dalam nash terhadap ‘illat menurut ketentuan bahasa. Seperti, tersebut di dalam nash karena ‘illat begini dan begitu. Apabila lafaz yang menunjukkan atas ‘illat di dalam nash, hanya mencakup ‘illat dengan sifat itu saja, maka dalalah nash kepada ‘illat adalah “tegas dan pasti”. Seperti firman Allah di dalam menjelaskan ‘illat diutusnya para rasul:<br /></p><p>"(mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu… (Qs. An-Nisak: 165)<br />Dan firman Allah SWT dalam kewajiban mengambil seperlima harta fa’i (rampasan perang) untuk fakir miskin, pada surat Al Hasyar ayat 7:<br /></p><p>“…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu…”<br />Jika lafaz yang menunjukkan ‘illat pada nash tersebut sebagai isyarat dan peringatan, maka dalalah itu disebut dalalah imak [ الدلالة ايماء]. Seperti dalalah yang dapat diambil faedah dari urutan hukum dan hubungannya dengan suatu sifat, dimana sifat itu difahami sebagai ‘illat hukum. Misalnya, pada sabda Rasulullah SAW:<br />لاَ يَقْضِي القَاضِي وهو غَضْبَان<br />“Janganlah qadhi (seorang hakim) memutuskan suatu perkara dalam keadaan marah..”<br />Jadi untuk membedakan suatu dalalah; sharahan atau imak, maka tergantung kepada susunan bahasa (tata bahasa Arab dan ketentuan balaghah/ retorika bahasa) dan bentuk kata dalam nash.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a><br />Kedua: Ijmak. Yaitu apabila para mujtahid pada suatu masa menyepakati suatu sifat bagi ‘illat hukum syara’, maka sifat illat tersebut telah menjadi ketetapan ‘illat hukum berdasarkan ijmak. Seperti menjadikan wilayah penguasan harta anak-anak atas walinya, dengan ‘illat karena dia masih kecil dan keadaannya masih anak-anak. Tetapi methoda ini terdapat perbedaan pendapat, karena orang yang tidak menyetujui qiyas, tidak melakukan qiyas. Oleh karena itu tidak mungkin ijmak itu terwujud, tanpa kebulatan pendapat para ahli ijtihad.<br />Ketiga: Melakukan testing (pengujian) dan penyaringan (sekatan) [السبر و التقسيم]. Yaitu; melakukan pengujian dan penyaringan atas sifat-sifat yang pada dasarnya pantas menjadi ‘illat. Cara ini dilakukan oleh mujtahid apabila tidak menemukan ‘illat hukum di dalam nash atau ‘ijmak.<br />Pengujian dan penyaringan ini dilakukan mujtahid berdasarkan syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Seperti nash mengharamkan riba fadhal dan riba nasiah pada tukar menukar gandum. Tetapi nash ataupun ijmak, tidak menjelaskan ‘illat hukum ini. Maka untuk mengetahui ‘illatnya, seorang mujtahid melakukan pengujian dan penyaringan, dimana; ‘illat hukum ini terkadang berkaitan dengan kadarnya, karena gandum adalah disukat. Atau berkaitan dengan makanan, atau yang mengenyangkan dan tahan disimpan lama. Tetapi tidak pantas dijadikan ‘illatnya “karena sebagai makanan”. Sebab ‘illat pengharaman riba pada emas dengan emas bukanlah sebagai makanan. Begitupun tidak pantas menjadikan ‘illatnya “karena mengenyangkan”. Sebab pengharaman riba pada garam dengan garam, bukanlah karena mengenyangkan. Oleh sebab itu, jelaslah ‘illatnya, karena ukuran pada sukatan atau timbangannya. Maka atas dasar ini diqiyaskanlah kepada yang tersebut pada nash, semua tukar menukar barang sejenis yang berlebih ukuran sukatan atau timbangannya, sebagai riba fadhal dan riba nasiah; hukumnya haram.<br /><br />PEMBAGIAN QIYAS<br />Menurut Abu Ishaq bin Ibrahim bin Ali As Syairaziy<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a>, Qiyas terbagi kepada tiga bagian:<br />Pertama: Qiyas ‘Illat [قياس علة]. Yaitu; mengembalikan Cabang kepada Asal berdasarkan penjelasan ‘illat yang menjadi tempat pergantungan hukum syara’ [قياس العلة فهو أن يرد الفرع إلى الأصل بالبينة التي علق الحكم عليها في الشرع ].<br />Qiyas ‘Illat terbagi kepada dua bagian:<br />1. Jaliy [جلي ], yakni; sesuatu yang hanya mengandung satu pengertian tunggal yang secara pasti menunjukkan ‘illat hukum dan tidak memerlukan takwil lagi.<br />2. Khafi [خفي ], yaitu; sesuatu yang mengandung kemungkinan pengertian lebih dari satu, sehingga penetapannya sebagai ‘illat adalah dengan methoda kemungkinan juga.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a><br />Kedua: Qiyas Dilalah [قياس الدلالة]. Yakni; Mengembalikan Cabang kepada Asal dengan pengertian yang berlainan dari pengertian yang kepadanya berkaitan hukum syara’, tetapi menunjukkan juga adanya hukum syara’ [وهو قياس الدلالة فهو أن ترد الفرع إلى الأصل بمعنى غير المعنى الذي علق عليه الحكم في الشرع إلا أنه يدل على وجود علة الشرع ]. Jadi Qiyas Dilalah ‘illatnya tidak menetapkan hukum, tetapi menunjukkan juga adanya hukum. Seperti mengqiyaskan wajibnya zakat pada harta benda anak-anak dengan wajibnya zakat harta orang dewasa, dengan alasan kedua-duanya adalah harta yang berkembang.<br />Ketiga: Qiyas Syibh [قياس الشبه]. Yakni; Mengqiyaskan Cabang kepada Asal dengan salah satu bentuk persamaan. Dengan pengertian lain; mengqiyaskan Cabang yang diragukan di antara dua Asal kemana yang paling banyak persamaannya. [قياس الشبه وهو أن تحمل فرعا على الأصل بضرب من الشبه وذلك مثل أن يتردد الفرع بين أصلين يشبه أحدهما في ثلاثة أوصاف ويشبه الآخر في وصفين فيرد إلى أشبه الأصلين به ]. Seperti budak yang dibunuh mati (Cabang), dapat diqiyaskan kepada orang merdeka (Asal 1) karena sama-sama keturunan Adam. Dapat pula diqiyaskan kepada hewan ternak (Asal 2) karena keduanya adalah harta benda yang dapat dimiliki, dijual, diwakafkan dan diwariskan. Dengan demikian, lebih sesuai diqiyaskan kepada harta benda (Asal 2), karena ia dapat dimiliki dan seterusnya.</p><p>Wallahu a'lamu bis shawab! </p><p align="center">***</p><p align="justify"><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftnref1" name="_ftn1"><span style="font-size:78%;">[1]</span></a><span style="font-size:78%;"> Imam As Syafi’I menerangkan tentang kekuatan hujjah Al Qiyas sebagai berikut:<br />الرسالة [ جزء 1 - صفحة 476 ]<br />قال : فمن أين قلت : يقال بالقياس فيما لا كتابَ فيه ولا سنةَ ولا إجماعَ ؟ أفالقياس نصُّ خبٍر لازمٍ ؟<br />قلت : لو كان القياس نصَّ كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نصَّ كتاب " هذا حُكمُ الله " وفي كل ما كان [ ص 477 ] نصَّ السنة " هذا حكم رسول الله " ولم نَقُل له : " قياس "<br />قال : فما القياس ؟ أهو الاجتهاد ؟ أم هما مفترقان ؟<br />قلت : هما اسمان لمعنىً واحد<br />قال : فما جِماعهما ؟<br />قلت : كل ما نزل بمسلم فقيه حكم لازم أو على سبيل الحقِّ فيه دلالةٌ موجودة وعليه إذا كان فيه بعينه حكمٌ : اتباعُه وإذا لم يكن فيه بعينه طُلِب الدلالة على سبيل الحق فيه بالاجتهاد . والاجتهادُ القياسُ . 0<br />قال : أفرأيت العالمين إذا قاسوا على إحاطةٍ هم من أنهم أصابوا الحقَّ عند الله ؟ وهل يسعهم أن يختلفوا في القياس ؟ وهل [ ص 478 ] كُلفوا كل أمر من سبيل واحد أو سبل متفرقة ؟ وما الحجةُ في أن لهم أي يقيسوا على الظاهر دون الباطن ؟ وأنه يسعهم أن يتفرقوا ؟ وهل يختلف ما كُلفوا في أنفسهم وما كُلفوا في غيرهم ؟ ومن الذي له أن يجتهد فيقيس في نفسه دون غيره ؟ والذي له أن يقيس في نفسه وغيره ؟<br />فقلت : له العلم من وجوه : منه إحاطةٌ في الظاهر والباطن ومنه حق في الظاهر<br />فالإحاطة منه ما كان نصَّ حكم لله أو سنة لرسول الله نقلها العامة عن العامة . فهذان السبيلان اللذان يُشهد بهما فيما أُحل أنه حلال وفيما حُرم أنه حرام . وهذا الذي لا يَسَع أحداً عندنا جَهْلُه ولا الشكُّ فيه<br />وعلمُ الخاصة سنةً من خبر الخاصة يعرفها العلماء [ ص 479 ] ولم يُكَلَّفها غيرهم وهي موجودة فيهم أو في بعضهم بصدق الخاص المخبِرِ عن رسول الله بها . وهذا اللازم لأهل العلم أن يصيروا إليه وهو الحق في الظاهر كما نقتل بشاهدين . وذلك حق في الظاهر وقد يمكن في الشاهدين الغلطُ<br />وعلمُ إجماع<br />وعلمُ اجتهادٍ بقياسٍ على طلب إصابة الحق . فذلك حق في الظاهر عند قايِسِه لا عند العامة من العلماء ولا يعلم الغيب فيه إلا الله<br />وإذا طُلب العلم فيه بالقياس فقيس بصحةٍ : اِيْتَفَقَ المقايسون في أكثره وقد نجدهم يختلفون<br />________<br />( 1 ) هذا العنوان زاده الشيخ أحمد شاكر<br />الرسالة [ جزء 1 - صفحة 479 ]<br />والقياس من وجهين : أحدهما : أن يكون الشيء في معنى الأصل فلا يختلف القياس فيه . وأن يكون الشيء له في الأصول أشباهٌ فذلك يُلحق بأولاها به وأكثرِها شَبَهاً فيه . وقد يختلف القايسون في هذا<br />قال : فأوجِدني ما أعرف به أن العلم من وجهين : أحدهما : إحاطةٌ بالحق في الظاهر والباطن والآخر إحاطةٌ بحق في الظاهر دون الباطن : مما أعرفُ ؟<br />فقلت له : أرأيت إذا كنا في المسجد الحرام نرى الكعبة : أَكُلِّفْنا أن نستقبلها بإحاطة ؟<br />قال : نعم<br />قلت : وفُرِضَت علينا الصلوات والزكاة والحج وغير ذلك : أَكُلِّفنا الإحاطةَ في أن نأتي بما علينا بإحاطةٍ ؟<br />قال : نعم<br />قلت : وحين فُرِض علينا أن نجلدَ الزاني مائة ونجلدَ القاذف ثمانين ونقتلَ مَن كَفَرَ بعد إسلامه ونقطع من سرق : أَكُلِّفْنا أن نفعل هذا بمن ثبت عليه بإحاطةٍ نعلم أنا قد أخذناه منه ؟<br />قال : نعم<br />[ ص 481 ] قلت : وسواءٌ ما كُلِّفنا في أنفسنا وغيرِنا إذا كنا ندري من أنفسنا بأنّا نعلم منها ما لا يعلم غيرنا ومن غيرنا ما لا يدركه علْمُنا كإدراكنا العلمَ في أنفسنا ؟<br />قال : نعم<br />قلت : وكُلِّفْنا في أنفسنا أين ما كُنا أن نَتَوَجه إلى البيت بالقبلة ؟<br />قال : نعم<br />قلت : أفتجدنا على إحاطةٍ من أنا قد أصبنا البيت بتوجهنا ؟<br />قال : أما كما وجدتكم حين كنتم ترون فلا وأما أنتم فقد أدَّيتم ما كُلِّفتم<br />قلت : والذي كُلفنا في طلب العين المغيَّب غيرُ الذي كُلِّفنا في طلب العين الشاهد . ِ<br />[ ص 482 ] قال : نعم<br />قلت : وكذلك كُلفنا أن نقبل عدل الرجل على ما ظهر لنا منه ونناكحَه ونوارثَه على ما يظهر لنا من إسلامه ؟<br />قال : نعم<br />قلت : وقد يكون غير عدل في الباطن ؟<br />قال : قد يمكن هذا فيه ولكن لم تُكَلفوا فيه الا الظاهر<br />قلت : وحلالٌ لنا أن نناكحه ونوارثه ونجيز شهادته ومحرمٌ علينا دمه بالظاهر ؟ وحرامٌ على غيرنا إن عَلم منه أنه كافر إلا قتلَه ومنعَه المناكحةَ والموارثةَ وما أعطيناه ؟<br />قال : نعم<br />قلت : وُجِدَ الفرض علينا في رجل واحد مختلفاً على مبلغ علمنا وعلم غيرنا ؟<br />[ ص 483 ] قال : نعم وكلكم مؤدي ما عليه على قدر علمه<br />قلت : هكذا قلنا لك فيما ليس فيه نص حكم لازمٍ وإنما نطلب باجتهادِ القياسِ وإنما كُلفنا فيه الحقَّ عندنا<br /><br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftnref2" name="_ftn2"><span style="font-size:78%;">[2]</span></a><span style="font-size:78%;"> Abdul Wahab Khallaf, “Ushul Fiqh”, 1398 H 1978M, cet: XII, Daar al Qalam, Kuwait, halaman 52:<br />القياس في اصطلاح الأصوليين : هو إلحاق واقعة لانص على حكمها بواقعة ورد نص بحكمها، في الحكم الذي ورد به النص، لتساوي الواقعتين في علة هذا الحكم....<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftnref3" name="_ftn3"><span style="font-size:78%;">[3]</span></a><span style="font-size:78%;"> Abdul Wahab Khallaf, op. cit, halaman 60. Lihat juga: Syekh Muhammad Al Khudhary Beik, Ushul al Fiqh, 1389H 1969M, cet VI, Daar al Fikr, Beirut, halaman 293.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftnref4" name="_ftn4"><span style="font-size:78%;">[4]</span></a><span style="font-size:78%;"> Ibid, hal 61.<br />ولاتشترط فيهما شروط سوى أن الأصل ثبت حكمه بنص و الفرع لم يثبت حكمه بنص ولا إجماع ، ولا يوجد قارق يمنع من تساويهما في الحكم ......<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftnref5" name="_ftn5"><span style="font-size:78%;">[5]</span></a><span style="font-size:78%;"> Dari sinilah lahirnya kajian tentang “Maqashid Syar’iyyah (Objektif Hukum Islam)”.<br />Syariah Islam diturunkan oleh Allah hanya untuk memberikan kebaikan dan kemaslahatan kepada manusia. Objektif hukum Islam ialah untuk menjaga kepentingan dan keperluan manusia di dunia serta akhirat. Untuk tujuan itu, syariah Islam mewajibkan keperluan dharuri, haaji dan tahsini manusia sentiasa dijaga serta dipelihara. Segala perintah dan larangan Allah adalah bertujuan untuk menjaga keperluan-keperluan ini. Asas kepada maslahah manusia ialah keperluan dharuri. Menurut syariah Islam, keperluan dharuri manusia ialah agama, nyawa, akal, keturunan dan harta. Jika salah satu dari keperluan ini diabaikan, maka kehidupan manusia akan menuju kehancuran. Keperluan dharuri adalah asas kepada keperluan haaji dan tahsini manusia. (lihat Al-Syatibi, Ibrahim bin Musa al-Lakhmi (1999), al-Muwafaqat Fi Usul al-Syariah, Beirut: Dar al-Ma’rifah, jil. 2 m.s. 324, 326 dan 331.<br />Maslahah yang menjadi objektif syariah tidak sama dari sudut kekuatan dan keutamaannya. Secara asasnya, maslahah dharuriyyah perlu diutamakan dari maslahah haajiyyah dan maslahah haajiyyah perlu diutamakan daripada maslahah tahsiniyyah. Taraf keutamaan di antara maslahah dharuriyyah juga berbeda. Maslahah dharuriyyah yang tertinggi ialah agama kemudian diikuti dengan nyawa, akal, keturunan dan harta secara tertib.<br />Mengenai maslahah haajiyyah dan tahsiniyyah, Imam al-Syatibi menyatakan bahwa maslahah dharuriyyah merupakan asas kepada kedua-dua maslahah tersebut. Ini bermaksud bahwa maslahah haajiyyah adalah maslahah yang juga menjaga agama, nyawa, akal, keturunan dan harta tetapi tahap keperluannya oleh manusia lebih rendah dari maslahah dharuriyyah. Pengabaian terhadap maslahah haajiyyah tidaklah boleh menghapuskan kelima perkara tersebut tetapi ia menyebabkan kelima perkara tersebut dilaksanakan dalam keadaan yang sangat susah. Manakala maslahah tahsiniyyah pula ialah maslahah yang juga menjaga agama, nyawa, akal, keturunan dan harta tetapi ia hanyalah keperluan pelengkap atau sampingan. Pengabaian terhadapnya tidaklah menyusahkan kelima perkara tersebut tetapi kewujudannya menambahkan keserasian dan keindahan perkara tersebut.<br />Tindakan yang perlu dilakukan untuk menjaga kepentingan manusia yang menepati objektif syariah kadang-kadang melibatkan pelbagai tindakan. Di antara tindakan-tindakan tersebut, yang manakah perlu didahulukan dan yang mana perlu ditangguhkan? Berasaskan kepada keutamaan maslahah yang menjadi objektif syariah, tindakan yang dilakukan bagi menjaga keperluan dan kepentingan manusia perlu terikat dengan tahap maslahah tersebut. Tindakan yang menjaga kepentingan dharuri perlu dilaksanakan terlebih dahulu sebelum tindakan yang menjaga keperluan haaji dan tahsini. Tindakan yang bertujuan menjaga kepentingan agama perlu diutamakan daripada tindakan yang bertujuan untuk menjaga keperluan-keperluan dharuri manusia yang lain. Dan begitulah seterusnya sehingga semua keperluan dan kepentingan manusia terjaga dan terpelihara. (Ibid, Al-Syatibi, op. cit., jil. 2 m.s. 326.)<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftnref6" name="_ftn6"><span style="font-size:78%;">[6]</span></a><span style="font-size:78%;"> Abdul Wahab Khallaf, Op. cit hal 63-68.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftnref7" name="_ftn7"><span style="font-size:78%;">[7]</span></a><span style="font-size:78%;"> Lihat kembali catatan kaki tentang Objektib hukum Islam.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftnref8" name="_ftn8"><span style="font-size:78%;">[8]</span></a><span style="font-size:78%;"> Dengan ini, dapatlah dipahami, bahwa seorang yang melakukan penggalian hukum (istinbath al ahkam) dari Al Quran dan As Sunnah, wajib memahami tata bahasa dan sastra Arab (Qawa’idul lughghah dan Al Balaghah).<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftnref9" name="_ftn9"><span style="font-size:78%;">[9]</span></a><span style="font-size:78%;">Abu Ishaq bin Ibrahim bin Ali As Syairaziy, “Al Luma’ fii Ushuul al Fiqh”, cet. I 1405 H, 1985 M, Daar al Kutub al ‘Ilmiah, Beirut. Halaman 54:<br />اللمع في أصول الفقه [ جزء 1 - صفحة 54 ]<br />- قال الشيخ الإمام الأوحد نور الله قبره وبرد مضجعه قد ذكرت في الملخص في الجدل أقسام القياس مشروحا وأنا أعيد القول في ذلك هاهنا على ما يقتضيه هذا الكتاب إن شاء الله تعالى فأقول وبالله التوفيق : إن القياس على ثلاثة أضرب قياس علة وقياس دلالة وقياس شبه : فأما قياس العلة فهو أن يرد الفرع إلى الأصل بالبينة التي علق الحكم عليها في الشرع وقد يكون ذلك معنى يظهر وجه الحكمة فيه للمجتهد كالفساد الذي في الخمر وما فيها من الصد عن ذكر الله عز وجل وعن الصلاة وقد يكون معنى استأثر الله عز وجل بيانه فيه بوجه الحكمة كالطعم في تحريم الربا والكيل وهذا الضرب من القياس ينقسم قسمين جلي وخفي فأما الجلي فهو ما لا يحتمل إلا معنى واحدا وهو ما ثبتت عليته بدليل قاطع لا يحتمل التأويل وهو أنواع بعضها أجلى من بعض فأجلاها ما صرح فيه بلفظ التعليل كقوله تعال { كي لا يكون دولة بين الأغنياء منكم }<br />وكقوله صلى الله عليه وسلم ( إنما نهيتكم لأجل الدافة ) فصرح بلفظ التعليل ويليه ما دل عليه التنبيه من جهة الأولى كقوله تعالى { فلا تقل لهما أف } فنبه على أن الضرب أولى بالمنع وكنهيه عن التضحية بالعوراء فإنه يدل على أن العمياء أولى بالمنع ويليه ما فهم من اللفظ من غير جهة الأولى كنهيه عن البول في الماء الراكد الدائم والأمر بإراقة السمن الذائب إذا وقعت فيه الفأرة فإنه يعرف من لفظه أن الدم مثل البول والشيرج مثل السمن وكذلك كل ما استنبط من العلل وأجمع المسلمون عليها فهو جلي كإجماعهم على أن الحد للردع والزجر عن ارتكاب المعاصي ونقصان حد العبد عن حد الحر لرقه فهذا الضرب من القياس لا يحتمل إلا معنى واحدا وينقض به حكم الحاكم إذا خالفه كما ينقض إذا خالف . النص والإجماع<br />- 1 - فصل<br />وأما الخفي فهو ما كان محتمل وهو ما ثبت بطريق محتمل وهو أنواع بعضها أظهر من بعض فأظهرها ما دل عليه ظاهر مثل الطعم في الربا فإنه علم من نهيه صلى الله عليه وسلم عن بيع المطعوم في قوله ( لا تبيعوا الطعام بالطعام إلا مثل بمثل ) فإنه علق النهي على الطعم فالظاهر أنه علة وكما روى ( أن بريرة أعتقت فكان زوجها عبدا فخيرها رسول الله صلى الله عليه وسلم ) فالظاهر أنه خيرها لعبودية الزوج ويليه ما عرف بالاستنباط ودل عليه التأثير كالشدة المطربة في الخمر فإنه لما وجد التحريم بوجودها وزال بزوالها دل على أنها هي العلة وهذا الضرب من القياس لأنه محتمل أن يكون الطعام أراد به ما يطعم ولكن حرم فيه التفاضل لمعنى غير ( صفحة 55 ) الطعم وكذلك حديث بريرة يحتمل أنه أثبت الخيار لرقه ويحتمل أن يكون لمعنى آخر ويكون ذكر رق الزوج تعريفا وكذلك التحريم في الخمر يجوز أن يكون للشدة المطربة ويجوز أن يكون لاسم الخمر فإن الاسم يوجد بوجود الشدة ويزول بزوالها فهذا لا ينقض به حكم الحاكم<br />- 2 - فصل<br />وأما الضرب الثاني من القياس وهو قياس الدلالة فهو أن ترد الفرع إلى الأصل بمعنى غير المعنى الذي علق عليه الحكم في الشرع إلا أنه يدل على وجود علة الشرع وهذا على اضرب منها : أن يستدل بخصيصة من خصائص الحكم على الحكم وذلك مثل أن يستدل على منع وجوب سجود التلاوة بجواز فعلها على الراحلة فإن جوازه على الراحلة من أحكام النوافل ويليه ما يستدل بنظير الحكم على الحكم كقولنا في وجوب الزكاة في مال الصبي أنه يجب العشر في زرعه فوجبت الزكاة في ماله كالبالغ وكقولنا في ظهار الذمي إنه يصح طلاقه يصح ظهاره فيستدل بالعشر على ربع العشر وبالطلاق على الظاهر لأنهما نظيران فيدل أحدهما على الآخر وهذا الضرب من القياس يجري مجرى الخفي من قياس العلة في الاحتمال إلا أن يتفق فيه ما يجمع على دلالته فيصير كالجلي في نقض الحكم به<br />- 3 - فصل<br />والضرب الثالث هو قياس الشبه وهو أن تحمل فرعا على الأصل بضرب من الشبه وذلك مثل أن يتردد الفرع بين أصلين يشبه أحدهما في ثلاثة أوصاف ويشبه الآخر في وصفين فيرد إلى أشبه الأصلين به وذلك كالعبد يشبه الحر في أنه آدمي مخاطب مثاب معاقب ويشبه البهيمة في أنه مملوك مقوم فيلحق بما هو أشبه به وكالوضوء يشبه التيمم في إيجاب النية من جهة أنه طهارة عن حدث ويشبه إزالة النجاسة في أنه طهارة بمائع فيلحق بما هو أشبه به فهذا اختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال إن ذلك يصح وللشافعي ما يدل عليه ومنهم من قال لا يصح وتأول ما قال الشافعي على أنه أراد به أنه يرجح به قياس العلة بكثرة الشبه . واختلف القائلون بقياس الشبه فمنهم من قال الشبه الذي يرد الفرع إلى الأصل يجب أن يكون حكما ومنهم من قال يجوز أن يكون حكما ويجوز أن يكون صفة قال الشيخ الإمام رحمه الله والأشبه عندي قياس الشبه لا يصح لأنه ليس بعلة الحكم عند الله تعالى ولا دليل على العلة فلا يجوز تعليق الحكم عليه<br />Selanjutnya, Al Qadhi Abu Bakar bin Al ‘Arabi Al Ma’afiri Al Maliki, di dalam kitabnya “Al Mahshul fii Ushul al Fiqh” cet.1, 1420 H 1999M, tahqiq: Husain Ali Al Yadari, Daar Al Bayaariq, Urdun, juz I, halaman 126 menguraikan sebagai berikut:<br />المحصول لابن العربي [ جزء 1 - صفحة 126-127 ]<br />الفصل الثالث في أقسام القياس<br />قال علماؤنا أقسام القياس ثلاثة<br />قياس علة قياس دلالة وقياس شبهة<br />فأما قياس العلة<br />فهو كقولنا في أن المرأة لا تتولى نكاحها لأنها ناقصة الأنوثة فلم يجز أن تلي عقد نكاح كالأمة فاتفق العلماء على الأمة لا تلي عقد نكاحها واختلفوا في تعليله فمنهم من قال إن العلة في امتناع إنكاح الأمة نفسها نقصان الرق ومنهم من قال نقصان الأنوثة فنحن عللنا بنقصان الأنوثة وحملنا عليه الحرة<br />وأما قياس الدلالة<br />كقولنا علمائنا في الخل مائع لا يجوز به الوضوء فلا يجوز به إزالة النجاسة كاللبن وكقولهم في الوتر صلاة تفعل على الراحلة فلا تكون واجبة كركعتي الفجر فاستدلوا في امتناع الوضوء بالخل على أنه ليس بمطهر في الشرع واستدلوا على الوتر ليس بواجب بفعله على الراحلة وذلك من خصائص النوافل<br />وأما قياس الشبه فهو على ضربين شبه خلقي وشبه حكمي<br />فأما الشبه الخلقي فكإجماع الصحابة على جزاء الحمامة بالشاة والنعامة بالبدنة لما بينهما من تشابه الخلقة<br />وإما الشبه الحكمي كقول علمائنا في الدليل على أن الوضوء يفتقر إلى النية خلافا لأبي حنيفة طهارة حكمية فافتقرت إلى النية كالتيمم وقد استبعد الشافعي عليه ذلك فقال طهارتان فكيف يفتقران فشبهوا طهارة وطهارة وقد اختلف الناس في قياس الشبه فمنهم من نفاه ومنهم من أثبته ومنهم من فصله وسيأتي بيانه إن شاء الله تعالى<br />الفصل الرابع في إثبات علة الأصل<br />إذا قاس المعلل على أصل فمونع في العلة في الأصل وقيل له ليست العلة في الأصل ما ذكرت ففي إثباتها للناس ثلاثة مسالك<br />المسلك الأول الطرد<br />وقد زعم بعض الناس إنه دليل على صحة العلة وهو قول فاسد لئلا أوجه<br />أحدها كما يطرد دليل الصحة على زعمه فكذلك يطرد دليل الفساد ومثاله إن المالكي لو قال الخل مائع لا ينبني عليه فلا يجوز إزالة النجاسة به كاللبن لقال معارضه إن الخل مائع مزيل العين فجاز إزالة النجاسة به كالماء<br />الثاني إن الصحابة وهو القدوة لم يعولوا عليه<br />الثالث إنه ليس بينه وبين الحكم ارتباط فكيف يدل عليه<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="mhtml:file://C:/Documents%20and%20Settings/Abdul%20Muis%20Mahmud/My%20Documents/SEKILAS%20TENTANG%20QIYAS.mht#_ftnref10" name="_ftn10"><span style="font-size:78%;">[10]</span></a><span style="font-size:78%;"> Lihat kembali “Masalik Al ‘Illat”. </span></p>Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-84724908679078011652008-09-05T07:40:00.005+07:002008-09-19T03:42:44.617+07:00PANCARAN KEBAHAGIAAN DI WAJAH AYAHKampung Petapahan (Tapung), masa itu (1979 M) termasuk Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Riau, merupakan perkampungan terpencil… Dikelilingi hutan lebat… dialiri sungai Tapung, sebagai anak sungai Siak yang membentang memanjang sampai ke kota Pekan Baru dan bermuara ke Selat Malaka terkenal itu…<br /><br />Penduduknya cukup ramai dan hidup makmur, terdiri dari suku Melayu dengan berbagai mata pencahariannya, seperti; bertani, menyadap karet, menangkap ikan, memungut hasil hutan, kerajinan tangan dan lain-lain...<br /><br />Masyarakatnya hidup dalam suasana religius dan seluruhnya beragama Islam, serta memegang teguh adat tradisi mereka, seperti tidak membiarkan anak gadis remaja atau yang belum berkeluarga keluar rumah tanpa alasan tertentu….<br /><br />Kerajinan tangan yang paling terkenal adalah membuat tudung saji, dengan bentuk dan warna yang unik... Terbuat dari bahan; bambu muda yang dibelah tipis dan dikeringkan, bagian dalamnya dilapisi dengan daun (sejenis daun nibung), dan bagian pinggirnya yang melingkar diapit dengan rotan yang terikat rapi. Lalu diwarnai dengan cat minyak dengan background berwarna merah. Diberi lukisan bermotif bunga-bunga, serta lukisan antik yang tidak aku pahami artinya… Tudung saji ini dipasarkan terutama ke daerah kami Limo Koto, yaitu: Kuok, Salo, Bangkinang, Air Tiris, Rumbio, bahkan Kampar, Danau Bingkuang, dan daerah lainnya di Riau… Konon tudung saji buatan orang Petapahan ini termasuk benda kerajinan khas Riau yang dipajang di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.<br /><br />Menurut riwayat… perkampungan ini mempunyai sejarah yang mengakar dengan kerajaan Siak Indrapura, dan di sini banyak terdapat keturunan bangsawan yang dipanggil dengan sebutan “sayid”. Mereka yang dipanggil “sayid” ini konon dipercayai sebagai keturunan bangsawan kerajaan Siak, dan mempunyai hubungan darah dengan keluarga Rasulullah SAW; Fatimah dan Ali; radhiyallahu ‘anhuma… Wallahu a’lam…<br /><br />Barang-barang keperluan ekonomi didatangkan dari kota Pekan Baru dengan melayari sungai Siak dan memasuki sungai Tapung, atau melalui jasa pedagang asongan yang datang dari daerah kami; Sungai Tonang dan Bangkinang; dengan menembus hamparan hutan lebat dan perbukitan sejauh kurang lebih tiga puluh kilo meter…<br /><br />Pedagang ini biasanya mendatangi Petapahan pada hari Kamis dan kembali lagi ke kampung halaman pada hari Sabtu…<br /><br />Ayahku termasuk salah seorang pedagang asongan ke perkampungan ini… Dengan usaha inilah ayahku membiayai keperluan keluarga dan kebutuhan sekolahku, yang sebenarnya jauh dari cukup… Dan oleh sebab itu pulalah ibuku harus bekerja membanting tulang guna membantu memenuhi kebutuhan keluarga kami…<br /><br />***<br /><br />Pada bulan ramadhan sekolah kami libur total…<br /><br />Masyarakat kami menghormati anak pesantren DN (Darun Nahdhah) dan mengandalkan kami dalam mengisi kegiatan ramadhan, seperti memberikan ceramah…, bagi yang sudah baligh dan dipandang mampu, bahkan ditunjuk menjadi imam shalat.<br /><br />Tiga tahun sudah aku di pesantren DN, karena aku masuk pesantren langsung duduk di kelas II… maka setelah libur puasa nanti aku akan duduk di bangku kelas V…<br /><br />Bulan puasa itulah pertama kali aku mengikuti ayahku ke Petapahan…<br /><br />***<br /><br />Ada kenangan indah yang tersimpan dalam memori, tentang kasih sayang seorang ayah kepada anaknya…<br /><br />Pagi-pagi kami sudah bangun.<br /><br />Ayah menempatkan barang dagangannya yang terdiri dari barang kelontong dalam sebuah keranjang yang terbuat dari rotan dan diberi tali penyandang kiri kanan, persis seperti ransel… Keranjang demikian di kampung kami disebut <i>“ambung”</i>, sementara beban bawaanku ditempatkan pada keranjang lain yang bermuatan lebih ringan…<br /><br />Kami menempuh perjalanan bersama rombongan yang setujuan…<br /><br />Masing-masing kami mendayung sepeda sejauh perjalanan kurang lebih sepuluh kilo meter, hingga Koto Sungai Tanang, yaitu; sebuah perkampungan terpencil di jurusan utara kota Bangkinang setelah melewati perkebunan karet dan rimbunnya hutan belantara…<br /><br />Perjalanan dengan mendayung sepeda ini tidaklah berjalan mulus, karena sewaktu-waktu kami harus turun dari sepeda dan mendorongnya bila bertemu dengan jalanan yang becek atau semak belukar, atau menuruni bukit dan mendaki lagi.<br /><br />Keletihan mulai menjalari tubuhku…<br /><br />Aku seka keringat yang membasahi kening dan bergumam di hati <i>“masih jauhkah lagi jalan yang akan ditempuh”…</i><br /><br />Ayahku biasa-biasa saja…, meskipun terlihat bayangan keletihan di wajahnya, tetapi beliau tiada mengeluh…<br /><br />Matahari telah naik tinggi... Kadang-kadang cahayanya terlihat menembus celah-celah rimbunnya dedaunan di hutan, dan kadang-kadang bersinar terik membakar ubun-ubun; sa’at kami melewati padang ilalang atau semak belukar yang rendah di sana sini…<br /><br />Dari Koto Sungai Tanang kami meneruskan perjalanan berjalan kaki membawa beban di punggung, menembus hutan belantara menuruni lurah dan mendaki perbukitan sejauh kurang lebih dua puluh kilo meter…<br /><br />Ada jalanan becek dan belukar menghadang langkah… Napas terasa sesak kala mendaki bukit… Kaki terasa tegang kala menuruni lurah… Aku kepayahan, namun tetap melangkah, dan tetap berpuasa, begitupun ayah dan seingatku; anggota rombongan kami juga berpuasa...<br /><br />Aku lihat ayahku memandang kepadaku… dan bertanya: <i>“Apakah masih kuat berjalan membawa beban?!”</i><br /><br />Aku menjawab:<i> “Masih!”</i>, walaupun sebenarnya hatiku menjerit <i>“letih…!”</i><br /><br />Sekian lama menempuh jalan, maka di Sibuak (nama tempat di belantara) kami berhenti…<br /><br />Kami melepas lelah di bawah sebatang pohon rindang… Beberapa meter dari tempat itu terlihat anak sungai mengalir jernih sekali… Terdengar desiran air yang ditingkahi suara siamang dan marga satwa lainnya di hutan… Di sanalah kami shalat zuhur dan beristirahat mengumpulkan tenaga bagi berjalanan berikutnya…<br /><br />Dalam perjalanan yang melelahkan itu, selalu saja ayah bertanya: <i>“Apakah masih kuat dan mampukah membawa beban?!”</i><br /><br />Selalu saja aku menjawab <i>“masih!”</i>… Namun dengan hati yang mengeluh <i>“lelah!”</i><br /><br />Dalam kelelahan, ada bisikan kalbu tentang perjuangan ayah tak kenal lelah membesarkan kami… Ada rasa kasihan dan cinta kepada ayah mengetuk hatiku…<br /><br />Dan… dari sorotan mata ayah, aku melihat sinar kasih sayang yang tidak pernah aku rasakan pada kesempatan lain… Pada kesempatan lain sikap ayah kadang-kadang menjengkelkan… Bahkan bila marah beliau sering berlebihan kepada kami anak-anaknya… suka menghardik dan memukul keras, tetapi kemudian beliau tampak menyesal, lalu bersikap lunak dan menghibur….<br /><br />Barangkali sorotan mata ayah ini menyiratkan suatu pesan dan harapan “bersungguh-sungguhlah kamu menuntut ilmu, semoga masa depanmu lebih cerah dari yang kita alami sekarang”, kira-kira begitu; mungkin!<br /><br />Hari menjelang sore, sinar matahari panas sekali… Kerongkongan terasa pahit. Dari kejauhan mulai terlihat pucuk-pucuk kelapa melambai, sebagai pertanda bahwa sebentar lagi kami sampai di perkampungan Petapahan.<br /><br />Setelah melewati semak belukar dan padang ilalang, maka kami turun menyeberangi sebuah sungai dangkal, berair jernih. Sungai ini seperti sebuah pagar pemisah antar perkampungan dengan hutan terhampar. Kalau bukan karena sedang berpuasa, mau rasanya aku meminum air mengalir itu sepuas-puasnya agar dahaga hilang membakar tenggorokan…<br /><br />Kami disambut masyarakat yang ramah dengan sapaannya yang khas:<i> “Tibo Cu?... Tibo…?!”</i><br /><br />Kami beristirahat dan menginap di rumah kenalan ayah, yang tak obahnya seperti keluarga sendiri…<br /><br />Di kampung ini juga terdapat kawan-kawanku yang sama-sama sekolah di pesantren DN. Mereka umumnya pintar belajar dan menjadi juara di kelas… Dan seperti lazimnya kami anak-anak pesantren DN di mana saja berada, kami terikat dengan rasa persaudaraan dan solidaritas yang tinggi… Meskipun, biasa selama di kompleks, antara kami terjadi ketidak serasian… namun, bila telah berada di tempat lain, maka kami tak obahnya seperti saudara dekat… Ikatan emosi seperti ini tetap bertahan sepanjang hidup kami.<br /><br />Meskipun rasa letih masih belum hilang, dan betisku serasa remuk karena lelah… namun malam harinya kami tetap ikut dengan masyarakat melaksanakan ibadah shalat fardhu dan qiyamu ramadhan di masjid…<br /><br />Esoknya hari jum’at…<br /><br />Aku beristirahat di rumah kenalan ayah yang ramah… Pagi itu pertama kali aku melihat ayah menjajakan dagangannya dari rumah ke rumah… Ada rasa malu yang menusuk kalbuku, dan… aku tak tahu entah kenapa…?! Ada rasa kasihan kepada ayahku…, dan ada suatu dorongan untuk mengukir masa depan yang lebih baik dari yang kami alami kini…<br /><br />Waktu shalat jum’atpun tiba…<br /><br />Entah karena usulan kawan-kawanku, atau karena apa; maka pengurus masjid meminta agar aku bertindak menjadi khatib jum’at… Inilah tawaran kehormatan yang tidak dapat aku tolak… Padahal aku seorang remaja belia, anak pedagang asongan yang datang dari balik rimba sana…<br /><br />Aku lihat pancaran kebahagiaan di wajah ayah, kala aku berkhutbah… meskipun kebahagian itu dibayangi oleh perjalanan menempuh hari esok dengan segala kelelahannya...<br /><br />Puluhan tahun sudah berlalu…, sekarang ayahku telah terbaring di tempat peristirahatannya yang terakhir… Petapahan kini telah menjadi negeri yang maju, hutan belantara telah digantikan oleh pemukiman transmigrasi dan perkampungan baru, pohon-pohon liar digantikan oleh hutan sawit dan karet… Jalan setapak telah berobah menjadi jalan raya beraspal beton… Namun pemandangan masa lalu masih tersimpan dalam kenangan, membawa indah nyanyian kehidupan!<br /><br />Dan… Aku sekarang telah menjadi ayah bagi tujuh orang anak-anakku, maka mengertilah aku sekarang tentang arti kasih sayang dan tanggung jawab seorang ayah kepada anak-anaknya… Tentang emosi yang kadang-kadang meluap karena anak-anak bertingkah… Tapi, tetap saja mengharapkan semoga anak-anakku mempunyai masa depan yang lebih baik dan cerah…!<br /><br /><i>“Ya Allah! Ampunilah dosa-dosaku, serta dosa-dosa kedua ibu bapakku… Kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihaniku semasa kecil…”</i>Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-130892826541593012008-09-03T02:16:00.002+07:002008-09-08T02:19:08.149+07:00TENTANG SUATU TUDUHAN…<p>Ingatanku melayang ke masa silam, lebih dari seperempat abad yang lalu, sewaktu aku masih menjadi salah seorang santri di Pesantren Darun Nahdhah Thawalib Bangkinang; sebagai satu-satunya pesantren yang paling terkenal di Propinsi Riau kala itu. Didirikan pada 1948 M oleh - Allah yarham - Abuya K.H. M. Nur Mahyuddin, sebagai seorang ulama yang kesohor dengan keteguhan pendiriannya memegang prinsip di daerah kami... Dan pada masa tersebut masih dibawah pimpinan dan asuhan beliau juga…<br /><br />Sebagai pesantren yang bercita-cita menciptakan ulama, maka di sini diterapkan kurikulum khusus dengan tujuh puluh lima persen untuk pelajaran agama dan dua puluh lima persen untuk pelajaran umum; sedang waktu belajar selama tujuh tahun.<br /><br />Jalan utama terhampar dari selatan ke utara yang menghubungkan antara kompleks pesantren dengan jalan umum dan sungai Kampar. Sungai ini bagi kami memiliki multifungsi, seperti; tempat mandi, mencuci pakaian, tempat buang air besar dan keperluan bersuci lainnya.<br /><br />Ada jenjang batu dengan sejumlah anak tangga untuk menuruni sungai. Pada bagian atas jenjang batu terdapat tempat duduk yang biasa kami pergunakan sebagai tempat bercengkerama. Dan pada malam hari dari tempat ini kami dapat menikmati keindahan kota Bangkinang yang terlihat benderang dari seberang sungai… atau, berbagi cerita tentang berbagai hal di bawah cahaya bulan purnama.<br /><br />Di pinggiran sungai terdapat bronjongan kawat yang diisi dengan batu-batu sebesar betis dan paha orang dewasa, untuk penahan tebing sungai dari bahaya banjir di musim hujan yang datang melanda. Bronjongan ini dibuat oleh para santri… sedangkan batu-batu itu dipungut oleh para santri dari sungai, yang biasanya dikumpulkan oleh santri yang dijatuhi hukuman tertentu karena melakukan suatu pelanggaran atas tata tertib pesantren.<br /><br />Di samping bronjong kawat berbatu, kami juga menanam aur atau bambu penahan tebing… Dan di bawah rindang bambu-bambu itulah kami biasa beristirahat, atau berbagi kisah tentang cinta dan tentang kehidupan; sambil menikmati hembusan angin yang datang dari jurusan sana.<br /><br />Kalau kita memasuki kompleks pesantren dari jurusan sungai dan jalan umum yang berjarak kurang lebih seratus lima puluh meter, maka kita akan melihat pandam perkuburan yang kurang terawat di sebelah kanan, dan hamparan sawah di sebelah kiri hingga perkampungan. Lalu… kita akan menyaksikan bangunan sekolah berbentuk letter L yang membelintang dari timur ke barat.<br /><br />Bagian tengah bangunan yang membelintang ke barat, terdiri dari dua lantai, dengan tambahan satu lokal “serba guna” di depannya... Di atas bangunan tadilah kita menemukan nama “Darun Nahdhah Thawalib Bangkinang” terpampang jelas serta catatan tahun awal didirikan “1948” yang ditulis dengan huruf Arab Melayu. Lalu…<br /><br />Kitapun menyaksikan asrama putera bersahaja di kiri kanan kompleks yang membujur dari timur ke barat dan dari utara ke selatan, di samping beberapa asrama yang berdiri secara acak di sana sini. Hampir seluruh bangunan berlantai dan berdinding papan…, serta beratap daun rumbia... Hanya segelintir saja –seingatku- yang beratap zeng. Memang… Tata bangunan ini tidaklah dapat dikatakan rapi dan asri… tetapi di kompleks ini terdapat beratus-ratus santri yang datang dari berbagai daerah di propinsi Riau; baik daratan maupun lautan.<br /><br />Sebenarnya, di samping asrama putera yang ada di sekitar kompleks sekolah, terdapat asrama putera lain; yang berjarak kurang lebih dua ratus meter ke arah barat… Kompleks “asrama lama” – demikian kami menyebut - berada tidak jauh dari pinggiran sungai Kampar, dan umumnya dihuni oleh para santri yang berasal dari daerah Bangkinang sendiri, yang wajib tinggal di asrama; setelah menduduki bangku kelas empat.<br /><br />Sedangkan asrama puteri - yang bangunannya tidak jauh berbeda dengan asrama putera - berada di lokasi rumah tempat tinggal Abuya pimpinan, yang jaraknya kurang lebih dua ratus meter juga dari kompleks sekolah. Tetapi lokasi asrama puteri relatif lebih terjaga keamanannya, dan dikelilingi kawat berduri. Namun untuk keperluan MCK, biasanya santriwati juga memanfaatkan jasa sungai Kampar…<br /><br />Pada malam hari kami mempergunakan penerangan lampu minyak tanah. Namun, bila acara “sidang pelanggaran” atau “muhadharah” diadakan, maka kami biasa menyalakan lampu petromax…<br /><br />Kehidupan kami sebenarnya jauh dari standar kesehatan yang diharapkan…<br />Tetapi sama sekali tidak mengurangkan semangat kami dalam menuntut ilmu, atau meraih cita-cita seperti bintang di langit.<br /><br />Meskipun dalam satu ruangan asrama yang berukuran tiga kali empat meter, dihuni oleh empat orang santri atau lebih, namun pada umumnya kami masak sendiri-sendiri, di samping ada juga yang masak bersama… Tetapi, biasa berbagi kalau ada sesama teman yang meminta makanan… dan makanan yang kami konsumsi umumnya jauh dari standar makanan bergizi. Bayangkan, hampir setiap hari seluruh kami mengkonsumsi nasi bersama tumisan kol dan ikan teri plus cabe giling yang sudah agak asam rasanya… tetapi, sama sekali tidak mengurangi selera makan kami.<br /><br />Untuk memasak tersebut kami memanfa’atkan air sumur yang berwarna kuning, kemudian disaring melalui alat penyulingan sederhana, terdiri dari lapisan ijuk, kerikil dan pasir. Dan umumnya kami mengkonsumsi air mentah tadi untuk diminum. Maka tidaklah mengherankan mengapa kami diserang oleh penyakit gatal-gatal, yang lazim kami garut sambil menyanyikan hapalan tashrif (perubahan kata-kata dalam tata bahasa Arab). Kami menamakan perbuatan begini dengan “bermain gitar pekak”.<br /><br />Aktifitas santri diikat dengan tata tertib pembagian waktu dua puluh empat jam sehari semalam… mencakup waktu untuk belajar, memasak, shalat, bermain, bermuzakarah, beristirahat tidur dan lain sebagainya. Maka barangsiapa yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sangsi hukuman, sesuai dengan tingkat kesalahannya…<br /><br />***<br />Di sini aku menjalani awal masa remaja dengan beribu kenangan yang tak terlupakan sepanjang hidupku. Ada yang manis dan ada pula yang pahit… tetapi semuanya membawa hikmah yang bermanfa’at dalam perjalanan hidupku… banyak pelajaran yang dapat aku petik di sini, antara lain tentang pentingnya arti keadilan dan bahaya fitnah…<br /><br />***<br /><br />Suatu hari serombongan itik milik penduduk yang tak jauh dari kompleks masuk ke dalam ruang belajar. Hari itu hari libur, tak ada seorangpun di ruangan itu… Itik-itik tadi terperangkap di dalam lokal dengan suara gaduh berisik. Mereka berak di sana sini yang tentu saja mengotori ruangan…<br /><br />Aku berlari menghalau itik-itik nakal, tetapi mereka berlari berputar-putar di sana.<br /><br />Agar itik-itik ini tidak memasuki lokal sebelah, maka aku menutup pintu yang menghubungkan ke dua lokal itu. Dan membiarkan dua buah pintu muka dan belakang terbuka lebar, dengan maksud; supaya itik-itik ke luar di sana dan tidak memasuki lokal sebelah atau mengotorinya…<br /><br />Rupanya perbuatanku ini dilihat oleh teman santri lain, dan tanpa melihat realitas sebenarnya, lalu melaporkan kepada ketua asrama, bahwa aku mengurung itik-itik di lokal. Padahal aku sama sekali tidak berbuat demikian…<br /><br />Ketua asrama berintial J marah besar. Ia menelan mentah-mentah laporan itu… Aku berusaha menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Tetapi J tetap menolak. Karena memang dilihatnya pintu penghubung masing-masing lokal, tertutup rapat...<br /><br />Ketika sidang pelanggaran yang diadakan setiap malam rabu itu, maka diangkatlah kasusku tadi ke persidangan yang dipimpin oleh Abuya sendiri.<br /><br />Aku dituduh melakukan kesalahan besar“sengaja mengurung itik dalam lokal hingga kotor” dan seluruh santri yang hadir tertawa mengejekku, menggelariku dengan sebutan tidak senonoh... Aku malu bercampur geram…<br /><br />Aku membela diri tetapi ucapanku tidak digubris, karena ketua asrama dan teman santri tadi sebagai saksi. Maka dijatuhilah aku sangsi hukuman; yang secara fisik tidak seberapa. Tapi… semenjak peristiwa itu pula para santri menjuluki aku dengan nama “si… itik”.<br /><br />Gelar memuakkan ini tetap disandangkan kepadaku bertahun-tahun sepanjang aku masih belajar di pesantren, bahkan oleh mereka yang biasa menjuluki demikian; meskipun kami telah menamatkan pendidikan di pesantren ini…<br /><br />Peristiwa itu telah berlalu lebih seperempat abad silam, namun kenangan ini tidak pernah hilang dari ingatanku… membentuk luka yang meninggalkan bekas dan empati mendalam… Aku mema’afkan mereka semua, tetapi aku tidak dapat menghilangkan kenangan pahit itu hingga kini… Setiap aku mendengar atau menyaksikan suatu kasus yang dituduhkan kepada orang lain, maka kenangan tadi mencuat ke permukaan. Dan aku bergumam “semoga orang tersebut terhindar dari tuduhan atas perbuatan yang sama sekali tidak dilakukannya…”<br /><br />Hanya Allah SWT Hakim Yang seadil-adilnya….!<br /></p>Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-26975838591229583962008-08-31T15:26:00.000+07:002008-08-31T15:30:26.201+07:00Marhaban Ya Ramadhan!<div align="center"><strong><span style="font-size:180%;">Ar Rayyan Sebuah Kerinduan Cinta</span></strong></div><div align="left"><strong><br /></strong><br />Aku telah melewati fase hidup seperti lintah dalam air ketuban ibu, lalu... sekarang aku berada di alam dunia fana ini, dan selanjutnya menuju distinasi di alam sana.....<br /><br />Ada sebuah kerinduan, melintasi ruang waktu...<br />Ketika aku berada di sana dalam penentuan perjalanan nasib terakhir.<br />Terlihat orang-orang bernafas wangi, melewati pintu yang luar biasa indahnya, dengan wajah yang cerah bergembira, melewati sebuah pintu surga yang indah tiada terperi. Pintu itu bernama "Ar Rayyan". Pintu surga khusus untuk orang-orang yang berpuasa...<br /><br />Mereka disambut oleh malaikat penjaga surga yang ramah, dan dengan senyum menyejukkan sukma menyapa: “Salam sejahtera buat kalian semua! Berbahagialah dan masuklah ke dalam surga selamanya!”<br /><br />Terlihat hamparan taman surgawi dengan pohon-pohon rindang berbuah lebat.<br />Ketika mereka hendak menjangkau buahnya, maka secara reflek pohon itu merunduk rendah… Lezatnya, tiada terlukiskan kata-kata.<br />Di sana mereka tidak merasakan teriknya cahaya mentari dan tidak pula dingin yang bersangatan…<br />Ada dipan-dipan indah tempat mereka bersenang-senang…<br />Ada bejana serta piala-piala yang bening seperti kaca, dan terbuat dari perak…<br />Ada Air minum dari sumber mata air bernama “kafur” dan “salsabila”.<br />Mereka berada dalam limpahan nikmat dan kerajaan yang besar…<br />Mereka memakai pakaian sutera halus berwarna hijau dan mantel sutera tebal, serta gelang-gelang dari perak… Dengan pelayan-pelayan muda yang tetap muda…<br /><br />Tapi... hubungan penghuni surga sama sekali tidak diikat oleh cinta birahi; karena hubungan seksual itu hanyalah media reproduksi yang hanya diperlukan di sini saja... di dunia dekil ini saja!<br />Hubungan yang indah dalam pelukan cinta suci abadi, tanpa noda...<br />Tak pernah terdengar di sana kata-kata jorok dan ucapan yang tidak sopan…<br /><br />Tapi.... nikmat yang paling didambakan adalah “melihat kepada wajah Tuhan Yang Maha Pengasih…”.<br />Surga dan pintunya “Ar Rayyan” dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa…<br /><br />Ramadhan membawa cinta dan semangat menggairahkan untuk merebut ridha Allah SWT....<br /><br />Selamat berpuasa Ramadhan, untuk saudaraku seiman!. </div>Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-43991318674383907082008-08-31T06:13:00.000+07:002008-08-31T06:24:51.517+07:00Hari Raya Puaso OnamTRADISI “HARI RAYA PUASO ONAM”<br />DITINJAU DARI SUDUT PANDANG SYARI’AT<br /><br />Oleh: Abdul Muis Mahmud<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a>)<br /><br />Abstrak<br /><br />“Hari Raya Puaso Onam”, adalah peristiwa budaya bernuansa Islami, yang diwarisi turun-temurun oleh masyarakat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang Kab. Kampar Riau. Bila seorang pemerhati melihat peristiwa budaya ini dari satu jurusan saja dengan mengabaikan asfek-asfek ajaran Islam lainnya, atau meremehkan kaedah-kaedah hukum syari’at Islam, maka besar kemungkinan sang pemerhati akan salahpaham dan menyimpulkan bahwa tradisi ini adalah “perbuatan bid’ah yang sesat dan pelakunya adalah orang-orang sesat” karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan generasi sahabat r.a.m…<br />Tulisan berikut ini mencoba meneropong tradisi “Hari Raya Puaso Onam” ditinjau dari sudut pandang syari’at.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> Diharapkan dapat memberikan masukan positif bagi masyarakat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang khususnya, dan seluruh kaum muslimin umumnya.<br /><br />PENGANTAR<br /><br /> “Hari Raya Puaso Onam” adalah hari raya budaya yang disemarakkan oleh masyarakat Bangkinang dan Sungai Tonang Kab. Kampar Riau, setiap tanggal 8 Syawal. Dinamakan dengan “Hari Raya Puaso Onam”, karena dinisbahkan kepada “pelaksanaan puasa sunat enam hari di bulan Syawal, yang dasarnya dijumpai dalam sunnah Rasulullah SAW.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />Tidak diketahui secara pasti semenjak kapan budaya ini berlangsung di daerah ini, atau siapa pencetus awalnya… penyelidikan ke arah itu memerlukan pengkajian khusus dan mendalam di luar topik kertas kerja ini…<br />Budaya tersebut telah berlangsung turun temurun dan diterima masyarakat setempat secara damai; baik oleh para ulama, maupun masyarakat umum, tanpa mempertentangkannya dengan syari’at Islam.<br />Setelah bermacam aliran dan paham keagamaan merambah ke daerah ini, maka mulailah tradisi ini dipersoalkan. Aliran dan paham salafi<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> misalnya dengan lantang mengumandangkan bahwa budaya Hari raya Puaso Onam adalah perbuatan bid’ah dan sesat; bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW.<br />Melalui lembaran kertas kerja ini penulis mencoba meninjau tradisi Hari raya Puaso Onam dari sudut pandang syari’at.<br /><br />PENGERTIAN HARI RAYA PUASO ONAM<br /><br />Yang dimaksud dengan “Hari raya” dalam kertas kerja ini adalah hari berkumpul, perayaan atau festival yang dibudayakan oleh suatu masyarakat…<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a><br />Kata “Puaso” dalam bahasa Indonesia adalah “puasa”, sedang kata “onam” dalam bahasa Indonesia adalah “enam”. Bangkinang dan Sungai Tonang termasuk daerah Kampar (Minang rantau yang biasa disebut dengan Limo Koto) bahasa daerahnya adalah Bahasa Melayu khas perpaduan antara bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu Riau atau Malaya (Malaysia). Secara historis daerah Limo Koto mempunyai akar budaya yang kuat dengan ranah Minangkabau<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a> dan kerajaan tanah Malaya<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a>… Dalam banyak hal bunyi huruf “a” dalam suatu kata diucapkan dengan bunyi “o”, seperti “puasa” diucapkan dengan “puaso”, “siapa”, dengan “siapo”.<br />Jadi, “puaso onam”, menurut pengertian bahasa adalah “berpuasa enam hari pada bulan syawal”, yang oleh masyarakat Bangkinang dan Sungai Tonang difokuskan pada puasa sunat di awal bulan Syawal; terhitung mulai dari tanggal 2 Syawal hingga tanggal 7 Syawal.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a><br />Sedangkan Hari raya Puaso Onam, menurut pengertian dalam kertas kerja ini adalah “hari raya budaya<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a> Islami yang disemarakkan oleh masyarakat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang pada tanggal 8 Syawal dengan rangkaian kegiatan yang bersumber dari ajaran syari’at Islam.”<br />Disebut dengan “hari raya budaya Islami”, karena penentuan dan penetapan hari tanggal 8 Syawal tersebut secara spesifik sebagai hari raya ummat Islam, tidak dijumpai ketetapannya dalam Al Quran, Sunnah, Ijmak dan Qiyas... Tidak pernah dilakukan secara khusus oleh Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in, tabi’ tabiin, atau generasi salaf dan khalaf… tetapi hari raya ini timbul dari tradisi lokal, yang telah membudaya dalam masyarakat. Namun, rangkaian kegiatan yang bertalian dengan hari raya dimaksud adalah mengakar dalam ajaran syari’at Islam…<br />Yang dimaksud dengan masyarakat Islam Bangkinang dan desa Sungai Tonang adalah masyarakat Islam yang berdomisili di kampung halaman, serta para perantau yang berasal dari Bangkinang dan Sungai Tonang Kab. Kampar Riau yang sedang pulang kampung atau berada di kampung halaman.<br />Sebagai peristiwa budaya, maka “Hari raya Puaso Onam” identik dengan “Hari raya Ziarah Kubur”, karena inti kegiatan yang dilakukan kaum laki-laki secara berjamaah di hari itu adalah “berziarah ke seluruh pandam perkuburan yang ada lingkungan desa masing-masing”.<br />Untuk lebih jelasnya, budaya “Hari Raya Puaso Onam” dapat digambarkan sebagai berikut:<br />Diawali – biasanya setelah shalat shubuh - dengan berziarah ke pandam perkuburan yang ada di lingkungan desa masing-masing secara berjama’ah oleh kaum laki-laki (yang terdiri dari berbagai strata usia)… Di pandam perkuburan dilakukan serangkaian acara, seperti; membaca ayat-ayat pendek, berzikir dan bertahlil, lalu diakhiri dengan berdo’a bersama untuk keampunan dan keselamatan ahli kubur dan seluruh kaum muslimin. Setelah berziarah ke satu pandam perkuburan, maka dilanjutkan dengan berziarah ke pandam perkuburan berikutnya, sampai semuanya mendapat giliran...<br />Pada waktu kaum laki-laki melakukan ziarah kubur, maka kaum ibu secara bersama dan suka rela menyiapkan hidangan makanan yang disebut dengan “jambar nasi” di masjid atau di menasah (mushalla) yang telah ditetapkan panitia. Hidangan makanan ini disantap bersama setelah ziarah kubur selesai.<br />Sebagai peristiwa budaya, Hari raya Puaso Onam atau Hari raya Ziarah Kubur, telah mengalami perkembangan, sesuai dengan tingkat intlektualitas masyarakat dan tuntutan zaman; dimana nilai-nilai keagamaan (Islam), pendidikan, sosial, budaya, dan politik, mengkristal menjadi satu… <br />Acara makan bersama bertujuan untuk mempererat silaturrahmi antar sesama, baik bagi penetap maupun perantau.<br />Di Sungai Tonang setelah makan bersama dilanjutkan dengan acara “halal bil halal…” melalui moment ini, maka persoalan-persoalan kampung halaman dimusyawarahkan, berikut program-program ke depan, seperti masalah pendidikan dan masalah krusial keagamaan lainnya, sehingga dapat dipahami oleh seluruh mereka yang menetap di kampung halaman dan mereka yang hidup di perantauan.., lalu ditanggulangi secara bersama.<br />Jadi, kegiatan Hari raya Puaso Onam berawal dengan berziarah ke pandam perkuburan dan berakhir dengan bersilaturrahmi dan bermusyawarah tentang persoalan yang dipandang paling krusial di kampung halaman… Sebagai peristiwa budaya Islami Hari raya Puaso Onam mengandung banyak hal positif, antara lain sebagai berikut:<br />Ziarah kubur; mengingat jasa-jasa para pendahulu yang telah berpulang ke rahmatullah, mendo’akan mereka dan menginsafi bahwa kita yang masih hidup pada akhirnya akan kembali juga kepadaNya…<br />Melihat kondisi kampung halaman secara bersama-sama, sehingga para penetap dan para perantau dapat bertemu kembali setelah berpisah sekian lama, bahkan sesama penetappun jarang sekali bertemu, tetapi pada hari tersebut semuanya dapat bertatap muka, mensurvei perobahan fisik kampung halaman secara visual dan objektif, lalu timbul rasa cinta dan memiliki, serta keinginan yang tulus untuk melakukan tindakan yang positif bagi kampung halaman.<br />Silaturrahmi; mempertemukan sesama saudara yang selama ini terpisah oleh kesibukan masing-masing, dan mempererat tali ikatan kekeluargaan sebagai sesama muslim yang nenek moyangnya berasal dari kampung halaman yang sama.<br />Silatul Fikri; menyatukan pemikiran untuk kemaslahatan dan kemajuan kampung halaman khususnya, agama, bangsa dan negara umumnya.<br />Dan hal-hal positif lainnya.<br /><br /><br />HARI RAYA PUASO ONAM DALAM TINJAUAN SYARI’AT<br /><br />Seperti telah disinggung dalam bahasan terdahulu, bahwa; budaya Hari raya Puaso Onam telah mengakar dalam masyarakat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang Kab. Kampar Riau dan tidak dipersoalkan, baik oleh para ulama setempat, maupun oleh masyarakat umum. Tetapi setelah bermacam aliran dan paham keagamaan merambah ke daerah ini, maka mulailah tradisi ini dipersoalkan. Aliran dan paham salafi misalnya dengan lantang mengumandangkan bahwa budaya Hari raya Puaso Onam adalah perbuatan bid’ah dan sesat; bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW. Benarkah demikian?<br /><br />BAHAYA BID’AH<br /><br />Seringkali kita mendengar kata “bid’ah”, dilontarkan orang sebagai suatu ungkapan negatif, terutama dipergunakan untuk menyatakan suatu perbuatan yang tidak bersesuaian dengan prinsip agama itu sendiri. Bahkan biasa diucapkan orang untuk menyudutkan orang lain yang tidak sealiran dan sefaham dengannya… lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan bid’ah, apa kriterianya? Apakah tiap-tiap perbuatan yang bersifat keagamaan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW namun dilakukan generasi kemudian disebut bid’ah… dan seterusnya, dan seterusnya?<br />Sebelum kita membicarakan bid’ah dalam pengertian syari’at, maka terlebih dahulu perlu kita memperhatikan ayat Al Quran dan beberapa hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan itu; dimana dengan memperhatikan ayat dan hadits-hadits itu akan membantu kita dalam memahami ungkapan ulama dalam mendefenisikan bid’ah.<br />Di dalam Al Quran tidak ditemui satu ayatpun yang mengandung kosa kata “bid’ah” secara persis (بدعة). Kecuali dalam surat Al Ahqaaf ayat 9 dengan memakai kosa kata “bid’a(n)(بدعا) yang pada hakikatnya berasal dari bangun kata yang sama “ba – dal – ‘ain” :<br /> <br />Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan".<br />Kosa kata bid’ah banyak dijumpai di dalam hadits-hadits Nabi SAW. Antara lain dapat kita kutip berikut ini…<br />Di sini penulis mengelompokkan hadits-hadits itu kepada dua kelompok.<br />Kelompok pertama; hadits-hadits yang menjelaskan bahwa semua perbuatan bid’ah adalah sesat dan dicerca syari’at:<br />1. Hadits yang bersumber dari Jabir bin Abdillah, yang menerangkan: “Rasulullah SAW bila berkhutbah, kedua belah mata beliau (terlihat) kemerahan, nada suara beliau tinggi, dan beliau sangat emosianal; seolah-olah beliau adalah seorang (panglima) yang memperingatkan pasukan yang berkata “awas pagi harimu dan sore harimu”, dan beliau bersabda: “Antara aku diutus (menjadi rasul) dengan hari kiamat itu adalah seperti ini”, lantas beliau mempertemukan jari telunjuknya dengan jari tengah dan melanjutkan sabda: “Amma ba’d, maka sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan seburuk-buruk urusan adalah yang diada-adakan. Seluruh bid’ah adalah sesat. Aku lebih mementingkan orang mukmin itu dari dirinya sendiri. Barangsiapa yang meninggalkan harta maka untuk ahli (waris)nya, dan barangsiapa yang meninggalkan hutang atau bumi yang mendatangkan hasil (sementara ahli warisnya tidak ada) maka akulah yang bertanggung jawab.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a><br />2. Hadits yang bersumber dari Al ‘Irbadh mengatakan: “Pernah Rasulullah SAW shalat shubuh bersama kami, kemudian beliau menghadap kami memberikan pengajaran yang sangat menyentuh, yang membuat air mata mengalir, dan jantung bergetar (hati menjadi goncang). Lantas ada yang berkata; wahai Rasulullah! Seolah-olah ini adalah pengajaran seorang yang akan berpisah, maka amanat apa yang engkau pesankan kepada kami? Beliau bersabda: Aku wasiatkan kepadamu agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan menta’ati (pemimpin ummat Islam. pent) meskipun (sang pemimpin) seorang budak habsyi yang buntung hidungnya. Maka sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup di antara kamu, niscaya dia akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafa al rasyidin yang mendapat hidayah. Berpegang teguhlah kamu kepadanya; gigitlah ia kuat-kuat dengan gerahammu. Hendaklah kamu menjauhi sesuatu urusan (yang dibangsakan kepada ajaran agama) yang diada-adakan. Maka segala (yang dibangsakan kepada ajaran agama) yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a><br />3. Hadits yang bersumber dari ‘Aisyah r.a. yang berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini yang bukan bersumber daripadanya, maka ia adalah ditolak.” Menurut suatu versi: “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada atasnya perintah kami, maka ia adalah ditolak.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a><br />Kelompok kedua: hadits-hadits yang mengisyaratkan bahwa di antara perbuatan bid’ah ada yang dibenarkan syari’at:<br />1. Hadits yang bersumber dari Abdurrahman bin Abdil Qari bahwa ia berkata: Kemudian aku berangkat bersama Umar bin Al Khattab pada suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid. Rupanya orang ramai shalat berpencar terpisah-pisah. Seorang lelaki ada yang shalat bersama laki-laki lain, lalu shalatnya diikuti oleh sekelompok orang. Lantas Umar berkata: Menurut pendapatku, alangkah baiknya, aku kumpulkan mereka ini dengan seorang imam saja, tentu itu lebih baik. Kemudian ia bertekad mengumpulkan mereka dengan Ubay bin Ka’ab (sebagai imam shalat). Selanjutnya di malam berikutnya aku keluar bersama beliau, sedang orang ramai diimami oleh qari (imam) mereka. Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Orang yang tidur dengan maksud bangun mendirikan shalat pada akhir malam lebih baik dari orang yang melaksanakan shalat (di awal malam), sedangkan orang ramai shalat di awalnya.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a><br />2. Hadits yang bersumber dari Abdullah bin Amr bin ‘Auf Al Muzanni dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda kepada Bilal bin Al Harts: “Ketahuilah!” Ia menjawab: “Apa yang harus aku ketahui wahai Rasulullah?” Nabi bersabda: “Ketahuilah wahai Bilal!” Ia menjawab: “Apa yang harus aku ketahui wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Bahwa barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku yang telah dimatikan orang sepeninggalku, maka baginya adalah pahala yang sama dengan pahala orang yang mengamalkannya, tidak berkurang pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengada-adakan bid’ah yang sesat, yang tidak diridhai Allah dan RasulNya, maka baginya adalah dosa yang sama dengan dosa orang yang mengamalkannya, tidak kurang dari dosa-dosa orang yang mengamalkannya itu sedikitpun.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a><br />3. Hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdillah yang berkata: “Sekelompok orang Arab kampung mendatangi Rasulullah SAW memakai pakaian dari bulu domba, beliau melihat kondisi mereka yang buruk yang perlu bantuan, maka beliau mendorong orang ramai untuk bersedekah, ternyata mereka lamban menanggapinya, sehingga terlihat (bayangan kekesalan) di wajah beliau. (Jarir bin Abdillah) berkata: Kemudian seorang laki-laki Anshar datang dengan membawa pundi-pundi yang menyampaikan sedekahnya, lalu datang laki-laki lain yang diikuti oleh orang ramai, sehingga terlihat pancaran kegembiraan di wajah beliau SAW. Lantas Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengadakan suatu sunnah (tradisi) di dalam Islam dengan sunnah yang baik, lalu diamalkan orang sesudahnya, maka dituliskan baginya pahala yang sama dengan pahala orang yang mengamalkannya, tidak berkurang pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengadakan suatu sunnah di dalam Islam dengan sunnah (tradisi) yang jelek, lalu diamalkan orang sesudahnya, dituliskan baginya dosa yang sama dengan dosa orang yang mengamalkannya, dan tidak berkurang dosa mereka sedikitpun.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a><br /><br />PENGERTIAN BID’AH DAN SUNNAH<br /><br />BID’AH<br />Kata “bid’ah” adalah berasal dari bahasa Arab yang bangun asalnya terdiri dari tiga huruf “ba” “dal” “’ain”.<br />Menurut Ibnu Manzur di dalam kitabnya “Lisan al ‘Arab”: “بدَع الشيءَ يَبْدَعُه بَدْعاً و ابْتَدَعَه: dengan pengertian “أَنشأَه وبدأَه = mengadakan sesuatu dan memulainya”. بدع الرَّكِيّة mengandung pengertian اسْتَنْبَطَها وأَحدَثها = “menggali dan mengadakan sumur” رَكْيٌ بَدِيعٌ sama dengan حَديثةُ الـحَفْر = galian yang baru” البَدِيعُ و البِدْعُ sama dengan الشيء الذي يكون أَوّلاً = sesuatu yang pertama ada”. Di dalam Al Quran Allah berfirman: قُل ما كنتُ بِدْعاً من الرُّسُل mengandung pengertian ما كنت أَوّلَ من أُرْسِلَ، قد أُرسل قبلـي رُسُلٌ كثـير = Aku bukanlah rasul yang pertama diutus, sesungguhnya sebelum aku telah diutus rasul-rasul yang banyak”. Kata البِدْعةُ sama dengan الـحَدَث وما ابْتُدِعَ من الدِّين بعد الإِكمال = suatu yang baru dan yang diciptakan dalam agama setelah agama itu sempurna”. Ibnussakit mengatakan: “Bid’ah adalah semua yang diada-adakan”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a><br /> Abussa’adat dalam kitabnya “Al Nihayah fii Ghariib al Hadits wa al Atsar”, menambahkan: بدع في أسماء الله تعالى البديع هو الخالق المختَرع لا عن مِثال سابق, = bangun kata ba – dal – ‘ain dalam Nama-nama Allah SWT adalah “Al Badi’” yakni “Pencipta Yang Mengadakan yang baru Yang tidak ada contoh sebelumnya”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a> Ungkapan yang sama juga kita jumpai dalam kitab-kitab Mu’jam (Ensiklopedia) lain, seperti dalam kitab “Mukhtar al Shihhah” karya Ar Razi<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a> dan lain-lain.<br />Para ulama berbeda pendapat mendefinisikan bid’ah, menurut pengertian syariat… Tetapi pada umumnya para ulama membagi bid’ah itu kepada dua kelompok: Pertama: Bid’ah lughawi; yaitu bid’ah dalam artian ethimologi, dan, kedua: Bid’ah syar’i; yaitu bid’ah dalam artian terminologi agama.<br />Dengan pembagian seperti itu, mereka dapat mempertemukan antara dua kelompok hadits (seperti dicantumkan sebelumnya), yaitu; kelompok hadits yang menjelaskan bahwa; seluruh bid’ah adalah sesat dan dicerca syari’at; dengan kelompok hadits yang mengisyaratkan (baik secara langsung ataupun tak langsung), bahwa; ada bid’ah yang dibenarkan syari’at.<br />Di dalam “Al Nihayah fii Ghariib al Hadits wa al Atsar”, Abussa’adat menyatakan:<br />Bid’ah itu dua jenis: Bid’ah Huda (sesuai dengan petunjuk agama), dan bid’ah dhalal (sesat). Maka segala yang berlawanan dengan perintah Allah dan RasulNya SAW termasuk dalam ruang lingkup tercela dan diingkari. Dan segala yang eksis di bawah keumuman yang disunatkan dan yang didorong Allah atau RasulNya, maka ia adalah dalam ruang lingkup terpuji.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a> Pendapat yang sama dianut oleh Ibnu Manzur di dalam kitabnya “Lisan al Arab".<a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn20" name="_ftnref20">[20]</a> dan para ulama lain.<br />Sebelum mengemukakan defenisi bid’ah, As-Syathibi di dalam “Al I’tisham” menguraikan:<br />“Di dalam Ilmu ushul (Yurisprudensi hukum Islam) ditetapkan bahwa; hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan ucapan hamba ada tiga kelompok: (1) hukum yang dikehendaki oleh ma’na amar (perintah) adalah untuk ijab (wajib) atau nadab (sunat). (2) Hukum yang dikehendaki oleh ma’na nahyi (larangan), adalah untuk karahah (makruh) atau tahrim (haram). (3) Hukum yang dikehendaki oleh ma’na takhyir (kebebasan memilih) adalah ibahah (mubah/ boleh). Jadi, perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan hamba sama sekali tidak terlepas dari tiga bahagian ini: (a) Yang dituntut melakukannya, (b) yang dituntut meninggalkannya, dan (c) yang diberi izin melakukan atau meninggalkannya… Perbuatan yang dituntut meninggalkannya (b), sama sekali tidaklah dituntut demikian kecuali karena wujudnya berlawanan dengan dua hal tadi (a dan c). Perbuatan dimaksud terbagi kepada dua bagian:<br />Pertama: Dituntut meninggalkannya dan dilarang melakukannya, karena wujudnya sebagai pelanggaran yang khas, dengan memusatkan persepsi kepada yang lain (melanggar aturan Allah).. Jika perbuatan itu adalah yang diharamkan, maka disebut dengan “perbuatan maksiat dan dosa”. Pelakunya dinamakan “pendurhaka dan pendosa”. Jika perbuatan itu tidak diharamkan, maka pelakunya tidak dapat disebut begitu. Dan ia termasuk ke dalam “حكم العفو = hukum dima’afkan”, manakala nyata bukan pada posisi tadi. Perbuatan itupun tidak dapat dinamakan “jaiz dan bukan mubah (boleh)”, karena menghimpun antara jawaz (yang boleh) dengan nahyi (yang terlarang) sama dengan menghimpun antara dua hal yang berlawanan (mustahil).<br />Kedua: Dituntut meninggalkannya dan dilarang melakukannya karena wujudnya berlawanan dengan zhahir tasyri’ (aturan agama yang tampak nyata), yaitu; perbuatan yang berlawanan dengan asfek batasannya, penjelasan tentang tata caranya, kewajiban melakukan gerakan tertentu, atau dengan ketentuan durasi waktu tertentu, dan lain sebagainya.<br /> Perbuatan begini dinamakan “ibtida’ dan bid’ah (الابتداع والبدعة)” pelakunya disebut “mubtadi’ (مبتدعا) = pelaku perbuatan bid’ah… <a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn21" name="_ftnref21">[21]</a><br />“Jadi, bid’ah adalah sebuah ungkapan tentang tata cara beragama yang diciptakan yang mirip dengan syari’at agama… tata cara ini akan mewujudkan sikap berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT.” Pendapat ini dianut oleh orang yang tidak memasukkan “adat (kebiasaan/ tradisi/ budaya) ke dalam ma’na bid’ah. Menurutnya:“bid’ah hanya ada dalam masalah ibadat belaka”. Adapun menurut pendapat orang yang mengkategorikan perbuatan-perbuatan ‘adiyah (biasa) ke dalam ma’na bid’ah: “Bid’ah adalah suatu tata cara dalam agama yang diciptakan mirip dengan syari’at, mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan tata cara syari’at.” Ungkapan ini perlu penjelasan. Kata “thariqah, thariq, subul dan sunan ((الطريقة والطريق والسبيل والسنن mengandung pengertian yang sama, yakni; segala yang digariskan untuk ditempuh (ما رسم للسلوك عليه). Dihubungkaitkan dengan agama, karena pelakunya menciptakan dan menghubungkaitkannya dengan agama. Andaikata tata cara yang diciptakan itu khusus dalam masalah keduniaan, maka tidaklah dapat disebut bid’ah, seperti menciptakan pabrik-pabrik dan negeri-negeri yang belum pernah ada sebelumnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn22" name="_ftnref22">[22]</a><br />Selanjutnya, menurut As Syathibi:<br />“Karena tata cara dalam agama itu terbagi – antara lain kepada; sesuatu yang mempunyai dasar syari’at, dan sesuatu yang tidak mempunyai dasar syari’at - khususnya yang menjadi fokus pembicaraan adalah bagian yang diciptakan itu, artinya; tata cara itu diciptakan tanpa ada contoh yang dikemukakan dari pihak syari’ (Pencipta syari’at/ Allah SWT). Jadi karakteristik bid’ah adalah keluar dari jalur yang digariskan Pencipta syari’at. Melalui karakteristik ini, maka terlepaslah semua yang muncul dalam pikiran orang yang berpikir, bahwa; sesuatu ciptaan baru yang berkaitan dengan agama, seperti ilmu nahwu (grammar; syntax), tashrif (perobahan bentuk kata), mufradat al lughah (kosa kata), ushul fiqhi (yurisprudensi hukum Islam), ushuluddin (theologi Islam) dan seluruh ilmu yang berkhidmat kepada syari’at (bukanlah bid’ah); meskipun semuanya belum dijumpai di zaman awal, namun dasar-dasarnya telah ada di dalam agama. Karena perintah menganalisa bahasa Al Quran termaktub dalam syari’at (إذ الأمر بإعراب القرآن منقول) dan ilmu bahasa merupakan media pembimbing yang tepat dalam (membaca dan memahami) Al Quran dan As Sunnah. Jadi, pada hakikatnya; ilmu ini adalah media memahami peribadatan yang termaktub dalam teks literal syar’iyyah, ilmu itulah yang menunjukkan arti-arti literal tersebut, yakni; bagaimana cara mengambil dan menerapkannya (فحقيقتها إذا أنها فقه التعبد بالألفاظ الشرعية الدالة على معانيها كيف تؤخذ وتؤدي).”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn23" name="_ftnref23">[23]</a><br />Ilmu Ushul Fiqhi bertujuan; melakukan penyelidikan terhadap dalil-dalil umum, sehingga bagi mujtahid tepat sasaran (dalam mengeluarkan hukum) dan bagi penuntut ilmu mudah mencari pengertian.<br />Demikian pula ushuluddin, atau ilmu kalam. Bertujuan untuk menetapkan dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah, atau yang muncul daripadanya, dalam persoalan tauhid dan yang berkaitan dengannya, seperti ilmu fiqhi menetapkan dalil-dalilnya dalam cabang-cabang ibadah.<br />Jika ada yang berkata: Kompilasi ilmu itu baru diciptakan belakangan.<br />Sebagai jawaban: Ilmu-ilmu tersebut mempunyai dasar dalam syara’ (agama), ada dalil yang menunjukkan di dalam Al Hadits. Tarohlah, tidak ada dalil khusus yang menghunjukkannya, namun secara umum ada dalil syari’at yang mengungkapkannya, yakni; bersandar kepada kaedah “al mashalihul mursalah” yang akan diuraikan Insya Allah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn24" name="_ftnref24">[24]</a><br />Berdasarkan ungkapan ini, dapatlah ditetapkan bahwa ilmu itu “mempunyai dasar syar’iyyah” dan semua ilmu yang berkhidmat kepada syari’at, tanpa membedakan secara partial, sama sekali bukanlah bid’ah.<br />Menolak ungkapan ini, sama dengan membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut. Jika termasuk ke dalam bid’ah, maka ilmu itu pasti tercela, karena segala bid’ah adalah sesat tanpa dipertentangkan lagi, seperti akan diuraikan Insya Allah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn25" name="_ftnref25">[25]</a><br />Jadi, dapat dipastikan (berdasarkan penolakan tadi) bahwa; penulisan mushhaf dan penghimpunan Al Quran adalah perbuatan tercela. Sedang asumsi begini adalah bathil menurut ijmak; Oleh sebab itu perbuatan ini tidak boleh disebut bid’ah….” <a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn26" name="_ftnref26">[26]</a><br />Selanjutnya As Syathibi menegaskan:<br />“…Jadi, pada dasarnya, tidaklah pantas menamakan ilmu nahwu dan ilmu bahasa lainnya, atau ilmu ushul, atau ilmu-ilmu yang berkhidmat untuk syari’at lainnya, dengan sebutan bid’ah. Orang yang menyebut hal seperti tadi dengan sebutan bid’ah, maka ungkapannya harus dipahami sebagai kata majaz (figurative expression), seperti ungkapan Umar bin Al Khattab r.a. yang menyebut orang ramai melaksanakan qiyamu ramadhan dengan “bid’ah”, jika tidak begitu, niscaya terjadi kebodohan menempatkan sunnah. Dan bid’ah itu bukanlah seperti yang biasa dianggap orang.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn27" name="_ftnref27">[27]</a><br />Tentang batasan masalah “yang mirip dengan syari’at”, maksudnya “menyerupai tata cara syari’at yang pada hakikatnya tidak sama”, bahkan ditinjau dari beberapa asfek berlawanan dengan syari’at.<br />Antara lain: Menetapkan batas (وضع الحدود). Seperti orang yang bernazar berpuasa sambil berdiri tanpa duduk, menyembelih hewan kurban tanpa bernaung, membikin kriteria tertentu yang dapat menghentikan ibadah, membatasi makanan dan busana atas jenis tertentu tanpa alasan yang dapat diterima syara’.<br />Antara lain: Mewajibkan tata cara dan format tertentu (التزام الكيفيات والهيئات المعينة), seperti berzikir dengan formasi berjama’ah dan seirama, mengambil hari kelahiran Nabi SAW sebagai hari raya, dan sebagainya.<br />Antara lain: Mewajibkan ibadat-ibadat tertentu, pada waktu tertentu yang tidak ditemui penjelasannya dalam syari’at (التزام العبادات المعينة في أوقات معينة لم يوجد لها ذلك التعيين في الشريعة), seperti kemestian berpuasa di hari nishfu (pertengahan hari bulan) Sya’ban, serta melaksanakan shalat malamnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn28" name="_ftnref28">[28]</a><br />Jadi, ada di sini asfek-asfek dimana perbuatan bid’ah mirip dengan masalah-masalah yang disyari’atkan. Jika tidak mirip dengan masalah yang disyari’atkan, maka tidak dapat disebut bid’ah, karena ia termasuk ke dalam bab perbuatan-perbuatan biasa (من باب الأفعال العادية).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn29" name="_ftnref29">[29]</a><br />Dari wacana yang dilontarkan oleh As Syathibi seperti kita kutip dengan panjang lebar di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa:<br />1. Sebagian ulama membatasi bid’ah hanya dalam masalah-masalah ibadah saja. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan, tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori bid’ah.<br />2. Sebagian ulama lain menempatkan bid’ah dalam masalah-masalah ibadah dan keduniaan sekaligus, tanpa pengecualian.<br />3. Sesuatu perbuatan yang diciptakan mirip dengan syari’at agama bisa menjadi bid’ah apabila terdapat karakteristik bid’ah padanya, yaitu: (a) menetapkan batasan yang tidak ditetapkan syari’at agama; (b) mewajibkan tata cara dan format tertentu yang tidak ditemui dalam syari’at; dan (c) mewajibkan ibadat-ibadat tertentu, pada waktu tertentu yang tidak ditemui penjelasannya dalam syari’at.<br />4. Selama perbuatan yang diadakan itu tidak dipandang seperti syari’at agama, dan disadari bahwa ia bukan syari’at agama, maka tidaklah dapat dikatakan bid’ah.<br />Menurut Ibnu Hajar di dalam “Fathu al Bari”:<br /> “… perbuatan diada-adakan yang tidak berdasar di dalam agama, dalam pengertian syara’ disebut bid’ah. Sebaliknya, perbuatan yang mempunyai dasar dalil syara’ tidak dapat disebut “bid’ah.” Pengertian bid’ah dalam definisi syara’ berbeda dengan bid’ah dalam definisi bahasa, karena segala ciptaan baru disebut bid’ah (menurut bahasa); baik ciptaan itu terpuji, maupun tercela. Begitupun tentang ungkapan “yang diada-adakan (المحدثة)” <a title="" style="mso-footnote-id: ftn30" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn30" name="_ftnref30">[30]</a><br />Selanjutnya Ibnu Hajar:<br />“Mengenai masalah “orang yang mengada-ada (المحدث)” yang terdapat dalam hadits ‘Aisyah “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini yang bukan bersumber daripadanya, maka ia adalah ditolak”, seperti yang telah diuraikan keterangannya dan akan dilanjutkan keterangannya sebentar lagi dalam “Kitab al Ahkam”. Kemudian di dalam hadits Jabir disinyalir , “segala bid’ah adalah sesat”, dan di dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah; “Hendaklah kamu menjauhi sesuatu urusan (yang dibangsakan kepada ajaran agama) yang diada-adakan (محدثات الأمور). Maka segala (yang dibangsakan kepada ajaran agama) yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.” Itulah hadits yang di awalnya terdapat ungkapan “Rasulullah SAW memberi pengajaran kepada kami dengan pengajaran yang sangat menggugah hati”, lalu disebutkan seperti tadi. Hadits ini ditakhrijkan oleh Ahmad dan Abu Daud, dishahehkan oleh Ibnu Majah, Ibu Hibban dan Al Hakim. Hadits ini mengandung makna yang hampir sama dengan yang disinyalir oleh hadits ‘Aisyah. Itulah yang dirangkum dari ucapan As Sayfi’i yang berkata: “Bid’ah itu ada dua macam; yang terpuji dan yang tercela (البدعة بدعتان محمودة ومذمومة)”. Bid’ah yang selaras dengan sunnah adalah terpuji, sedang yang berlawanan dengan sunnah adalah tercela.” Ditakhrijkan oleh Abu Naim dengan pengertian yang sama, dari jalur Ibrahim bin Al Junaid bersumber dari As Syafi’i. Dan juga bersumber dari As Syafi’i, yang ditakhrijkan oleh Al Baihaqqi di dalam kitab “Manaqib”nya, ia berkata: “Yang diada-adakan (المحدثات) (dalam urusan agama itu) ada dua kelompok; (1) Sesuatu yang diada-adakan itu berlawan dengan Kitab (Al Quran), atau Sunnah, atau Atsar, atau Ijmak, maka ini adalah bid’ah sesat (بدعة الضلال); (2) Sesuatu yang diada-adakan itu berupa kebajikan yang sama sakali tidak bertentangan dengan demikian, maka yang diada-adakan seperti ini tidaklah tercela.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn31" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn31" name="_ftnref31">[31]</a><br />Bila kita analisa penjelasan yang diberikan oleh Ibnu Hajar dalam uraian terdahulu, maka kita dapat melihat pendangan beliau yang lebih longgar dalam mendefinisikan bid’ah dibandingkan dengan As Syathibi sebelumnya, yang dapat kita rangkum:<br />1. Pengertian bid’ah dalam definisi syara’ berbeda dengan bid’ah dalam definisi bahasa, karena segala ciptaan baru disebut bid’ah (menurut bahasa); baik ciptaan itu terpuji, maupun tercela. Begitupun tentang ungkapan “yang diada-adakan”.<br />2. “Bid’ah itu ada dua macam; yang terpuji dan yang tercela (البدعة بدعتان محمودة ومذمومة)”. Bid’ah yang selaras dengan sunnah adalah terpuji, sedang yang berlawanan dengan sunnah adalah tercela.”<br />3. “Yang diada-adakan (المحدثات) (dalam urusan agama itu) ada dua kelompok; (1) Sesuatu yang diada-adakan itu berlawan dengan Kitab (Al Quran), atau Sunnah, atau Atsar, atau Ijmak, maka ini adalah bid’ah sesat (بدعة الضلال); (2) Sesuatu yang diada-adakan itu berupa kebajikan yang sama sakali tidak bertentang dengan demikian, maka yang diada-adakan seperti ini tidaklah tercela.”<br />Di samping Ibnu Hajar, Az Zarkasyi Abu Abdillah dalam kitabnya “Al Mantsur”, mensinyalir uraian yang sama, dengan sedikit penekanan:<br />“Subjek bid’ah dalam syara’ (agama) adalah untuk kejadian-kejadin tercela. Jika kejadian-kejadian terpuji ingin dikaitkan juga dengan bid’ah, maka yang demikian hendaklah dipahami sebagai ungkapan majaz (figurative expression) menurut syara’,dan makna hakikat secara bahasa…”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn32" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn32" name="_ftnref32">[32]</a><br />As Syathibi menempatkankan; hal-hal baru yang tidak berlawanan dengan maqashidus syar’iyyah (objektif syari’at Islam) ke dalam “al mashalihul mursalah”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn33" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn33" name="_ftnref33">[33]</a><br />Dalam konteks seperti ini, maka dapat kita pahami pendapat ulama yang menghubung kaitkan bid’ah kepada kaedah-kaedah hukum syari’at.<br />Abi Muhammad ‘Izzuddin Abdil Aziz bin Abdissalam As Sulami (w.660 H) di dalam “Qawa’idu al Ahkam Fii Mashalihi al ‘Anam”, mengungkapkan:<br />“Bid’ah adalah perbuatan yang belum dikenal pada masa Rasulullah. Ia terbagi kepada bid’ah yang wajib (بدعة واجبة), bid’ah yang di sunatkan (وبدعة مندوبة), bid’ah yang dibencihi (وبدعة مكروهة), dan bid’ah yang dibolehkan (وبدعة مباح). Methoda untuk mengenal demikian dengan cara membentangkan bid’ah itu kepada kaedah-kaedah syari’at. Jika termasuk ke dalam kaedah ijab, maka ia adalah wajib, jika termasuk ke dalam kaedah tahrim, maka ia adalah haram, jika termasuk ke dalam kaedah mandub, maka ia adalah disunatkan, dan jika ia termasuk ke dalam kaedah mubah, maka ia adalah dibolehkan.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn34" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn34" name="_ftnref34">[34]</a><br />Pendapat ini juga dianut oleh An Nawawi, yang mengatakan:<br />“Tentang sabda Nabi SAW; seluruh tata cara yang diciptakan mirip dengan syari’at agama adalah bid’ah, dan seluruh bid’ah adalah sesat [كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة] maksudnya adalah; tata cara bathil yang diciptakan mirip dengan syari’at agama [المحدثات الباطلة] dan bid’ah-bid’ah tercela [والبدع المذمومة]. Penjelasan ini telah kita uraikan dalam “Kitab Shalat al Jumu’ah”, dan di sini kita ingatkan bahwa; bid’ah itu lima perkara: (1) bid’ah yang diwajibkan, (2) yang disunatkan, (3) yang di haramkan, (4) yang makruhkan, dan (5) yang dibolehkan.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn35" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn35" name="_ftnref35">[35]</a><br />KESIMPULAN TENTANG BID’AH<br />Dari seluruh uraian yang kita bicarakan sebelumnya maka dapat kita simpulkan, bahwa:<br />Sebagian ulama membatasi bid’ah hanya dalam masalah-masalah ibadah saja. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan, tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori bid’ah.<br />Sebagian ulama lain menempatkan bid’ah dalam masalah-masalah ibadah dan keduniaan sekaligus, tanpa pengecualian. Menurut pendapat ini: Sesuatu perbuatan yang diciptakan mirip dengan syari’at agama bisa menjadi bid’ah jika terdapat karakteristik bid’ah padanya, yaitu: (a) menetapkan batasan yang tidak ditetapkan syari’at agama; (b) mewajibkan tata cara dan format tertentu yang tidak ditemui dalam syari’at; dan (c) mewajibkan ibadat-ibadat tertentu, pada waktu tertentu yang tidak ditemui penjelasannya dalam syari’at… Selama perbuatan yang diadakan itu tidak dipandang seperti syari’at agama, dan disadari bahwa ia bukan syari’at agama, maka tidaklah dapat dikatakan bid’ah.<br />Pengertian bid’ah dalam definisi syara’ berbeda dengan bid’ah dalam definisi bahasa, karena segala ciptaan baru disebut bid’ah (menurut bahasa); baik ciptaan itu terpuji, maupun tercela. Begitupun tentang ungkapan “yang diada-adakan”.<br />Menurut sebagian ulama “Bid’ah itu ada dua macam; yang terpuji dan yang tercela (البدعة بدعتان محمودة ومذمومة)”. Bid’ah yang selaras dengan sunnah adalah terpuji, sedang yang berlawanan dengan sunnah adalah tercela.”<br />“Yang diada-adakan (المحدثات) (dalam urusan agama itu) ada dua kelompok; (1) Sesuatu yang diada-adakan itu berlawan dengan Kitab (Al Quran), atau Sunnah, atau Atsar, atau Ijmak, maka ini adalah bid’ah sesat (بدعة الضلال); (2) Sesuatu yang diada-adakan itu berupa kebajikan yang sama sakali tidak bertentang dengan demikian, maka yang diada-adakan seperti ini tidaklah tercela.”<br />Bid’ah atau hal-hal baru yang tidak berlawanan dengan kaedah-kaedah hukum syari’at oleh sebagian ulama ditempatkan ke dalam “al mashalih al mursalah”.<br />Keberadaan bid’ah dalam pengertian “hal-hal baru yang belum pernah muncul pada masa Rasululah SAW”, bila dihadapkan dengan kaedah-kaedah hukum syari’at oleh sebagian ulama dikelompokkan ke dalam; (a) bid’ah wajib, (b) bid’ah sunat, (c) bid’ah haram, (d) bid’ah makruh dan (e) bid’ah mubah.<br /><br /><br /><br />SUNNAH<br /><br />Kata “sunnah” tidak asing di telinga kita. Begitu indah dan begitu berharga, kadang-kadang terdengar sombong, angkuh dan tersemat kebencian. Ketika si fulan mengklaim diri “ahli sunnah wal jama’ah” kepada orang lain, maka nada ucapan itu sedikit mengandung kesombongan dan keangkuhan, karena (secara langsung atau tak langsung) si fulan telah menuduh lawan bicara “bukan ahli sunnah wal jama’ah”. Sewaktu orang lain menyebut “inkarus sunnah”, maka di kepala kita tergambar “kelompok orang-orang yang menolak hadits-hadits Rasulullah SAW sebagai dasar dalam beramal”, ungkapan ini menimbulkan rasa benci…<br />Lalu… Apakah pengertian sunnah itu?<br />Kosa kata “sunnah” bangun asalnya terdiri dari tiga huruf “sin – nun – nun [س ن ن]”. Perobahan tashrif (bentuk dan susunan kata) itu dalam gramatika bahasa Arab mengandung pengertian yang banyak dan tidak pada tempatnya kita bincang secara terperinci dalam lembaran kertas kerja ini.<br />Di dalam “Lisan al Arab” Ibnu Manzur mengungkapkan :<br />“…. Di dalam Al Hadits berulang kali disebut kata “sunnah” [السُّنة] serta perobahan bentuk kata (tashrif)nya. Pengertian dasarnya adalah الطريقة والسِّيرَة [jalan, kelakuan, peri kehidupan]. Penggunaan kata ini dalam syara’ pada umumnya ditujukan untuk menyatakan segala yang diperintahkan Nabi SAW, yang dilarang beliau, serta yang dianjurkan beliau, baik ucapan maupun perbuatan; yang tidak dituturkan oleh Al Kitabul ‘Aziz (Kitabullah). Karena inilah dinamakan dalil-dalil syara’ dengan Al Kitab dan As Sunnah, artinya Al Quran dan Al Hadits….” Bahkan, menurut Ibnu Manzur: “sunnah juga mengandung pengertian الطبيعة [tabiat, prilaku, watak]<a title="" style="mso-footnote-id: ftn36" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn36" name="_ftnref36">[36]</a> Pendapat yang sama ditemui dalam “Annihayah fi Gharib al Atsar” Ibnu Atsir,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn37" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn37" name="_ftnref37">[37]</a> dan “Al Mukhtar al Sihaah”, karya Ar Razi.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn38" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn38" name="_ftnref38">[38]</a><br />Apabila kita memperhatikan kosa kata “sunnah” di dalam Al Quran, maka kita menemukan kata tersebut dihubung kaitkan dengan kata “Allah” [سُنَّةَ اللَّهِ] atau kata “awwaliin” [سُنَّتَ الأَوَّلِينَ:]<a title="" style="mso-footnote-id: ftn39" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn39" name="_ftnref39">[39]</a>. Atau dalam bentuk jamak “sunan” [سنن].<br />Menurut At Thabari: “sunan” jamak “sunnah. “Sunnah adalah contoh tauladan yang diikuti, atau imam (pemimpin) yang dimami [المثال المتبع والإمام الموتم به]”. Misalnya: “Si Fulan mensunnahkan kepada kita sunnah yang baik, dan mensunnahkan sunnah yang jelek [سن فلان فينا سنة حسنة وسن سنة سيئة]” ungkapan ini diucapkan apabila dia (si Fulan) meninggalkan suatu amalan yang akan diikuti; yang baik atau yang jelek”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn40" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn40" name="_ftnref40">[40]</a><br />Di dalam Al Quran misalnya; pada surat Ali Imran ayat 137 Allah SWT berfirman:<br />ô‰s% ôMn=yz `ÏB öNä3Î=ö6s% ×ûsöß™ (#rçŽÅ¡sù ’Îû ÇÚö‘F{$# (#rãÝàR$$sù y#ø‹x. tb%x. èpt6É)»tã tûüÎ/Éj‹s3ßJø9$# ÇÊÌÐÈ <br />Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).<br />Menurut ahli tafsir: yang dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah hukuman-hukuman Allah yang berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan rasul.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn41" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn41" name="_ftnref41">[41]</a><br />Di dalam hadits Nabi SAW (riwayat Muslim dan lain-lain yang bersumber dari Jarir bin Abdillah seperti kita kutip pada pembahasan Bid’ah berlalu), sunnah digolongkankan ke dalam dua kelompok: (1) Sunnah Hasanah [سنة حسنة], dan (2) Sunnah Sayyiah [سنة سيئة].<br />Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala (1283 H – 1353 H) di dalam “Tuhfatu al Ahwazi” menguraikan:<br />“Barangsiapa yang mengadakan suatu sunnah di dalam Islam dengan sunnah yang baik [من سن في الإسلام سنة حسنة]” pengertiannya adalah “membawa thariqah (jalan, kelakuan, peri kehidupan) yang diridhai dimana dapat dibuktikan dasarnya dari dasar-dasar agama, lalu diikuti orang [أي أتى بطريقة مرضية يشهد لها أصل من أصول الدين فاتبع].”<br />Selanjutnya menurut Abul ‘Ala: “Dan barangsiapa yang mengadakan suatu sunnah di dalam Islam dengan sunnah yang jelek [ومن سن في الإسلام سنة سيئة] pengertiannya adalah “(jalan, kelakuan, peri hidup) yang tidak diridhai, yang tidak dapat dibuktikan dasarnya dari dasar-dasar agama.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn42" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn42" name="_ftnref42">[42]</a><br />Adapun pengertian sunnah menurut istilah syari’at adalah “Semua yang terbit dari Rasulullah SAW, berupa ucapan, atau perbuatan, atau ketetapan.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn43" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn43" name="_ftnref43">[43]</a> Sunnah Rasulullah SAW disebut juga dengan Hadits. Seperti halnya dengan hadits, para ulama membagi sunnah kepada; sunnah qauliyyah, sunnah fi’liyyah, serta sunnah taqririyyah.<br />Sunnah Qauliyyah adalah: hadits-hadits yang diucapkan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai waktu dan kesempatan. Sunnah fi’liyyah: perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, sedangkan Sunnah Taqririyyah adalah segala yang dibolehkan Rasulullah SAW yang muncul dari sebagian sahabatnya, seperti ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang didiamkannya dan tidak beliau ingkari, atau dengan persetujuan dan penilaian beliau yang memandang bagus sesuatu itu, maka dianggaplah ketetapan dan yang disetujui beliau tadi adalah muncul dari Rasulullah SAW sendiri.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn44" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn44" name="_ftnref44">[44]</a><br />KESIMPULAN TENTANG SUNNAH<br />1. Pengertian secara bahasa “sunnah” adalah “الطريقة والسِّيرَة [jalan, kelakuan, peri kehidupan] الطبيعة [tabiat, prilaku, watak] المثال المتبع والإمام الموتم به [contoh tauladan yang diikuti, atau imam (pemimpin) yang dimami] atau dengan arti hukum-hukum atau ketetapan-ketetapan.<br />2. Sunnah dalam pengertian bahasa dapat digolongkan ke dalam dua kelompok: (1) sunnah hasanah, yaitu perikehidupan yang baik yang berlandaskan kepada syari’at agama, (2) sunnah sayyiah, yakni; perikehidupan jelek yang memang tidak ada sumbernya dalam syari’at agama.<br />3. Syari’at agama mendorong ummat agar melakukan sunnah yang baik dan menjauhi sunnah yang jelek.<br />4. Sunnah menurut pengertian syari’at mencakup semua yang muncul dari Nabi SAW, berupa ucapan, atau perbuatan, atau ketetapan. Sunnah Rasulullah SAW disebut juga dengan Hadits Rasulullah SAW.<br /><br /><br /><br />TRADISI HARI RAYA PUASO ONAM<br />DAN MAQASHID AL SYAR’IYYAH<br /><br /><br />KESIMPULAN DAN SARAN<br /><br />Sekarang kita mencoba menganalisa tradisi Hari raya Puaso Onam dari jurusan objektif hukum Islam (al maqashid al syar’iyyah).<br />Syariah Islam diturunkan oleh Allah hanya untuk memberikan kebaikan dan kemaslahatan kepada manusia. Objektif hukum Islam ialah untuk menjaga kepentingan dan keperluan manusia di dunia serta akhirat. Untuk tujuan itu, syariah Islam mewajibkan keperluan dharuri, haaji dan tahsini manusia senantiasa dijaga serta dipelihara<a title="" style="mso-footnote-id: ftn45" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn45" name="_ftnref45">[45]</a>. Segala perintah dan larangan Allah adalah bertujuan untuk menjaga keperluan-keperluan ini. Asas maslahah manusia ialah keperluan dharuri. Menurut syari’ah Islam, keperluan dharuri manusia ialah agama, nyawa, akal, keturunan dan harta<a title="" style="mso-footnote-id: ftn46" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn46" name="_ftnref46">[46]</a>. Jika salah satu dari keperluan ini diabaikan, maka kehidupan manusia akan menuju kehancuran. Keperluan dharuri adalah asas keperluan haaji dan tahsini manusia<a title="" style="mso-footnote-id: ftn47" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn47" name="_ftnref47">[47]</a>.<br />Bertitik tolak dari hakikat di atas, maka kita dapat menempatkan tradisi Hari raya Puaso Onam dalam ruang lingkup “Bid’ah Hasanah”, atau “Sunnah Hasanah” (dalam artian bahasa), karena objektif yang dituju dalam tradisi ini adalah menghidupkan ajaran Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW, seperti akan kita bincang di bawah ini.<br />Bertitik tolak dari objektif hukum Islam yang terkandung dalam kegiatan Hari raya Puaso Onam, dengan meminjam kaedah hukum yang diajukan oleh sebagian ulama tentang eksistensi bid’ah, seperti dikutip An Nawawi (“Syarhu An Nawawi ‘ala Shaheh Muslim”, Juz VII, halaman 104-105.) maka dapat disimpulkan bahwa:<br />Pelaksanaan Hari raya Puaso Onam dapat digolongkan ke dalam kelompok “bid’ah hasanah”, atau “sunnah hasanah”. Karena amalan-amalan yang dilakukan pada kegiatan itu adalah berkaitan dengan amalan-amalan sunat, maka hukum pelaksanaan kegiatan Hari raya Puaso Onam adalah mengikut kepada amalan-amalan itu (secara umum adalah sunat).<br />Keberatan yang diajukan oleh orang yang menganggap tradisi dimaksud sebagai “bid’ah yang sesat lagi menyesatkan” dapat dimengerti, jika kita memandang tradisi itu dari satu jurusan saja, yaitu; mengaitkan dengan “masalah ibadah (dalam artian sempit)” seperti kaedah fiqhi mengatakan: “pada dasarnya dalam ibadah itu adalah haram [الأصل في العبادة للتحريم], karena memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan generasi salafus shaleh... Atau melihat adanya kriteria bid’ah seperti yang diajukan oleh As Syathibi dalam tradisi tersebut: (1) Menetapkan batas (وضع الحدود). (2) Mewajibkan tata cara dan format tertentu (التزام الكيفيات والهيئات المعينة), dan (3) Mewajibkan ibadat-ibadat tertentu, pada waktu tertentu yang tidak ditemui penjelasannya dalam syari’at (التزام العبادات المعينة في أوقات معينة لم يوجد لها ذلك التعيين في الشريعة).<br />Keberatan ini dapat penulis jawab sebagai berikut:<br />1. Penentuan tanggal 8 Syawal sebagai Hari raya Puaso Onam adalah atas dasar pertimbangan budaya bukan syari’at, dimana pada hari tersebut memungkinkan bagi para penetap dan perantau di Bangkinang dan Sungai Tonang untuk berkumpul bersama, tanpa ragu-ragu (karena sudah mentradisi) untuk bertemu dalam suasana silaturrahmi, mengikat kembali tali bathin dengan seluruh sanak family, baik yang masih hidup maupun yang sudah berpulang ke rahmatullah yang direalisasikan dengan ziarah kubur bersama ke pandam perkuburan mereka yang telah kembali ke alam baka itu. Lalu timbul keinsafan bahwa semua kita pasti akan menyusul mereka menuju alam akhirat sana, maka hendaklah kita memanfa’atkan nikmat hidup ini untuk berubudiyah kepadanya demi keselamatan kita di alam sana.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn48" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn48" name="_ftnref48">[48]</a> <br />2. Tidak ada tata cara dan format tertentu yang diwajibkan dalam kegiatan Hari raya Puaso Onam. Kalaupun terlihat sewaktu ziarah kubur masyarakat ada membaca ayat-ayat pendek, berzikir dan bertahlil, serta berdo’a bersama bagi keselamatan ahli kubur dan kaum muslimin secara bersama dibawah bimbingan seorang imam; semuanya dilakukan atas pertimbangan keteraturan dan pendidikan, dimana para hadirin akan diminimalkan dari perbuatan-perbuatan sia-sia sewaktu ziarah kubur, dan mendidik anak-anak muda dan orang awam agar tertib dan teratur dalam ziarah kubur serta membaca ayat-ayat suci Al Quran, berzikir bertahlil dan berdo’a… Jadi, bukan diwajibkan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn49" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn49" name="_ftnref49">[49]</a><br />3. Amalan-amalan yang dilakukan dalam rangkaian Hari raya Puaso Onam adalah bersumber dari syari’at Islam secara umum, yang boleh dilakukan pada hari dan waktu bermacam-macam. Melakukan suatu amalan yang diberi kelapangan oleh syari’at pada waktu dan hari tertentu oleh suatu masyarakat dimana pada waktu dan hari tersebut memungkinkan mereka untuk berkumpul dan beramal bersama, bukan berarti masyarakat tersebut membikin syari’at baru.<br />4. Dalam kehidupan kaum muslimin yang sedang dilanda badai peradaban materialisme dan sekularisme, yang memporak porandakan nilai-nilai iman, akhlak dan tatanan sosial Islami, maka diperlukan berbagai usaha untuk membentengi masyarakat muslim dari ancaman materialisme dan sekularisme itu. Hari raya Puaso Onam dan rangkaian kegiatannya adalah mengandung unsur-unsur ajaran Islam yang mampu mengikat kehidupan sosial ummat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang menghadapi badai peradaban yang mengancam itu, disamping ikatan akidah, akhlak dan ajaran Islam lain, tentunya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn50" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftn50" name="_ftnref50">[50]</a><br />Jadi jika kita jeli melihat tradisi tadi dari jurusan “al mu’amalah al ijtima’iyyah (sosial kemasyarakatan)”, maka tradisi Hari raya Puaso Onam adalah serasi dengan objektif hukum Islam, yaitu: menjaga kepentingan dan keperluan manusia di dunia serta akhirat; menjaga ajaran agama agar tidak lekang dari kehidupan sosial.<br />Sungguhpun demikian, kita harus mengakui bahwa tradisi ini tidak sepi dari kemungkinan-kemungkinan terjerumus ke dalam praktek bid’ah dhalalah, bila tidak dikontrol dengan sikap kritis dalam beragama. Oleh sebab itu, di sini penulis mengajukan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan segala kegiatan yang dihubung kaitkan dengan Hari raya Puaso Onam:<br />1. Hendaklah disadari dan diinsafi bahwa penetapan tanggal 8 Syawal sebagai Hari raya Puaso Onam, sama sekali bukanlah perintah Rasulullah SAW. Tetapi hanya sebagai tradisi yang telah ditetapkan oleh masyarakat sebagai media untuk lebih meningkatkan nilai keimanan, ketaqwaan dan silaturrahmi antar sesama.<br />2. Pelaksanaan ziarah kubur bersama pada tanggal 8 Syawal pada hakikatnya bukanlah hari tanggal istimewa yang ditetapkan menurut Syari’at.<br />3. Selama melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan Hari raya Puaso Onam, maka hendaklah diusahakan semaksimal mungkin untuk berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah.<br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. Al Quranul Karim<br />2. Abu Ja’far, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Al Thabary (224-310H), “Tafsir al Thabary”, 1405 H, Beirut: Daar al Fikr.<br />3. Al Qurthuby, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar “Tafsir Al Qurthuby”, 1372 H, cetakan II, muhaqqiq: Ahmad Abdul ‘Alim Al Burduny Al Qahirah: Dar as-Sya’b.<br />4. Ad Dimasqy, Ismail bin Umar bin Katsir, “Tafsir Ibnu Katsir”, 1401 H, t.th. Beirut: Dar al-Fikr.<br />5. Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah, “Shaheh Al Bukhari”, 1987 M/ 1407H, cetakan III, editor: Dr. Mushtafa Dif al Bagha, Beirut: Dar Ibnu Katsir, al Yamamah.<br />6. An Naisabury, Muslim bin Al Hajjaj Abul Husain Al Qusyairy, “Shaheh Muslim”, t.th. editor: Muhammad Fuad Abdul Baqy, Beirut: Dar Ihyaai Turats al ‘Araby.<br />7. Al Ashbahy, Malik bin Anas Abu Abdillah, “Muwattha’ al Imam Malik”, tahqiq; Muhammad Fuad Abdul Baqy, tt.h, Mesir: Dar Ihya’ al Turats al ‘Araby.<br />8. Al Azdy, Sulaiman bin Asya’ats Abu Daud al Sajastany, “Sunan Abi Daud”, Tahqiq: Muhammad Mahyuddin Abdul Hamid, tt.h. Beirut: Daar al Fikr.<br />9. As Sulamy, Muhammad bin Isa At Turmuzi, “Al Jami’ al Shaheh Sunan al Turmuzi”, tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir dll, tt.h. Beirut: Daar Ihya’ al Turats al ‘Araby.<br />10. Al Qazwainy, Muhammad bin Yazid Abu Abdillah, “Sunan Ibni Majah”, tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqy, tt.h. Beirut: Daar al Fikr.<br />11. As Syaibany, Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah, “Musnad al Imam Ahmad bin Hanbal” tt.h. Kairo: Muassasah Qurthubah.<br />12. Ad Darimy, Abdullah bin Abdirrahman, Abu Muhammad, “Sunan Al Darimy”, cet. I 1407, Beirut: Daar al Kitab al ‘Araby.<br />13. An Naisabury, Muhammad bin Ishaq bin Huzaimah Abu Bakar As Sulamy, “Shaheh Ibni Huzaimah”, tahqiq: Dr. Muhammad Mushtafa Al A’zhami, 1390 H 1970 M, Beirut: Al Maktab al Islamy.<br />14. Al Busty, Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim At Tamimy, “Shaheh Ibnu Hibban bi Tartib Ibni Balban”, 1414 H 1993 M, Beirut: Muassasah al Risalah.<br />15. An Naisabury, Muhammad bin Abdillah Abu Abdillah Al Hakim, “Al Mustadrak ‘Ala al Shahihain”, 1411H 1990M, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyah.<br />16. Al Baghdady, Ali bin Umar Abu Al Hasan Al Daruquthny, “Sunan al Dariquthny”, 1386H 1966M, Beirut: Daar al Ma’rifah.<br />17. Al Kufy, Abu Bakar Abdullah Muhammad bin Abi Syaibah, “Al Mushannaf Fi al Ahadits wa al Atsar”, cet. I 1409 H, Riyadh: Maktabah al Rusyd.<br />18. Al Baihaqqy, Ahmad bin Al Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar, “Sunan al Baihaqqi al Kubra”, 1414H 1994H, Makkah al Mukarramah: Maktabah Daar al Baaz.<br />19. An Nasai, Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman, “Sunan al Nasai al Kubra”, 1411H 1991M, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyah.<br />20. Al Qadha’iy, Muhammad bin Salamh binn Ja’far, Abu ‘Abdillah, “Musnad al Syihab”, cet: II 1407H 1986M, Beirut: Muassasah al Risalah.<br />21. Ahmad bin Abi Bakar bin Ismail Al Kannani (762-840), “Mishbah al Zujaajah”, cet II 1403, Beirut: Dar al ‘Arabiyah.<br />22. Abu Muhammad, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Muqaddisy, “Al Mughny fi Fiqh al Imam Ahmad bin Hanbal al Syaibany”, cet: I 1405H, Beirut: Daar al Fikr.<br />23. Hazmin, ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin, “al Muhalla”, (t.th) Beirut: Dar al Afaaq al Jadiidah.<br />24. Abussa’adat Al Mubarak bin Muhammad al Jazri, “An Nihayah fii Ghariibil Hadits wal Atsar”, tahqiq: Thahir Ahmad Az Zawi – Mahmud Muhammad At Thanahi, 1399 H/ 1979 M, Beirut: Al Maktabah Al Ilmiyah.<br />25. Ibn Manzur, Muhammad bin Mukram (t.t.), “Lisan al ‘Arab”, Beirut: Dar al Sadir. <br />26. Razi, Muhammad bin Abu Bakar Abdul Qadir Ar- (1995) “al Mukhtar al Sihaah”, Nasyirun, tahqiq: Mahmud Khatir. Beirut: Maktabah Lubnan<br />27. Syatibi, Ibrahim bin Musa al Lakhmi (w. 790) “Al I’tisham”, 1406 H 1986 M, Beirut, Dar al Ma’rifah.<br />28. _________________ “al-Muwafaqat Fi Usul alSyariah”, muhaqqiq: Abdullah Darraz, Beirut: Dar al Ma’rifah.<br />29. ‘Asqalani, Ahmad b. ‘Ali b. Hajar al- (1379H), “Fathu al-Bari”. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi dan Muhibb al-Din al-Khatib (tahqiq). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.<br />30. Muhammad bin Bahadir bin Abdillah Az Zarkasyi Abu Abdillah (745 H sd 794) “Al Mantsur” tahqiq: Dr. Taisir Faiq Ahmad Mahmud,1405 H, Kuwait; Cet: 2, Wazaratul Auqaf was suuunil Islamiyah.<br />31. Abi Muhammad ‘Izzuddin Abdil Aziz bin Abdissalam As Sulami (w.660 H) “Qawa’idul Ahkam Fii Mashalihil ‘Anam”, t.t.h, Beirut: Darul Ma’rifah.<br />32. An Nawawi, Abu Zakarya Muhyiddin (631 H – 676 H), “Syarhu An Nawawi ‘ala Shaheh Muslim”, cet: III, 1292, Beirut: Daar Ihyaa al Turats al ‘Arabi.<br />33. Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala (1283 H – 1353 H) “Tuhfatu al Ahwazi”, t.th. Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyah.<br />34. Abdul Wahab Khallaf “’Ilmu Ushul al Fiqh”, 1398 H, 1978 M, Kuwait: Daar al Qalam.<br />35. HAMKA “Islam dan Adat Minangkabau” cet I, 1984, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.<br />36. Anshari, MA, H. Endang Saifuddin. “Agama dan Kebudayaan” cet II 1982, Surabaya. PT. Bina Ilmu, halaman 32).<br />37. Elias. A. Elias, “Qaamus Al Ashry/ Elias Modern Dictionary, Arabic – English”, 1979 H, edisi XII, Kairo: Syirkah Daarul Elias al Ashriyyah.<br />38. Poerwadarminta, W.J.S, “Kamus Lengkap; Inggris - Indonesia, Indonesia – Inggris”, 1982 M, cetakan 2, Bandung: Hasta.<br />39. Yunus, Mahmud “Kamus Arab – Indonesia”, 1990 M/ 1411 H, cetakan VIII, Jakarta: PT. Hidakarya Agung.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Penulis adalah putera kelahiran Sungai Tonang Kab. Kampar Riau 1964, sekarang berdomisili di Ujung Gading Kab. Pasaman Barat Sumbar Indonesia.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Pengertian syari'at dari segi pemakai bahasa Arab adalah مصدر (akar kata) dari<br />شرع-يشرع-شرعا-شروعا<br />Ibnu Manzur mengemukakan dalam kitabnya Lisan al Arab, jilid VIII, huruf 'ain, halaman 175-176:<br />والشريعة والشراع والمشرع: الموضع التي ينحدر إلى المآء منها<br />Syari'ah, syara'u, dan masyra'ah artinya tempat turun (tempat yang dilalui untuk mengambil) air minum."<br />والشريعة والشرعة: ما سن الله من الدين وما أمربه كاالصوم والصلاة والحج والزكاة وسائر أعمال البر...<br />"Syari'ah atau syir'ah adalah segala (aturan agama) yang digariskan dan diperintahkan Allah, seperti puasa, shalat, haji, zakat dan segala perbuatan baik..."<br />Jadi syari'at dapat kita pahami sebagai jalan kehidupan yang ditentukan Allah SWT yang menjamin keselamatan hidup kita di dunia ini sampai ke akhirat nanti.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Imam Muslim dalam Shahehnya Juz II halaman 822, باب استحباب صوم ستة أيام من شوال أتباعا لرمضان <br />1164 حدثنا يحيى بن أيوب وقتيبة بن سعيد وعلي بن حجر جميعا عن إسماعيل قال بن أيوب حدثنا إسماعيل بن جعفر أخبرني سعد بن سعيد بن قيس عن عمر بن ثابت بن الحارث الخزرجي عن أبي أيوب الأنصاري رضي الله عنه أنه حدثه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثم من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر<br />Kepada kami diceriterakankan oleh Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa’id dan Ali bin Hajar, semuanya bersumber dari Ismail. Ibnu Ayyub berkata: Kepada kami diceriterakan oleh Ismail bin Ja’far, kepadaku diberitakan oleh Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit bin Al Harits Al Khazraji, yang bersumber dari Abi Ayyub Al Anshari r.a. bahwa ia menceriterakan kepadanya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Kemudian, barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu diperikutkannya dengan enam hari dari bulan Syawal, maka ia adalah seperti berpuasa sepanjang masa.”<br />Imam At Turmuzi meriwayatkan di dalam “Sunan At Turmuzi” juz III halaman 132 باب ما جاء في صيام ستة أيام من شوال, dengan sedikit perobahan redaksi:<br />759 حدثنا أحمد بن منيع حدثنا أبو معاوية حدثنا سعد بن سعيد عن عمر بن ثابت عن أبي أيوب قال قال النبي صلى الله عليه وسلم ثم من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال فذلك صيام الدهر<br />Kepada kami diceriterakan oleh Ahmad bin Muni’, kepada kami diceriterakan oleh Abu Mu’awiyah, kepada kami diceriterakan oleh Sa’ad bin Sa’id, dari Umar bin Tsabit yang bersumber Abi Ayyub yang berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Kemudian, barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu diperikutkannya dengan enam hari dari bulan Syawal, maka yang demikian adalah berpuasa sepanjang masa.”<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Secara bahasa Salafi berarti orang-orang yang membangsakan diri kepada kaum salaf, yaitu mencontoh sikap hidup beragama Rasulullah SAW, para sahabat, atau generasi salaf al shaleh; yang pada intinya adalah kembali kepada Islam yang murni, yang belum tercemar --baik oleh tradisi budaya lokal ataupun oleh wacana doktrinal tertentu--yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya, yang biasa juga disebut kaum Salaf. Sebenarnya wacana dan gerakan Salafiyah jauh daripada tunggal dan monolitik. Hal ini bisa disimak dari pemikiran dan gerakan tokoh-tokoh yang biasa diasosiasikan sebagai pencetus dan perumus Salafisme, mulai dari Ibn Taymiyyah (1263-1328), Muhammad ibn Abd al Wahhab (1703-1787), dan Muhammad Abduh (1849-1905). Pendekatan masing-masing pun berbeda dalam upaya mengajak kaum Muslim untuk kembali kepada Islam Salafi; Ibn Taymiyyah cenderung polemisis, Muhammad ibn Abd al Wahhab suka memakai cara-cara kekerasan, dan Abduh senang dengan pendekatan rasional.<br />Yang dimaksud dengan gerakan salafi dalam kertas kerja ini adalah munculnya orang-orang yang belakangan ini menyebut diri sendiri Salafi, dengan tokoh-tokoh terkemuka ulama-ulama Timur Tengah seperti Syaikh bin Baz, Syaikh Nashiruddin al Albani, Syaikh Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan al Fauzan dan lain-lain.<br />Gerakan ini sangat suka menyesatkan ulama di luar golongan mereka yang mereka nilai sudah menyimpang dari jalan hidup salaf al shaleh. Sangat suka mengkritik ulama-ulama di luar mereka dengan cara mengutip karya-karya ulama itu secara partial, dan atas pandangan yang partial itu mereka mengambil kesimpulan umum, seperti menyesatkan pandangan Imam Al Ghazali, Sayyid Quthub, Yusuf Qardhawi, Abul A’la al Maududy dan lain-lain. Mereka juga cenderung menempatkan gerakan ummat Islam di luar mereka sebagai firqah yang sesat, seperti sesatnya gerakan Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, dan lain-lain… dan senang menyebut diri sebagai “firqah al najiyah (kelompok selamat)..”<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Hari raya dalam bahasa Arab disebut dengan kata عيد ج أعياد… yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “perayaan, keramaian, atau festival”. Pengertian seperti di atas antara lain dijumpai dalam Shaheh Al Bukhari juz I halaman 324, yang dapat kita kutipkan:<br />.... فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم يا أبا بكر إن لكل قوم عيدا وهذا عيدنا<br />“….lantas Rasulullah SAW bersabda: Wahai Abu Bakar, sesungguhnya bagi setiap kaum ada hari raya (keramaian/ festival) dan ini adalah hari raya kita.”<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Menurut Buya HAMKA rahimahullah:<br />“Di tahun 1400 berdiri kerajaan Islam, Malaka. Raja-raja Islam Malaka, mulai daripada Sultan Mahmud Syah, terang-terang menjadi pembela dan penyiar agama Islam. Maka mana rakyat Minangkabau yang tidak merasa puas dengan susunan kebudayaan campuran Hindu – Islam itu, Srimenanti, Jehol, Naning, Lukut dan lain-lain; itulah yang pindah ke tanah Malaka, membuat negeri di Rambau, masyhur dengan nama “Negeri Sembilan”. Raja-raja asal Minangkabau di sana, memakai gelar “yang dipertuan”, dengan singkat “yamtuan”. Supaya perhubungan dengan negeri asal jangan putus, ditetapkan juga daerah itu sebagai rantau dari Tuan Makhdum, yang memang tebal ke-Islamannya.<br />Sebagai juga Kampar, Indragiri dan Siak menjadi rantau daripada Tuan Qadhi…” (HAMKA “Islam dan Adat Minangkabau” cet I, 1984, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas., halaman 10 -11)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Di Sungai Tonang terdapat sebuah pandam perkuburan yang dinamakan oleh masyarakat dengan “Kubu Niniok Nuwun” pengertian bahasa Indonesianya “Kubur Nenek yang turun dari Kapal”. Diduga bahwa beliau adalah seorang puteri yang berasal dari Malaysia (Malaka?!) yang menyelamatkan diri dari huru hara politik yang terjadi di kerajaannya, bersama pengiringnya yang setia beliau menyeberangi Selat Malaka, memasuki Sungai Kampar, maka dari kapal yang ditumpanginya beliau bersama pengiringnya turun lalu mendarat di Sungai Tonang, wafat dan di kebumikan di sana… Tentang nama, waktu dan peristiwa yang dialami sang puteri, sekarang sedang dalam penyelidikan Pemerintah Kerajaan Malaysia dan Propinsi Riau. Demikian menurut informasi yang penulis terima pada Idul Fitri 1428 H lalu dari warga. Wallu a’lam.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Imam At-Turmuzi mengomentari hadits yang dicantumkan pada catatan kaki sebelumnya (Sunan At-Turmuzi, hadits No 759):<br />…. وقد استحب قوم صيام ستة أيام من شوال بهذا الحديث قال بن المبارك هو حسن هو مثل صيام ثلاثة أيام من كل شهر قال بن المبارك ويروى في بعض الحديث ويلحق هذا الصيام برمضان واختار بن المبارك أن تكون ستة أيام في أول الشهر وقد روي عن بن المبارك انه قال إن صام ستة أيام من شوال متفرقا فهو جائز ......<br />“…Suatu kaum (ulama) menyukai (mensunatkan) pelaksanaan puasa enam hari dari bulan Syawal, berdasarkan hadits ini. Ibnu Mubarak berkata: ia adalah bagus, (hukumnya) sama dengan (hukum) berpuasa tiga hari setiap bulan. Ibnu Mubarak berkata dan meriwayatkan pada sebagian hadits, serta menggabungkan puasa ini dengan Ramadhan. Ibnu Mubarak memilih bahwa; (pelaksanaannya) adalah enam hari di awal bulan itu. Dan diriwayatkan dari Ibnu Mubarak bahwa ia berkata: Jika seseorang berpuasa enam hari dari bulan Syawal secara terpisah-pisah, maka yang demikian adalah jaiz (boleh saja).” (At Turmuzi, Op.cit)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Setelah mempelajari dan menimba pelajaran dari pandangan-pandangan para ahli tentang kebudayaan atau kultur, H. Endang Saifuddin Anshari. MA menyimpulkan:<br />“Kebudayaan (kultur) adalah hasil karya-cipta (pengolahan, pengerahan, dan pengarahan terhadap alam oleh) manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, imajinasi dan fakultas-fakultas rohaniah lainnya) dan raganya, yang menyatakan diri dalam pelbagai kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup lahiriah) manusia, sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari intra diri manusia dan ekatra diri manusia, menuju arah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan (spritual dan materiil) manusia, baik “individu” maupun “masyarakat” ataupun “individu dan masyarakat” ….” (H. Endang Saifuddin Anshari, MA. “Agama dan Kebudayaan” cet II 1982, Surabaya. PT. Bina Ilmu, halaman 32).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Teks asli:<br />صحيح مسلم ج: 2 ص: 592<br />867 وحدثني محمد بن المثنى حدثنا عبد الوهاب بن عبد المجيد عن جعفر بن محمد عن أبيه عن جابر بن عبد الله قال ثم كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خطب احمرت عيناه وعلا صوته واشتد غضبه حتى كأنه منذر جيش يقول صبحكم ومساكم ويقول بعثت أنا والساعة كهاتين ويقرن بين إصبعيه السبابة والوسطى ويقول أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدى هدى محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة ثم يقول أنا أولى بكل مؤمن من نفسه من ترك مالا فلأهله ومن ترك دينا أو ضياعا فإلي وعلي <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Teks asli<br />صحيح ابن حبان ج: 1 ص: 178- 180<br /> ذكر وصف الفرقة الناجية من بين الفرق التي تفترق عليها صلى الله عليه وسلم 5 أخبرنا أحمد بن مكرم بن خالد البرتي حدثنا علي بن المديني حدثنا الوليد بن مسلم حدثنا ثور بن مسلم حدثنا ثور بن يزيد حدثني خالد بن معدان حدثني عبد الرحمن بن عمرو السلمي وحجر بن حجر الكلاعي قالا ثم أتينا العرباض بن سارية وهو ممن نزل فيه ولا على الذين إذا ما أتوك لتحملهم قلت لا أجد ما أحملكم عليه فسلمنا وقلنا أتيناك زائرين ومقتبسين فقال العرباض صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم الصبح ذات يوم ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب فقال قائل يا رسول الله كأن هذه موعظة مودع فماذا تعهد إلينا قال أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا مجدعا فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين فتمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة<br />Hadits yang mengandung pengertian yang sama dengan berbagai versi dan redaksi dijumpai pada:<br />المستدرك على الصحيحين ج: 1 ص: 176 المسند المستخرج على صحيح الإمام مسلم ج: 1 ص: 35 المسند المستخرج على صحيح الإمام مسلم ج: 1 ص: 37 موارد الظمآن ج: 1 ص: 56 سنن الترمذي ج: 5 ص: 44 سنن الدارمي ج: 1 ص: 57 سنن أبي داود ج: 4 ص: 200 سنن ابن ماجه ج: 1 ص: 15 مسند أحمد ج: 4 ص: 126 إيقاظ الهمم ج: 1 ص: 45<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Teks asli<br />صحيح البخاري ج: 2 ص: 959<br /> حدثنا يعقوب حدثنا إبراهيم بن سعد عن أبيه عن القاسم بن محمد عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد رواه عبد الله بن جعفر المخرمي وعبد الواحد بن أبي عون عن سعد بن إبراهيم<br />صحيح مسلم ج: 3 ص: 1343<br /> باب نقض الأحكام الباطلة ورد محدثات الأمور 1718 حدثنا أبو جعفر محمد وعبد الله بن عون الهلالي جميعا عن إبراهيم بن سعد قال حدثنا إبراهيم بن سعد بن إبراهيم بن عبد الرحمن بن عوف حدثنا أبي عن القاسم بن محمد عن عائشة قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد 1718 وحدثنا إسحاق بن إبراهيم وعبد بن حميد جميعا عن أبي عامر قال عبد حدثنا عبد الملك بن عمرو حدثنا عبد الله بن جعفر الزهري عن سعد بن إبراهيم قال ثم سألت القاسم بن محمد عن رجل له ثلاثة مساكن فأوصى بثلث كل مسكن منها قال يجمع ذلك كله في مسكن واحد ثم قال أخبرتني عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد<br />Hadits yang sama dapat dijumpai pada:<br />صحيح ابن حبان ج: 1 ص: 207 مسند أبي عوانة 1 ج: 4 ص: 170 – 171 سنن البيهقي الكبرى ج: 10 ص: 119 سنن البيهقي الكبرى ج: 10 ص: 150 المنتقى لابن الجارود ج: 1 ص: 251 سنن الدارقطني ج: 4 ص: 224 سنن الدارقطني ج: 4 ص: 227 سنن أبي داود ج: 4 ص: 200 سنن ابن ماجه ج: 1 ص: 7<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Teks hadits<br />صحيح البخاري ج: 2 ص: 707<br />1906 وعن بن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري أنه قال ثم خرجت مع عمر بن الخطاب رضي الله عنه ليلة في رمضان إلى المسجد فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلي الرجل الرجل فيصلي بصلاته الرهط فقال عمر إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل ثم عزم فجمعهم على أبي بن كعب ثم خرجت معه ليلة أخرى والناس قارئهم قال عمر نعم البدعة هذه و التى ينامون عنها أفضل من التي يقومون يريد آخر الليل وكان الناس يقومون أوله<br />Hadits yang senada dapat dijumpai pada:<br />السنن الصغرى ج: 1 ص: 481 موطأ مالك ج: 1 ص: 114<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Teks hadits<br />سنن الترمذي ج: 5 ص: 45<br /> 2677 حدثنا عبد الله بن عبد الرحمن أخبرنا محمد بن عيينة عن مروان بن معاوية الفزاري عن كثير بن عبد الله هو بن عمرو بن عوف المزني عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لبلال بن الحرث اعلم قال ثم ما أعلم يا رسول الله قال اعلم يا بلال قال ما أعلم يا رسول الله قال أنه من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي فإن له من الأجر مثل من عمل بها أن ينقص من أجورهم شيئا ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا قال أبو عيسى هذا حديث حسن ومحمد بن عيينة هو مصيصي شامي وكثير بن عبد الله هو بن عمرو بن عوف المزني<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> Teks asli hadits<br />صحيح مسلم ج: 4 ص: 2059<br /> باب من سن سنة حسنة أو سيئة ومن دعا إلى هدى أو ضلالة 1017 حدثني زهير بن حرب حدثنا جرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن موسى بن عبد الله بن يزيد وأبي الضحى عن عبد الرحمن بن هلال العبسي عن جرير بن عبد الله قال ثم جاء ناس من الأعراب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم عليهم الصوف فرأى سوء حالهم قد أصابتهم حاجة فحث الناس على الصدقة فأبطؤا عنه حتى رؤى ذلك في وجهه قال ثم إن رجلا من الأنصار جاء بصرة من ينوي ثم جاء آخر ثم تتابعوا حتى عرف السرور في وجهه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم من سن في الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها ولا ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من أوزارهم شيء<br />Hadits senada dengan berbagai versi antara lain pada:<br />صحيح مسلم ج: 2 ص: 705 .... صحيح ابن خزيمة ج: 4 ص: 112 165 باب استحباب الإعلان بالصدقة ناويا لاستنان الناس بالمتصدق فيكتب لمبتدىء الصدقة مثل أجر المتصدقين إستنانا به .... صحيح ابن حبان ج: 8 ص: 101 9 باب صدقة التطوع.... المسند المستخرج على صحيح الإمام مسلم ج: 3 ص: 93 المسند المستخرج على صحيح الإمام مسلم ج: 3 ص: 94 ..... سنن الدارمي ج: 1 ص: 140 44 باب من سن سنة حسنة أو سيئة<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> Ibn Manzur, Muhammad bin Mukram (t.t.), “Lisan al ‘Arab”, Beirut: Dar al Sadir. Juz VIII halaman 6: <br />. بدع بدع : بدَع الشيءَ يَبْدَعُه بَدْعاً و ابْتَدَعَه: أَنشأَه وبدأَه. و بدع الرَّكِيّة: اسْتَنْبَطَها وأَحدَثها. ورَكْيُّ بَدِيعٌ: حَديثةُ الـحَفْر. و البَدِيعُ و البِدْعُ: الشيء الذي يكون أَوّلاً. وفـي التنزيل: قُل ما كنتُ بِدْعاً من الرُّسُل ؛ أَي ما كنت أَوّلَ من أُرْسِلَ، قد أُرسل قبلـي رُسُلٌ كثـير. و البِدْعةُ: الـحَدَث وما ابْتُدِعَ من الدِّين بعد الإِكمال. ابن السكيت: البِدْعةُ كلُّ مُـحْدَثةٍ<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> Abussa’adat Al Mubarak bin Muhammad al Jazri, “An Nihayah fii Ghariibil Hadits wal Atsar”, tahqiq: Thahir Ahmad Az Zawi – Mahmud Muhammad At Thanahi, 1399 H/ 1979 M, Beirut: Al Maktabah Al Ilmiyah.<br /> النهاية في غريب الحديث ج: 1 ص: 106<br />بدع في أسماء الله تعالى البديع هو الخالق المختَرع لا عن مِثال سابق, فَعِيل بمعنى مُفْعِل . يقال أبدَع فهو مُبْدِع . هـ وفيه أن تِهاَمة كبَدِيع العسَل , حُلْو أوّله حُلْو آخره البديع : الزِّقُ الجَدِيد , شَبَّه به تِهامة لِطيب هوائها , وأنه لا يتغيَّر كما أن العسل لا يتغير.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Razi, Muhammad bin Abu Bakar Abdul Qadir Ar- (1995) “al Mukhtar al Sihaah”, Beirut: Maktabah Lubnan Nasyirun, tahqiq: Mahmud Khatir. Juz I halaman 18 :<br />ب د ع أبْدَعَ الشيء اخترعه لاعلى مثال والله بديع السماوات والأرض أي مُبْدعهُما و البديعُ المبتدع و المُبْتَدَعُ أيضا و البديعُ أيضا الزق وفي الحديث إن تهامة كبديع العسل حلو أوله حلو آخره شبهها بزق العسل لأنه لا يتغير بخلاف اللبن و أبْدَعَ الشاعر جاء بالبديع وشيء بِدْعٌ بالكسر أي مبتدع وفلان بِدْعٌ في هذا الأمر أي بديع ومنه قوله تعالى قل ما كنت بدعا من الرسل و البِدْعةُ الحدث في الدين بعد الإكمال و استَبْدَعَهُ عده بديعا و بَدَّعَهُ تبْدِيعَاً نسبه إلى البدعة<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a> Abussa’adat Al Mubarak bin Muhammad al Jazri, “An Nihayah fii Ghariibil Hadits wal Atsar” Op.Cit Juz I halaman 106:<br />البدعة بِدْعَتاَن : بدعة هُدى, وبدعة ضلال , فما كان في خلاف ما أمَر الله به ورسوله صلى الله عليه وسلم فهو في حَيّز الذّم والإنكار , وما كان واقعا تحت عُموم ما نَدب الله إليه وحَضَّ عليه الله أو رسوله فهو في حَيّز المدح.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref20" name="_ftn20">[20]</a> “Lisan al Arab”, Op. Cit, Juz VIII halaman 6:<br />ابن الأَثـير: البِدْعةُ بدْعتان: بدعةُ هُدى، و بِدعة ضَلال، فما كان فـي خلاف ما أَمر الله به ورسوله ، فهو فـي حَيِزّ الذّمِّ والإِنكار، وما كان واقعاً تـحت عُموم ما ندَب الله إِلـيه وحَضّ علـيه أَو رسولُه فهو فـي حيِّز الـمدح<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref21" name="_ftn21">[21]</a> Syatibi, Ibrahim bin Musa al Lakhmi (w. 790) “Al I’tisham”, 1406 H 1986 M, Beirut, Dar al Ma’rifah, Juz I halaman 36-37:<br />ثبت في علم الأصول أن الأحكام المتعلقة بأفعال العباد وأقوالهم ثلاثة : حكم يقتضيه معنى الأمر كان للإيجاب أو الندب وحكم يقتضيه معنى النهي كان للكراهة أو التحريم وحكم يقتضيه معنى التخيير وهو الإباحة فأفعال العباد وأقوالهم لا تعدو هذه الأقسام الثلاثة : مطلوب فعله ومطلوب تركة ومأذون في فعله وتركه والمطلوب تركه لم يطلب تركه إلا لكونه مخالفا للقسمين الأخيرين لكنه على ضربين :<br />أحدهما : أن يطلب تركه وينهى عنه لكونه مخالفة خاصة مع مجرد النظر عن غير ذلك وهو إن كان محرما سمي فعلا معصية وإثما وسمي فاعله عاصيا وآثما وإلا لم يسم بذلك ودخل في حكم العفو حسبما هو مبين في غير هذا الموضع ولا يسمى بحسب الفعل جائزا ولا مباحا لأن الجمع بين الجواز والنهي جمع بين متنافيين<br />والثاني : أن يطلب تركه وينهى عنه لكونه مخالفة لظاهر التشريع من جهة ضرب الحدود وتعيين الكيفيات والتزام الهيئات المعينة أو الأزمنة المعينة مع الدوام ونحو ذلك<br />وهذا هو الابتداع والبدعة ويسمى فاعله مبتدعا<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref22" name="_ftn22">[22]</a> Ibid.<br />فالبدعة إذن عبارة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه وهذا على رأي من لا يدخل العادات في معنى البدعة وإنما يخصها بالعبادات وأما على رأي من أدخل الأعمال العادية في معنى البدعة فيقول : البدعة طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية ولا بد من بيان ألفاظ هذا الحد فالطريقة والطريق والسبيل والسنن هي بمعنى واحد وهو ما رسم للسلوك عليه وإنما قيدت بالدين لأنها فيه تخترع وإليه يضيفها صاحبها وأيضا فلو كانت طريقة مخترعة في الدنيا على الخصوص لم تسم بدعة كإحداث الصنائع والبلدان التي لا عهد بها فيما تقدم<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref23" name="_ftn23">[23]</a> Ibid.<br />ولما كانت الطرائق في الدين تنقسم ـ فمنها ما له أصل في الشريعة ومنها ما ليس له أصل فيها ـ خص منها ما هو المقصود بالحد وهو القسم المخترع أي طريقة ابتدعت على غير مثال تقدمها من الشارع إذ البدعة إنما خاصتها أنها خارجة عما رسمه الشارع وبهذا القيد انفصلت عن كل ما ظهر لبادي الرأي أنه مخترع مما هو متعلق بالدين كعلم النحو والتصريف ومفردات اللغة وأصول الفقه وأصول الدين وسائر العلوم الخادمة للشريعة فإنها وإن لم توجد في الزمان الأول فأصولها موجودة في الشرع إذ الأمر بإعراب القرآن منقول وعلوم اللسان هادية للصواب في الكتاب والسنة فحقيقتها إذا أنها فقه التعبد بالألفاظ الشرعية الدالة على معانيها كيف تؤخذ وتؤدي<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref24" name="_ftn24">[24]</a> Ibid.<br />وأصول الفقه إنما معناها استقراء كليات الأدلة حتى تكون عند المجتهد نصب عين وعند الطالب سهلة الملتمس<br />وكذلك أصول الدين وهو علم الكلام إنما حاصله تقرير لأدلة القرآن والسنة أو ما ينشأ عنها في التوحيد وما يتعلق به كما كان الفقه تقريرا لأدلتها في الفروع العبادية<br />( فإن قيل ) : فإن تصنيفها على ذلك الوجه مخترع<br />( فالجواب ) : أن له أصلا في الشرع ففي الحديث ما يدل عليه ولو سلم أنه ليس في ذلك دليل على الخصوص فالشرع بجملته يدل على اعتباره وهو مستمد من قاعدة المصالح المرسلة وسيأتي بسطها بحول الله<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref25" name="_ftn25">[25]</a> Ibid.<br />فعلى القول بإثباتها أصلا شرعيا لا إشكال في أن كل علم خادم للشريعة داخل تحت أدلته التي ليست بمأخوذة من جزئي واحد فليست ببدعة البتة<br />وعلى القول بنفيها لا بد أن تكون تلك العلوم مبتدعات إذا دخلت في علم البدع كانت قبيحة لأن كل بدعة ضلالة من غير إشكال كما يأتي بيانه إن شاء الله<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref26" name="_ftn26">[26]</a> Ibid.<br />ويلزم من ذلك أن يكون كتب ا لمصحف وجمع القرآن قبيحا وهو باطل بالإجماع فليس إذا ببدعة ......<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref27" name="_ftn27">[27]</a> Ibid.<br />فعلى هذا لا ينبغي أن يسمى علم النحو أو غيره من علوم اللسان أو علم الأصول أو ما أشبه ذلك من العلوم الخادمة للشريعة بدعة أصلا ومن سماه بدعة فإما على المجاز كما سمى عمر بن الخطاب رضي الله عنه قيام الناس في ليالي رمضان بدعة وإما جهلا بمواقع السنة والبدعة فلا يكون قول من قال ذلك معتدا به ولا معتمدا عليه<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref28" name="_ftn28">[28]</a> Ibid.<br />وقوله في الحد تضاهي الشرعية يعني أنها تشابه الطريقة الشرعية من غير أن تكون في الحقيقة كذلك بل هي مضادة لها من أوجه متعددة<br />منها : وضع الحدود كالناذر للصيام قائما لا يقعد ضاحيا لا يستظل والاختصاص في الانقطاع للعبادة والاقتصار من المأكل والملبس على صنف دون صنف من غير علة<br />ومنها : التزام الكيفيات والهيئات المعينة كالذكر بهيئة الاجتماع على صوت واحد واتخاذ يوم ولادة النبي صلى الله عليه وسلم عيدا وما أشبه ذلك<br />ومنها : التزام العبادات المعينة في أوقات معينة لم يوجد لها ذلك التعيين في الشريعة كالتزام صيام يرم النصف من شعبان وقيام ليلته<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref29" name="_ftn29">[29]</a> Ibid.<br />وثم أوجه تضاهي بها البدعة الأمور المشروعة فلو كانت لا تضاهي الأمور المشروعة لم تكن بدعة ـ لأنها تصير من باب الأفعال العادية<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn30" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref30" name="_ftn30">[30]</a> ‘Asqalani, Ahmad b. ‘Ali b. Hajar al- (1379H), Fath al-Bari. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi dan Muhibb al-Din al-Khatib (tahqiq). Beirut: Dar al-Ma‘rifah. Juz XIII, halaman 253<br />....ما أحدث وليس له أصل في الشرع ويسمى في عرف الشرع بدعة وما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة فالبدعة في عرف الشرع مذمومة بخلاف اللغة فان كل شيء أحدث مثال يسمى بدعة سواء كان محمودا أو مذموما وكذا القول في المحدثة<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn31" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref31" name="_ftn31">[31]</a> Ibid.<br />وفي الأمر المحدث الذي ورد في حديث عائشة من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد كما تقدم شرحه ومضى بيان ذلك قريبا في كتاب الأحكام وقد وقع في حديث جابر المشار اليه وكل بدعة ضلالة وفي حديث العرباض بن سارية وإياكم ومحدثات الأمور فان كل بدعة ضلالة وهو حديث أوله وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظة بليغة فذكره وفيه هذا أخرجه احمد وأبو داود والترمذي وصححه بن ماجة وابن حبان والحاكم وهذا الحديث في المعنى قريب من حديث عائشة المشار اليه وهو من جوامع الكلم قال الشافعي البدعة بدعتان محمودة ومذمومة فما وافق السنة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم أخرجه أبو نعيم بمعناه من طريق إبراهيم بن الجنيد عن الشافعي وجاء عن الشافعي أيضا ما أخرجه البيهقي في مناقبه قال المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال وما أحدث من الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة انتهى<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn32" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref32" name="_ftn32">[32]</a> Lihat. Muhammad bin Bahadir bin Abdillah Az Zarkasyi Abu Abdillah (745 H sd 794) “Al Mantsur” tahqiq: Dr. Taisir Faiq Ahmad Mahmud,1405 H, Kuwait; Cet: 2, Wazaratul Auqaf was suuunil Islamiyah. Juz I, halaman 217-218:<br /> حرف الباء البدعة قال ابن درستويه هي في اللغة احداث سنة لم تكن وتكون في الخير والشر ومنه قولهم فلان بدعة إذا كان مجاوزا في حذقه وجعل منه ابن فارس في المقاييس قوله تعالى قل ما كنت بدعا من الرسل أي أول فأما في الشرع فموضوعه للحادث المذموم وإذا أريد الممدوح قيدت ويكون ذلك مجازا شرعيا حقيقة لغوية وفي الحديث كل بدعة ضلالة وقال الإمام الشافعي رضي الله عنه المحدثات ضربان وإذا كانت ليس فيها رد لما مضى انتهى وانظر كيف تحرز الإمام الشافعي رضي الله عنه في كلامه عن لفظ البدعة ولم يزد على لفظ المحدثة وتاول قول عمر رضي الله عنه على ذلك وقال المتولي في التتمة في باب صلاة الجماعة البدعة اسم لكل زيادة في الدين سواء كانت طاعة أو معصية فالبدعة بزيادة الطاعة مثل كثرة الصلاة والصوم والصدقة سواء وافق الشرع أم لا بأن يتعبد في وقت الكراهة قال والمتبدع بالمعصية كالطعن في الصحابة أو به خلل في العقيدة فإن كان لا يكفر بها فحكمه حكم الفاسق وإلا فهو كافر قال وهل يقطع بأنه من أهل النار ظاهر المذهب وعليه يدل كلام الشافعي رضي الله عنه أنه من جملة العاصين وحاله في المشيئة كحال سائر العصاة ومن أصحابنا من قطع بأنه من أهل النار لقوله صلى الله عليه وسلم كل كذب ضلالة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn33" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref33" name="_ftn33">[33]</a> Lihat. Syatibi, Ibrahim bin Musa al Lakhmi (w. 790) “al-Muwafaqat Fi Usul alSyariah”, muhaqqiq: Abdullah Darraz, Beirut: Dar al Ma’rifah. Juz II, halaman 340-42:<br />...فإن قيل إن العلماء قد قسموا البدع بأقسام الشريعة والمذموم منها بإطلاق هو المحرم وأما المكروه فهو الذم فيه بإطلاق وما عدا قبيح شرعا فالواجب منها والمندوب حسن بإطلاق وممدوح فاعله ومستنبطه والمباح حسن باعتبار فعلى الجملة من استحسن من البدع ما استحسنه الأولون لا يقول إنها مذمومة ولا مخالفة لقصد الشارع بل هي موافقة أي موافقة كجمع الناس على المصحف العثماني والتجميع فى قيام رمضان فى المسجد وغير ذلك من المحدثات الحسنة التي اتفق الناس على حسنها أعني السلف الصالح والمجتهدين من الأمة وما رآه المسلمون حسنا فهو ثم الله حسن فجميع هذه الأشياء داخله تحت ترجمة المسألة إذ هي أفعال مخالفة للشارع لأنه لم يضعها مقترنة بقصد موافق لأنهم لم يقصدوا إلا الصلاح وإذا كان كذلك وجب أن لا تكون البدع كلها مذمومة خلاف المدعى فالجواب أن هذا كله ليس مما وقعت الترجمة عليه فإن الفرض أن الفعل مخالف للفعل الذي وضعه الشارع وما أحدثه السلف وأجمع عليه العلماء لم يقع فيه مخالفة لما وضعه الشارع بحال بيان ذلك أن جمع المصحف مثلا لم يكن في زمان رسول الله صلى الله عليه وسلم للاستغناء عنه بالحفظ في الصدور ولأنه لم يقع في القرآن اختلاف يخاف بسببه الاختلاف في الدين وإنما وقعت فيه نازلتان أو ثلاثة كحديث عمر بن الخطاب مع هشام بن حكيم رضي الله عنهما وقصة أبي بن كعب مع عبد الله بن مسعود رضي الله عنهما وفيه قال عليه الصلاة والسلام لا تماروا في القرآن فإن المرآء فيه كفر فحاصل الأمر أن جمع المصحف كان مسكوتا عنه في زمانه عليه الصلاة والسلام ثم لما وقع الاختلاف في القرآن وكثر حتى صار أحدهم يقول لصاحبه أنا كافر بما تقرأ به صار جمع المصحف واجبا ورأيا رشيدا في واقعة لم يتقدم بها عهد فلم يكن فيها مخالفة وإلا لزم أن يكون النظر في كل واقعة لم تحدث في الزمان المتقدم بدعة وهو باطل باتفاق لكن مثل هذا النظر من باب الاجتهاد الملائم لقواعد الشريعة وإن لم يشهد له أصل معين وهو الذي يسمى المصالح المرسلة وكل ما أحدثه السلف الصالح من هذا القبيل لا يتخلف عنه بوجه وليس من المخالف لمقصد الشارع أصلا<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn34" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref34" name="_ftn34">[34]</a> Abi Muhammad ‘Izzuddin Abdil Aziz bin Abdissalam As Sulami (w.660 H) “Qawa’idul Ahkam Fii Mashalihil ‘Anam”, t.t.h, Beirut: Darul Ma’rifah, juz II, halaman 172-173:<br />فصل في البدع البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم وهي منقسمة إلى بدعة واجبة وبدعة مندوبة وبدعة مكروهة وبدعة مباحة والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة فإن دخلت في قواعد الايجاب فهي واجبة وان دخلت في قواعد التحريم وان دخلت في قواعد المندوب فهي مندوبة وان دخلت في قواعد المباح فهي مباحة<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn35" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref35" name="_ftn35">[35]</a> An Nawawi, Abu Zakarya Muhyiddin (631 H – 676 H), “Syarhu An Nawawi ‘ala Shaheh Muslim”, cet: III, 1292, Beirut: Daar Ihyaa al Turats al ‘Arabi, Juz VII, halaman 104-105.<br />شرح النووي على صحيح مسلم ج: 7 ص: 104- 105<br />قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn36" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref36" name="_ftn36">[36]</a>Ibnu Manzur, “Lisan al ‘Arab” Op. Cit. Juz XIII, halaman 220:<br />وقد تكرر في الحديث ذكر السُّنَّة وما تصرف منها والأَصل فيه الطريقة والسِّيرَة وإذا أُطْلِقَت في الشرع فإِنما يراد بها ما أَمَرَ به النبيُّ صلى الله عليه وسلم ونَهى عنه ونَدَب إليه قولاً وفعلاً مما لم يَنْطق به الكتابُ العزيز ولهذا يقال في أَدلة الشرع الكتابُ والسُّنَّةُ أَي القرآن والحديث وفي الحديث إِنما أُنَسَّى لأِسُنَّ أَي إنما أُدْفَعُ إلى النِّسْيانُ لأَسُوقَ الناسَ بالهداية إلى الطريق المستقيم وأُبَيِّنَ لهم ما يحتاجون أَن يفعلوا إذا عَرَضَ لهم النسيانُ قال ويجوز أَن يكون من سَنَنْتُ الإِبلَ إذا أَحْسنت رِعْيتَها والقيام عليها وفي الحديث أَنه نزل المُحَصَّبَ ولم يَسُنَّهُ أَي لم يجعله سُنَّة يعمل بها قال وقد يَفْعل الشيء لسبب خاص فلا يعمّ غيره وقد يَفْعل لمعنى فيزول ذلك المعنى ويبقى الفعل على حاله مُتَّبَعاً كقَصْرِ الصلاة في السفر للخوف ثم استمرّ القصر مع عدم الخوف ومنه حديث ابن عباس رَمَلَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم وليس بسُنَّة أَي أَنه لم يَسُنَّ فِعْلَه لكافة الأُمّة ولكن لسبب خاص وهو أَن يُرِيَ المشركين قوّة أَصحابه وهذا مذهب ابن عباس وغيره يرى أَن الرَّمَلَ في طواف القدوم سنَّة وفي حديث مُحَلِّمِ ابن جَثَّامة اسْنُنِ اليومَ وغَيِّرْ غداً أَي اعْمَلْ بسُنَّتك التي سَنَنْتها في القِصاصِ ثم بعد ذلك إذا شئت أَن تغير فغير أَي تغير ما سَننْتَ وقيل تُغَيِّر من أَخذ الغِيَر وهي الدية وفي الحديث إن أَكبر الكبائر أَن تُقاتل أَهل صَفْقَتِك وتُبَدِّلَ سُنَّتَك أَراد بتبديل السُّنة أَن يرجع أَعرابيّاً بعد هجرته وفي حديث المجوس سُنُّوا بهم سُنَّة أَهل الكتاب أَي خذوهم على طريقتهم وأَجْرُوهم في قبول الجزية مُجْراهم وفي الحديث لا يُنْقَضُ عَهْدُهم عن سُنَّةِ ماحِلٍ أَي لا ينقض بسَعْيِ ساع بالنميمة والإِفساد كما يقال لا أُفْسِدُ ما بيني وبينك بمذاهب الأَشرار وطُرُقهم في الفساد والسُّنَّة الطريقة والسَّنن أَيضاً وفي الحديث أَلا رجلٌ يَرُدُّ عَنَّا من سَنَنِ هؤلاء التهذيب السُّنَّةُ الطريقة المحمودة المستقيمة ولذلك قيل فلان من أَهل السُّنَّة معناه من أَهل الطريقة المستقيمة المحمودة وهي مأْخوذة من السَّنَنِ وهو الطريق ويقال للخَطّ الأَسود على مَتْنِ الحمار سُنَّة والسُّنَّة الطبيعة وبه فسر بعضهم قول الأَعشى كَرِيمٌ شَمَائِلُه من بَنِي مُعاويةَ الأَكْرَمينَ السُّنَنْ وامْضِ على سَنَنِك أَي وَجْهك وقَصْدك وللطريق سَنَنٌ أَيضاً وسَنَنُ الطريق وسُنَنُه وسِنَنُه وسُنُنُه نَهْجُه يقال خَدَعَك سَنَنُ الطريق وسُنَّتُه والسُّنَّة أَيضاً سُنَّة الوجه وقال اللحياني تَرَك فلانٌ لك سَنَنَ الطريق وسُنَنَه وسِنَنَه أَي جِهَتَه قال ابن سيده ولا أَعرف سِنَناً عن غير اللحياني شمر السُّنَّة في الأَصل سُنَّة الطريق وهو طريق سَنَّه أَوائل الناس فصارَ مَسْلَكاً لمن بعدهم وسَنَّ فلانٌ طريقاً من الخير يَسُنُّه إِذا ابتدأَ أَمراً من البِرِّ لم يعرفه قومُه فاسْتَسَنُّوا به وسَلَكُوه وهو سَنِين ويقال سَنَّ الطريقَ سَنّاً وسَنَناً فالسَّنُّ المصدر والسَّنَنُ الاسم بمعنى المَسْنون ويقال تَنَحَّ عن سَنَنِ الطريق وسُنَنه وسِنَنِه ثلاث لغات قال أَبو عبيد سَنَنُ الطريق وسُنُنُه مَحَجَّتُه وتَنَحَّ عن سَنَنِ الجبل أَي عن وجهه الجوهري السَّنَنُ الطريقة يقال استقام فلان على سَنَنٍ واحد ويقال امْضِ على سَنَنِك وسُنَنِك أَي على وجهك والمُسَنْسَِنُ الطريق المسلوك وفي التهذيب طريق يُسْلَكُ وتَسَنَّنَ الرجلُ في عَدْوِه واسْتَنَّ مضى على وجهه وقول جرير ظَلِلْنا بمُسْتَنِّ الحَرُورِ كأَننا لَدى فَرَسٍ مُسْتَقْبِلِ الريحِ صائِم عنى بمُسْتَنِّها موضعَ جَرْي السَّرابِ وقيل موضع اشتداد حرها كأَنها تَسْتَنُّ فيه عَدْواً وقد يجوز أَن يكون<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn37" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref37" name="_ftn37">[37]</a> Abussa’adat Al Mubarak bin Muhammad al Jazri, “An Nihayah fii Ghariibil Hadits wal Atsar” Op.Cit Juz II halaman 1022:<br />النهاية في غريب الأثر [ جزء 2 - صفحة 1022 ] <br />{ سنن } ... قد تكرر في الحديث ذكر [ السُّنة ] وما تصرَّف منها . والأصلُ فيها الظريفة والسِّيرة . وإذا أُطْلِقَت في الشَّرع فإنما يُرادُ بها ما أمَرَ به النبي صلى اللّه عليه وسلم ونهى عنه ونَدَب إليه قولا وفِعْلا مما لم يَنْطق به الكِتابُ العزيزُ . ولهذا يقال في أدِلَّة الشَّرع الكِتابُ والسُّنَّة أي القرآن والحديث<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn38" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref38" name="_ftn38">[38]</a> Razi, Muhammad bin Abu Bakar Abdul Qadir Ar- (1995) “al Mukhtar al Sihaah”, Op. Cit. Juz I, halaman 326:<br />مختار الصحاح [ جزء 1 - صفحة 326 ] <br />[ سنن ] س ن ن : السَّنَنُ الطريقة يقال استقام فلان على سنن واحد ويقال امض على سَنَنِكَ و سُنَنِكَ أي على وجهك<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn39" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref39" name="_ftn39">[39]</a> سنن<br />سُنَّةَ اللَّهِ: الأحزاب/38 /62 الفتح/23 (3) سُنَّتَ اللَّهِ: غافر/85 (1) لِسُنَّةِ اللَّهِ: الأحزاب/62 الفتح/23 (2) لِسُنَّتِ اللَّهِ: فاطر/43 /43 (2) سُنَّتَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ: غافر/85 (1) سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ: الفتح/23 (1) سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلُ: الأحزاب/38 /62 (2) سُنَّتُ الأَوَّلِينَ: الأنفال/38 (1) سُنَّةُ الأَوَّلِينَ: الحجر/13 الكهف/55 (2) سُنَّتَ الأَوَّلِينَ: فاطر/43 (1)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn40" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref40" name="_ftn40">[40]</a> Lihat: تفسير الطبري ج: 4 ص: 100<br />وأما السنن فإنها جمع سنة والسنة هي المثال المتبع والإمام الموتم به يقال منه سن فلان فينا سنة حسنة وسن سنة سيئة إذا عمل عملا اتبع عليه من خير وشر ومنه قول لبيد ابن ربيعة من معشر سنت لهم آباؤهم ولكل قوم سنة وإمامها وقول سليمان بن قتة وإن الألى بالطف من آل هاشم تآسوا فسنوا للكرام التآسيا وقال ابن زيد في ذلك ما حدثني يونس قال أخبرنا ابن وهب قال قال ابن زيد في قوله قد خلت من قبلكم سنن قال أمثال <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn41" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref41" name="_ftn41">[41]</a> Misalnya lihat: تفسير ابن كثير ج: 1 ص: 409<br />قد خلت من قبلكم سنن أي قد جرى نحو هذا على الأمم الذين كانوا من قبلكم من أتباع الأنبياء ثم كانت العاقبة لهم والدائرة على الكافرين ولهذا قال تعالى فسيروا في الأرض فانظروا كيف كان عاقبة المكذبين ثم قال تعالى هذا بيان للناس يعني القرآن فيه بيان الأمور على جليتها وكيف كان الأمم الأقدمون مع أعدائهم وهدى وموعظة يعني القرآن فيه خبر ما قبلكم وهدى لقلوبكم وموعظة أي زاجرا عن المحارم والمآثم<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn42" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref42" name="_ftn42">[42]</a> Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala (1283 H – 1353 H) “Tuhfatu al Ahwazi”, t.th. Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyah. Juz VII, halaman 365:<br />تحفة الأحوذي ج: 7 ص: 365<br />قوله عن ابن جرير بن عبد الله اسمه المنذر بن جرير بن عبد الله البجلي الكوفي مقبول من الثالثة قوله من سن سنة خير وفي رواية مسلم من سن في الإسلام سنة حسنة أي أتى بطريقة مرضية يشهد لها أصل من أصول الدين فاتبع بصيغة المجهول والضمير إلى من عليها أو على تلك السنة فله أجره الضميران يرجعان إلى من سن أي له أجر عمله بتلك السنة منقوص من أجورهم شيئا بالنصب على أنه مفعول مطلق أي لا ينقص من أجورهم شيئا من النقص ومن سن سنة شر وفي بعض النسخ سنة سيئة وفي رواية مسلم ومن سن في الإسلام سنة سيئة أي مرضية لا يشهد لها أصل من أصول الدين قوله وفي الباب عن حذيفة أخرجه أحمد قوله هذا حديث حسن صحيح وأخرجه مسلم مطولا وابن ماجة من طريق المنذر بن جرير عن أبيه<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn43" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref43" name="_ftn43">[43]</a> Abdul Wahab Khallaf “’Ilmu Ushul al Fiqh”, 1398 H, 1978 M, Kuwait: Daar al Qalam, halaman 36<br />السنة في الإصطلاح الشرعي : هي ما صدر عن رسول الله e من ، قول ، أو فعل ، أو تقرير .<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn44" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref44" name="_ftn44">[44]</a> Ibid.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn45" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref45" name="_ftn45">[45]</a> Al-Syatibi, Ibrahim bin Musa al-Lakhmi (1999), al-Muwafaqat Fi Usul al-Syariah, Beirut: Dar al-Ma’rifah, jil. 2 m.s. 324.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn46" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref46" name="_ftn46">[46]</a> Ibid, m.s. 326.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn47" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref47" name="_ftn47">[47]</a> Ibid, m.s. 331.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn48" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref48" name="_ftn48">[48]</a> Jiwa seperti inilah yang diharapkan muncul setelah ziarah kubur:<br />صحيح مسلم ج: 2 ص: 672<br />977 حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة ومحمد بن عبد الله بن نمير ومحمد بن المثنى واللفظ لأبي بكر وابن نمير قالوا حدثنا محمد بن فضيل عن أبي سنان وهو ضرار بن مرة عن محارب بن دثار عن بن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها ونهيتكم عن لحوم الأضاحي فوق ثلاث فأمسكوا ما بدا لكم ونهيتكم عن النبيذ إلا في سقاء فاشربوا في الأسقية كلها ولا تشربوا مسكرا قال بن نمير في روايته عن عبد الله بن بريدة عن أبيه<br />المنتقى لابن الجارود ج: 1 ص: 219<br /> 863 حدثنا محمد بن يحيى قال ثنا أبو عاصم عن سفيان عن علقمة بن مرثد عن سليمان بن بريدة عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثم إني كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها فإن محمدا أذن له في زيارة أمه وإنها تذكر الآخرة ونهيتكم عن أن تمسكوا عن لحوم الأضاحي فوق ثلاث أردت بذلك أن يتسع أهل السعة على من لا سعة له فكلوا وادخروا ونهيتكم عن الظروف وإن ظرفا لا يحل شيئا ولا يحرمه وكل مسكر حرام <br />فتح الباري ج: 3 ص: 148<br />قوله باب زيارة القبور أي مشروعيتها وكأنه لم يصرح بالحكم لما فيه من الخلاف كما سيأتي وكأن المصنف لم يثبت على شرطه الأحاديث المصرحه بالجواز وقد أخرجه مسلم من حديث بريدة وفيه نسخ النهي عن ذلك ولفظه كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها وزاد أبو داود والنسائي من حديث أنس فإنها تذكر الآخرة وللحاكم من حديثه فيه وترق القلب وتدمع العين فلا تقولوا هجرا أي كلاما فاحشا وهو بضم الهاء وسكون الجيم وله من حديث بن مسعود فإنها تزهد في الدنيا ولمسلم من حديث أبي هريرة مرفوعا زوروا القبور فإنها تذكر الموت قال النووي تبعا للعبدري والحازمي وغيرهما اتفقوا على أن زيارة القبور للرجال جائزة كذا اطلقوا وفيه نظر لأن بن أبي شيبة وغيره روى عن بن سيرين وإبراهيم النخعي والشعبي الكراهة مطلقا حتى قال الشعبي لولا نهي النبي صلى الله عليه وسلم لزرت قبر ابنتي فلعل من أطلق أراد بالاتفاق ما استقر عليه الأمر بعد هؤلاء وكأن هؤلاء لم يبلغهم محمود والله أعلم ومقابل هذا قول بن حزم أن زيارة القبور واجبة ولو مرة واحدة في العمر لورود الأمر به واختلف في النساء فقيل دخلن في عموم الإذن وهو قول الأكثر ومحله ما إذا أمنت الفتنة ويؤيد الجواز حديث الباب وموضع الدلالة منه أنه صلى الله عليه وسلم لم ينكر على المرأة قعودها ثم القبر وتقريره حجة<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn49" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref49" name="_ftn49">[49]</a> Tentang amalan yang dilakukan pada waktu ziarah kubur sebenarnya terdapat perbedaan pendapat ulama, seperti kita kutip dari: Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Muqaddisi Abu Muhammad (541 H-620H) “Al Mughni”, cet. I 1405, Beirut: Daar al Fikr.<br />المغني ج: 2 ص: 224<br />فصل وإذا مر بالقبور أوزارها استحب أن يقول ما روى عن مسلم عن بريدة قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعلمهم إذا خرجوا إلى المقابر فكان قائلهم يقول السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين والمسلمين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون نسأل الله لنا ولكم العافية وفي حديث عائشة ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وفي حديث آخر اللهم لا تحرمنا أجرهم ولا تفتنا بعدهم وإن أراد قال اللهم اغفر لنا ولهم كان حسنا فصل قال ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص 1 ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ وقال الخلال حدثني أبو علي الحسن بن الهيثم البزار شيخنا الثقة المأمون قال رأيت أحمد بن حنبل يصلي خلف ضرير يقرأ على القبور وقد روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال من دخل المقابر فقرأ سورة يس خفف عنهم يومئذ وكان له بعدد من فيها حسنات وروي عنه عليه السلام من زار قبر والديه فقرأ عنده أو عندهما يس غفر له<br />المغني ج: 2 ص: 225- 226<br /> فصل ونصف قربة فعلها وجعل ثوابها للميت المسلم نفعه ذلك إن شاء الله أما الدعاء والاستغفار والصدقة وأداء الواجبات فلا أعلم فيه خلافا إذا كانت الواجبات مما يدخله النيابة وقد قال الله تعالى والذين جاؤوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان الحشر 10 وقال الله تعالى واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات محمد 19 ودعا النبي صلى الله عليه وسلم لأبي سلمة حين مات وللميت الذي صلي عليه في حديث عوف بن مالك ولكل ميت صلي عليه وسأل رجل النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن أمي ماتت فينفعها إن تصدقت عنها قال نعم رواه أبو داود وروي ذلك عن سعد بن عبادة وجاءت امرأة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت يا رسول الله إن فريضة الله في الحج أدركت أبي شيخا كبيرا لا يستطيع أن يثبت على الراحلة أفأحج عنه قال أرأيت لو كان على أبيك دين أكنت قاضيته قالت نعم قال فدين الله أحق أن يقضى وقال للذي سأله إن أمي ماتت وعليها صوم شهر أفأصوم عنها قال نعم وهذه أحاديث صحاح وفيها دلالة على انتفاع الميت لأن الصوم والحج والدعاء والاستغفار عبادات بدنية وقد أوصل الله نفعها إلى الميت فكذلك ما سواها مع ما ذكرنا من الحديث في ثواب من قرأ يس وتخفيف الله تعالى عن أهل المقابر بقراءته وروى عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لعمرو بن العاص لو كان أبوك مسلما فأعتقتم عنه أو تصدقتم عنه أو حججتم عنه بلغه ذلك وهذا عام في حج التطوع وغيره ولأنه عمل بر وطاعة فوصل نفعه وثوابه كالصدقة والصيام والحج الواجب وقال الشافعي ما عدا الواجب والصدقة والدعاء والاستغفار لا يفعل عن الميت ولا يصل ثوابه إليه لقول الله تعالى وأن ليس للإنسان إلا ما سعى النجم 39 وقول النبي صلى الله عليه وسلم إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به من بعده أو ولد صالح يدعوا له ولأن نفعه لا يتعدى فاعله فلا يتعدى ثوابه وقال بعضهم إذا قرىء القرآن ثم الميت أو أهدي إليه ثوابه كان الثوب لقارئه ويكون الميت كأنه حاضرها وترجى له الرحمة ولنا ما ذكرناه وأنه إجماع المسلمين فإنهم في كل عصر ومصر يجتمعون ويقرؤون القرآن ويهدون ثوابه إلى موتاهم نكير ولأن الحديث صح عن النبي صلى الله عليه وسلم إن الميت يعذب ببكاء أهله عليه والله أكرم من أن يوصل عقوبة المعصية إليه ويحجب عنه المثوبة ولأن الموصل لثوابه ما سلموه قادر على إيصال ثواب ما منعوه والآية مخصوصة بما سلموه وما اختلفنا فيه في معناه فنقيسه عليه ولا حجة لهم في الخبر الذي احتجوا به فإنما دل على انقطاع عمله فلا دلالة فيه عليه ثم لو دل عليه كان مخصوصا بما سلموه وفي معناه ما منعوه فيتخصص به أيضا بالقياس عليه وما ذكروه من صحيح فإن تعدي الثواب ليس بفرع لتعدي النفع ثم هو باطل بالصوم والدعاء والحج وليس له أصل يعتبر به والله أعلم<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn50" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/PUASOONAM/HARI%20RAYA%20PUASO%20ONAM%20edit.mht#_ftnref50" name="_ftn50">[50]</a> Tidak diragukan bahwa mempererat silaturrahm adalah perbuatan terpuji, seperti kutipan hadits berikut:<br />مصباح الزجاجة ج: 4 ص: 239<br /> 1509 حدثنا سويد بن سعيد ثنا صالح بن موسى عن معاوية بن إسحاق عن عائشة بنت طلحة عن عائشة أم المؤمنين قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أسرع الخير ثوابا البر وصلة الرحم وأسرع الشر عقوبة البغي وقطيعة الرحم 1051 هذا إسناد في صالح بن موسى الصلحي وهو ضعيف وله شاهد من حديث أبي بكرة رواه أبو داود والترمذي <br />سنن ابن ماجه ج: 2 ص: 1408<br /> 23 باب البغي 4211 حدثنا الحسين بن الحسن المروزي أنبأنا عبد الله بن المبارك وابن علية عن عيينة بن عبد الرحمن عن أبيه عن أبي بكرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم ما من ذنب أجدر أن يعجل الله في الدنيا مع ما يدخر له في الآخرة من البغي وقطيعة الرحم 4212 حدثنا سويد بن سعيد ثنا صالح بن موسى عن معاوية بن إسحاق عن عائشة بنت طلحة عن عائشة أم المؤمنين قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم أسرع الخير ثوابا البر وصلة الرحم وأسرع الشر عقوبة البغي وقطيعة الرحم<br />مصنف ابن أبي شيبة ج: 5 ص: 217<br /> 7 ما قالوا في البر وصلة الرحم 25387 حدثنا ابن عيينة عن الزهري عن أبي سلمة بن عبد الرحمن أن عبد الرحمن عاد أبا الرداد فقال خيرهم وأوصلهم أبو محمد يعني ابن عون سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول قال الله أنا الله وأنا الرحمن وهي الرحم شققت لها أعطى من اسمي فمن وصلها وصلته ومن قطها بتته 25388 حدثنا وكيع عن معاوية بن أبي مزرد عن يزيد بن رومان عن عروة عن عائشة قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الرحم معلقة بالعرش تقول ممن وصلني وصله الله ومن قطعني قطعه الله 25389 حدثنا أبو أسامة عن عوف عن بينها بن أوفى عن عبد الله بن سلام قال لما قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة انجفل الناس نحوه فاتيته فلما نظرت إليه عرفت أن وجهه ليس وجه كذاب فكان أول شيء سمعته يقول يا أيها الناس أفشوا السلام وصلوا الأرحام وأطعموا الطعام وصلوا بالليل والناس نيام 25390 حدثنا جرير عن منصور عن عطاء بن أبي مروان عن أبيه عن عكعب قال والذي فلق الحبة والنوى لبني إسرائيل أن في التوراة مكتوب يا ابن آدم اتق ربك وابرر والديك وصل رحمك أمد لك في عمرك وأيسر لك يسرك وأصرف عنك عسرك 25391 حدثنا جرير عن منصور عن أبي إسحاق عن مغراء عن ابن عمر قال من اتفى ربه ووصل رحمه نسىء له في عمره وثرا ماله وأحبه أهله 25392 حدثنا وكيع عن أبي عاصم الثقفي عن محمد بن عبد الله بن قارب قال سمعت عبد الله بن عمرو يقول بلسان له ذلق إن الرحم معلقة بالعرش تنادي بلسان لها ذلق اللهم صل من وصلني واقطع من قطعني 25393 حدثنا عفان قال حدثنا حماد بن سلمة قال أخبرنا قتادة عن أبي ثمامة الثقفي عن عبد الله بن عمرو أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال توضع الرحم يوم القيامة ولها حجنة كحجنة المغزل تكلم بلسان طلق ذلق فتصل من وصلها وتقطع من قطعها 25394 حدثنا يزيد بن هارون عن شعبة عن محمد بن عبد الجبار عن محمد بن كعب القرظي عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الرحم شجنة من الرحمن تجيء يوم القيامة تقول يا رب قطعت يا رب قطعت يا رب أسيء إلي<br />مصنف ابن أبي شيبة ج: 5 ص: 218<br />25395 حدثنا زيد بن الحباب قال حدثنا موسى بن عبيدة قال حدثنا المنذر بن جهم الأسلمي عن نوفل بن مساحق عن أم سلمة قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الرحم شجنة آخذة بحجزة الرحمن تناشد حقها فيقول ألا ترضين أن أصل من وصلك وأقطع من قطعك من وصلك فقد وصلني ومن قطعك فقد قطعني 25396 حدثنا يزيد بن هارون قال حدثنا فطر عن مجاهد عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الرحم معلقة بالعرش وليس المواصل بالمكافىء ولكن الواصل الذي إذا قطعت رحمه وصلها 25397 حدثنا شريك عن سماك عن زوج درة عن درة قالت قلت يا رسول الله من أتقى الناس قال آمرهم بالمعروف وأنهاهم عن المنكر وأوصلهم للرحمAbdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-42048750818523885272008-08-29T08:40:00.000+07:002008-08-29T08:43:50.678+07:00zakatAMIL ZAKAT DALAM PANDANGAN SYARI’AT<br /><br />Upaya Mengoptimalkan Fungsi Zakat di Indonesia<br /><br />Oleh: Abdul Muis Mahmud *)<br /><br /><br />Abstrak<br />Apabila kita memperhatikan kajian Fiqih Islam tentang Pengelolaan Zakat, ternyata para fuqahak mewajibkan pemerintah umat Islam untuk mengangkat dan menugaskan Amil Zakat, yaitu berdasarkan kepada perbuatan Nabi SAW dan para khalifah sepeninggal beliau, yang mengirim (menunjuk dan mengangkat) petugas pemungut/ pengelola zakat…<br />Umat Islam Indonesia sepatutnya bersyukur kepada Allah SWT dimana telah diundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Dan… dengan diundangkan Undang-undang dimaksud, maka diharapkan bahwa; pengelolaan Zakat di Indonesia, akan lebih optimal dan lebih berdaya guna bagi kaum muslimin sesuai dengan aturan Islam itu sendiri.<br /><br />PENDAHULUAN<br /><br />Zakat merupakan amal ibadah yang telah berusia lama, dan termasuk syari’at yang telah diwajibkan Allah SWT kepada umat berlalu; sebelum umat Islam.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> Berdasarkan sejumlah hadits dan laporan para sahabat dan setelah kita membaca sejarah penetapan rukun-rukun Islam yang ada sekarang, maka kita mengetahui bahwa shalat lima waktu adalah rukun pertama yang wajib dijalankan oleh kaum Muslimin, yaitu di Makkah pada malam peristiwa Isra’ sesuai dengan fakta. Kemudian baru puasa yang diwajibkan di Madinah pada tahun 2 H bersamaan dengan zakat fithrah yang merupakan sarana penyucian dosa, dan perbuatan tidak baik bagi yang berpuasa, dan sarana pemberian bantuan kepada orang-orang miskin pada ‘idul fithri. Setelah itu barulah diwajibkan zakat kekayaan (zakat amwal), yaitu zakat yang sudah tertentu nisab dan besarnya, tetapi kita tidak menemukan dalil yang pasti tahun berapa penegasan itu datang. Dalam hadis yang berasal dari Dimam bin Tsa’labah yang datang menemui Rasul pada tahun 5 H dapatlah dipandang sebagai dalil yang lebih kuat bahwa zakat sudah diwajibkan dan dilaksanakan sebelum tahun itu, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Hafiz Ibnu Hajar<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a><br />Selanjutnya, untuk mengoptimalkan fungsi zakat dalam kehidupan kaum muslimin, maka syari’at mewajibkan pemerintah umat Islam untuk menunjuk dan menugaskan pengelola zakat, yang disebut dengan “Amil Zakat”.<br />Alhamdulillah, di Indonesia, Pengelolaan Zakat telah diundangkan melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat… Sungguhpun telah berusia sembilan tahun, namun pengaplikasian Undang-undang tersebut ternyata menghadapi kendala yang signifikan di lapangan.<br />Melalui kertas kerja ini, penulis mencoba untuk menyoroti “Amil Zakat Dalam Pandangan Syari’at”, dan diharapkan akan dapat memberikan masukan positip bagi semua lapisan masyarakat muslim Indonesia, dalam pengelolaan zakat, pada masa-masa mendatang.<br />AMIL ZAKAT<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />Apabila kita menelusuri pelaksanaan zakat pada masa Rasulullah SAW dan para khulafa al rasyidin sepeninggal beliau, maka fakta menunjukkan bahwa pengelolaan zakat adalah di bawah kontrol kepala pemerintahan dengan menunjuk pengurus zakat yang disebut dengan “amil zakat”. Perbuatan Nabi SAW dan para khalifah itulah yang dijadikan oleh para fuqahak (ahli fikih) sebagai dasar hukum yang mewajibkan Imam (kepala pemerintahan) untuk mengirim (menunjuk dan mengangkat) petugas pemungut/ pengelola zakat…, inilah persoalan masyhur dan dikenal luas.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> Di antaranya hadits Abu Hurairah bahwa; “Rasulullah SAW mengutus Umar bin Khattab r.a. untuk memungut zakat…”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a>. Al Bukhari meriwayatkan hadits yang bersumber dari Abu Hamid As Sa’idi, bahwa Rasulullah SAW mempekerjakan seorang laki-laki dari Bani Asad untuk memungut zakat Bani Sulaim, yang bernama Ibnu al Lutbiyyah, maka tatkala dia datang, diapun menghitungnya”,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a> dan banyak hadits-hadits lain tentang bab ini.<br />Jadi, amil zakat, meminjam definisi Sayyid Sabiq dan Abdurrahman Al Jazairi, adalah orang-orang yang ditunjuk oleh imam (kepala negara) atau wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya, termasuk di dalamnya para penjaga zakat, para pengembala ternaknya dan tenaga administrasinya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a><br />Menurut Abu Ishaq dan Imam An Nawawi, (Imam/ kepala pemerintahan wajib mengangkat amil/ petugas pengelola zakat): “Karena ada orang yang memiliki harta kekayaan, tetapi dia tidak mengetahui kewajiban yang dipikulkan kepadanya, dan ada pula yang sudah mengetahui kewajiban, tetapi yang bersangkutan adalah bakhil, maka pemerintah berkewajiban mengutus petugas untuk memungut zakatnya.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a><br /><br />SYARAT-SYARAT AMIL<br /><br />Para ulama mensyaratkan amil atau petugas pengelola zakat sebagai berikut:<br />Pertama: Amil mesti beragama Islam, amil adalah pengurus urusan ummat Islam, seperti pengurus urusan ummat Islam yang lain, yang bersangkutan disyaratkan beragama Islam. Kecuali untuk pekerjaan yang tidak berkaitan langsung dengan “memungut dan pendistribusian zakat”, seperti menjadi satpam dan sopir pada Badan amil zakat.<br />Menurut Ibnu Qudamah, pekerjaan dalam mengelola zakat disyaratkan bersifat amanah, lantaran itu menjadi amil zakat disyaratkan beragama Islam, sama dengan syarat menjadi saksi (harus beragama Islam juga). Amil zakat mengurus urusan kaum muslimin - seperti halnya mengelola urusan kaum muslimin yang lain -, maka orang kafir tidak dibenarkan ikut serta menjadi amil…<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a><br />Kedua: Amil adalah Mukallaf; baligh dan berakal.<br />Ketiga: Amil mestilah orang yang amanah (dipercayai). Karena amil zakat diberi amanah untuk mengurus harta kekayaan kaum muslimin, maka amil zakat tidak boleh diangkat dari kalangan orang fasik atau khianat, misalnya orang yang melakukan korupsi dan manipulasi, atau pelanggaran lainnya.<br />Keempat: Mengetahui hukum zakat.<br />Menurut Al Qardhawi: Para ulama mensyaratkan amil zakat hendaklah mengetahui hukum-hukum zakat. Jika seseorang diserahi suatu tugas, sementara yang bersangkutan jahil (bodoh) dengan tugasnya ini, maka tidaklah mungkin ia akan menjalankan tugas dengan baik; kesalahannya akan lebih banyak dari benarnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a><br />Kelima: Bersedia menerima tugas. Amil hendaklah bersedia menerima tugas, cakap dan sanggup mengemban tugas yang dipikulkan kepadanya. Bersifat amanah saja belumlah cukup kalau tidak dibarengi oleh kemampuan dan kesanggupan untuk bekerja. Firman Allah, yang terjemahannya: “…karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".(Qs. Al Qashash: 26), lantaran demikian Yusuf berkata kepada raja, yang terjemahannya: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (Qs. Yusuf: 55) Pandai menjaga, maksudnya amanah, sedang berpengetahuan maksudnya mempunyai pengetahuan yang memadai.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a><br />Keenam: Tidak dari kalangan keluarga Nabi SAW yakni Bani Hasyim. Mayoritas Ulama mensyaratkan amil zakat tidak boleh dari kalangan keluarga Nabi.<br />Al Fadhal bin Al ‘Abbas dan Al Mutthalib bin Rabi’ah pernah meminta kepada Nabi SAW untuk dipekerjakan memungut zakat. Salah seorang mereka berkata: Wahai Rasulullah, kami datang kepadamu agar engkau perintahkan kepada kami untuk memungut zakat, supaya kami mendapat manfa’at seperti yang diperoleh manusia lain, dan agar kami menunaikan perintahmu seperti ditunaikan manusia lain. Lantas Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Sesungguhnya zakat tidak pantas bagi Muhammad dan tidak pantas bagi keluarga Muhammad, zakat itu hanyalah kotoran (harta) manusia.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a> <br />Bolehkah perempuan menjadi amil zakat?<br />Ketujuh: Sebagian ulama mensyaratkan amil zakat adalah laki-laki. Mereka tidak membolehkan perempuan menjadi pengelola zakat dengan dalil sabda Nabi SAW yang bermaksud: “Suatu kaum sama sekali tidak akan beruntung, bila urusan mereka dikendali-kan oleh perempuan [lan yufliha qaumun wallaw amrahum imraatun].”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a><br />Menurut Al Qardhawi: hadits ini berlaku pada wilayah umum dimana perempuan sebagai penguasa (shahibatul amri wan nuha). Adapun menjadi pegawai seperti pengelola zakat, maka tidak termasuk ke dalam daerah terlarang pada hadits yang mulia ini.<br />Sebagian mereka menjadikan dalil bahwa perempuan tidak pernah dicatat menjadi petugas pengelola zakat, yang menunjukkan bahwa perempuan tidak boleh menjadi amil zakat. Hal ini, menurut Al Qardhawi, tidak dapat dijadikan dalil/ hujjah. Karena situasi dan kondisi perempuan di bidang ekonomi dan sosial pada masa lampau tidak memungkinkan mereka menerima pekerjaan ini. Jadi di sini orang meninggalkan amalan yang tidak ada dalil pengharamannya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a><br />Yang lain berpendapat: Zahir ayat menunjukkan “wal ‘aamiliina ‘alaiha” (At Taubah: 60) tersebut tidak mencakup perempuan, karena “al ‘aamiliin” adalah jamak muzakkar (maskulin) (lihat: Syarah Ghayah al Muntaha: II/ 137). Jika asumsi ini diterima kebenarannya, maka kaum perempuan tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan “fuqarak”, “gharimin”, dan “ibnu sabil”, karena semua kata-kata ini adalah berbentuk muzakkar (maskulin). Pandangan seperti itu adalah berlawanan dengan ijmak, karena kaum perempuan dalam hal tadi adalah disamakan dengan laki-laki, meskipun dialog dan ungkapan kata (dalam ayat itu) adalah berbentuk muzakkar. Tegasnya, tidak ada dalil khusus yang melarang perempuan bekerja sebagai pengelola zakat. Sungguhpun begitu ada kaedah umum yang mengharuskan perempuan bersikap malu, dan menjauhkan diri daripadanya, yaitu; kewajiban untuk menjauhkan diri dari berdesak-desakan, bersaing dan bercampur baur dengan laki-laki tanpa hajat (keperluan yang memaksa), kaedah itulah yang menjadikan laki-laki lebih pantas dari perempuan menerima pekerjaan (amil zakat) ini. Kecuali pada batas tertentu, seperti kaum perempuan dipekerjakan untuk mendistribusikan zakat kepada perempuan-perempuan janda dan perempuan renta, dan sebagainya, dimana perempuan dinilai lebih mampu dan lebih bermanfa’at dari laki-laki, atau sekurang-kurangnya, lebih memadai, itulah bidang pekerjaan yang sesuai dengan kudrat perempuan yang dibenarkan syari’at.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a><br />Kedelapan: Di antara ulama mensyaratkan amil zakat hendaklah orang merdeka, tidak boleh hamba sahaya. Pendapat ini ditolak oleh ulama lain dengan hadits riwayat Ahmad dan Al Bukhari, bahwa Rasulullah SAW bersabda, yang bermaksud: “… dan hendaklah kamu mendengar dan menta’ati, dan meskipun untukmu bekerja seorang budak habsyi yang kepalanya seolah-olah kismis/ anggur kering [wasma’uu wa athii’uu wa in ista’mala ‘alaikum ‘abdun habasyiyyun ka anna raksahu zabiibatun]” dengan demikian budak disamakan dengan orang merdeka <a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a><br /><br />AMIL ZAKAT DI INDONESIA<br /><br />Dalam perjalanan sejarah yang panjang, perkembangan Islam telah merambah ke segenap penjuru dunia, termasuk ke nusantara yang diperkirakan masuk pada abad pertama hijrah (abad 7 a 8 Masehi) langsung dari tanah Arab. Demikian menurut Hasil Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di kota Medan pada 17-20 Maret 1963;<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a> Namun, dalam rentang waktu yang sedemikian rupa, ternyata pengelolaan zakat di Indonesia belum berjalan menurut semestinya. Zakat ditunaikan oleh orang perorang tanpa pengelolaan yang baik, sehingga zakat tidak membawa manfa’at yang signifikan dan berdayaguna bagi kehidupan sosial kaum muslimin. Pada hal zakat adalah salah satu rukun Islam yang seringkali diperikutkan dengan kata shalat di dalam Al Quran, kurang lebih pada 82 ayat<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a> … Kajian zakat hanya terbatas pada kajian ilmiah dan menghiasi literatur-literatur perpustakaan yang hanya dapat dicerna oleh kaum akademisi dan kalangan ulama tertentu…<br />Meskipun kita mendengar istilah “amil zakat” diucapkan masyarakat, namun istilah ini mengandung pengertian yang kurang tepat, karena biasanya dipergunakan untuk sebutan panitia pengumpul zakat fithrah pada akhir bulan Ramadhan, yang sifatnya insidentil. Panitia insidentil ini hanya bersifat swadaya, bukan permanent seperti yang dikendaki oleh ketentuan syari’at.<br />Secara yuridis formal pengelolaan zakat di Indonesia mulai diundangkan melalui “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat” dan “Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat”. Sedangkan tujuan dari undang-undang tersebut dituangkan pada Pasal 5 Pengelolaan zakat bertujuan: 1. meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama; 2. meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial; 3. meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat...<br />Meskipun Undang-undang itu telah berusia sembilan tahun, namun pengaplikasian di lapangan ternyata mengalami berbagai hambatan yang cukup memprihatinkan.<br />Di antara hambatan tersebut adalah:<br />1. Kurangnya perhatian dan sosialisasi Undang-undang Zakat kepada masyarakat luas oleh pihak pemerintah; terutama dalam penyediaan dana dan sumber daya manusia yang komprehenship.<br />2. Imej masyarakat yang terlanjut keliru dalam memahami pentingnya pengelolaan zakat melalui amil.<br />3. Kurangnya tenaga Pengelola Zakat yang propesional dan dipercayai masyarakat.<br /><br />KESIMPULAN DAN SARAN<br /><br />Setelah kita melihat posisi amil zakat, atau badan pengelola zakat dalam pandangan syari’at Islam, yang menurut para ulama fikih, wajib diwujudkan oleh pemerintah, maka sudah pada tempatnya seluruh kaum muslimin di Indonesia berpartisipasi aktif mensosialisasikan penerapan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 dimaksud. Dan kelemahan-kelemahan yang ada pada undang-undang tersebut agar disempurnakan lagi pada masa-masa mendatang.<br />Kita menyadari bahwa kendala terbesar dalam mewujudkan badan pengelola zakat yang komprehensip di Indonesia adalah imej masyarakat yang terlanjur keliru yang menganggap amil zakat sebagai hal yang tidak penting dalam syari’at, di samping faktor-faktor lain, tentunya, seperti gangguan atas kepentingan pribadi tertentu. Semua tantangan tersebut, Insya Allah akan dapat kita atasi, bila kita (dengan niat yang ikhlash mengharap-kan ridha Allah) saling bekerja sama. Pemerintah memperlihatkan keseriusannya, dan seluruh ulama, para ustaz dan muballigh, para pendidik dan para tokoh masyarakat muslim, berperan serta memberikan penerangan yang benar kepada masyarakat.…<br />Kemudian, kita menumbuhkan tenaga pengelola zakat yang propesional, yang amanah dan dipercayai ummat… karena sesungguhnya banyak sekali amal ibadah sosial dalam Islam berantakan, karena orang yang diberi tanggung jawab mengelolanya, ternyata kurang terjamin keamanahannya. Atau ada yang dinilai amanah tetapi tidak memiliki ilmu memadai sehingga jauh dari profesionalisme. Inilah yang tersimpul dalam terjemahan maksud sabda Rasulullah SAW ketika ada orang bertanya: “Wahai Rasulullah kapankah kiamat itu? Beliau menanggapi: “Bila amanat sudah hilang, maka tunggulah saat kehancurannya.” Orang bertanya: “Bagaimana menghilangkannya?” Nabi bersabda: “Bila sesuatu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a><br />Akhirnya, “bila kamu bertekad akan melakukan suatu pekerjaan, maka bertawakkalah kamu kepada Allah” (Terjemahan, Qs. Ali Imran: 159). Semoga saja Badan Amil Zakat yang telah terbentuk memenuhi kriteria yang kita butuhkan, dan semoga Allah SWT meridhai kita semua. Amin! . Wallaahu a’lamu bis shawab.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. Al Quranul Karim<br />2. Abu Ja’far, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Al Thabary (224-310H), “Tafsir al Thabary”, 1405 H, Beirut: Daar al Fikr.<br />3. Al Qurthuby, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar “Tafsir Al Qurthuby”, 1372 H, cetakan II, muhaqqiq: Ahmad Abdul ‘Alim Al Burduny Al Qahirah: Dar as-Sya’b.<br />4. Ad Dimasqy, Ismail bin Umar bin Katsir, “Tafsir Ibnu Katsir”, 1401 H, t.th. Beirut: Dar al-Fikr.<br />5. Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah, “Shaheh Al Bukhari”, 1987 M/ 1407H, cetakan III, editor: Dr. Mushtafa Dif al Bagha, Beirut: Dar Ibnu Katsir, al Yamamah.<br />6. An Naisabury, Muslim bin Al Hajjaj Abul Husain Al Qusyairy, “Shaheh Muslim”, t.th. editor: Muhammad Fuad Abdul Baqy, Beirut: Dar Ihyaai Turats al ‘Araby.<br />7. Al Busty, Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim At Tamimy, “Shaheh Ibnu Hibban bi Tartib Ibni Balban”, 1414 H 1993 M, Beirut: Muassasah al Risalah.<br />8. Abu Muhammad, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Muqaddisy, “Al Mughny fi Fiqh al Imam Ahmad bin Hanbal al Syaibany”, cet: I 1405H, Beirut: Daar al Fikr.<br />9. Abdullah bin Ali bin Al Jarud Abu Muhammad An Naisabury, “Al Muntaqa li Ibnil Jarud” 1408 H 1988M, cet: I, Muassasah Al Kitab al Tsaqafiyah, Beirut.<br />10. DR. Yusuf al Qaradlawy\فقه الزكاة\HTM.<br />11. Abdurrahman Al Jazairi, “Al Fiqh Ala al Madzahib al Arba’ah”, (t.t) Daar al Fikr, Beirut.<br />12. Sayyid Sabiq, “Fiqh Al Sunnah”, 1403H 1983M, cet. IV, Daar al Fikr, Beirut.<br />13. H. Saifuddin Zuhri “Sejarah Kebangkitan Islam Dan Perkembangannya di Indonesia”, 1981 cet.III, PT. AlMa’arif, Bandung.<br />14. Elias. A. Elias, “Qaamus Al Ashry/ Elias Modern Dictionary, Arabic – English”, 1979 H, edisi XII, Kairo: Syirkah Daarul Elias al Ashriyyah.<br />15. Poerwadarminta, W.J.S, “Kamus Lengkap; Inggris - Indonesia, Indonesia – Inggris”, 1982 M, cetakan 2, Bandung: Hasta.<br />16. Yunus, Mahmud “Kamus Arab – Indonesia”, 1990 M/ 1411 H, cetakan VIII, Jakarta: PT. Hidakarya Agung.<br />17. <a href="http://www.gotquestions.org/Indonesia/Kristen-perpuluhan.htm">http://www.gotquestions.org/Indonesia/Kristen-perpuluhan.htm</a><br />18. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.<br /><br />*)Penulis, adalah Ketua Forum Cendikiawan Muslim (FCM) Pasaman Barat, dan anggota MUI Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar. Naskah ini dipersiapkan sebagai bahan Muzakarah MUI Propinsi Sumatera Barat dengan MUI Kabupaten/ Kota se-Sumatera Barat tanggal 9 s.d. 11 Mei 2008 di Simpang Empat Pasaman Barat (Telah disampaikan pada hari Sabtu 10 Mei 2008)<br />Hp. 085668938650, Email: <a href="mailto:muismahmud@gmail.com">muismahmud@gmail.com</a><br /><br />No. Account:<br />Abdul Muis<br />Bank Nagari Cabang Ujung Gading<br />No.Rek. 1500.0210.04695-4 <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Di dalam Bibel diterangkan tentang istilah Perpuluhan:<br />Perpuluhan adalah konsep Perjanjian Lama. Perpuluhan adalah peraturan Hukum Taurat di mana setiap orang Israel memberi 10% dari segala yang mereka peroleh untuk Tabernakel/Bait Suci (Imamat 27:30; Bilangan 18:26; Ulangan 14:24; 2 Tawarikh 31:5). Sebagian orang menganggap perpuluhan dalam Perjanjian Lama sebagai pajak untuk mencukupi kebutuhan dari para imam dan orang-orang Lewi dalam sistim korban. Dalam Perjanjian Baru tidak ada perintah atau rekomendasi untuk orang-orang Kristen tunduk kepada sistim perpuluhan yang legalistik. Paulus menyatakan bahwa orang-orang percaya sepatutnya menyisihkan sebagian dari penghasilan mereka untuk mendukung gereja (1 Korintus 16:1-2).<br />Perjanjian Baru tidak menentukan persentase penghasilan yang harus disisihkan tapi hanya mengatakan, “sesuai dengan apa yang kamu peroleh” (1 Korintus 16:2). Gereja Kristen mengambil angka 10% dari Perjanjian Lama dan menerapkannya pada “rekomendasi minimum” untuk orang Kristen dalam memberi persembahan. Namun demikian orang Kristen tidak perlu merasa wajib untuk selalu memberi perpuluhan. Orang Kristen sepatutnya memberi sesuai dengan apa yang mereka mampu, “sesuai dengan apa yang kamu peroleh.” Kadang-kadang ini berarti memberi lebih dari perpuluhan, kadang-kadang kurang dari perpuluhan. Setiap orang Kristen perlu berdoa dengan sungguh-sungguh dan meminta hikmat dari Tuhan mengenai memberi atau tidak memberi perpuluhan dan/atau berapa banyak yang dia berikan (Yakobus 1:5). Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita (2 Korintus 9:7).<br />( http://www.gotquestions.org/Indonesia/Kristen-perpuluhan.html )<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> DR. Yusuf al Qaradlawy\فقه الزكاة\ PART1\CHAP1-B.HTM<br />جاءت السنة ببيان الأموال التي تجب فيها الزكاة، ونصاب كل منها، ومقدار الواجب فيها، وفصلت القول في الأشخاص والجهات التي تصرف لها وفيها الزكاة، وهي المذكورة في آية: (إنما الصدقات...) (التوبة:60)، وسنفصل القول في ذلك كله فيما بعد - ولكن الذي يهمنا معرفته هنا هو تاريخ فرض هذه الزكاة ذات النصب والمقادير المحددة.<br />فقد عرفنا أن الزكاة المطلقة غير المقدرة فرضت في مكة، كما اخترناه ورجحه كثير من الأمة، وكما دلت عليه آيات القرآن وأحاديث الرسول. وعرفنا أن القرآن المدني أكد وجوب الزكاة، وفصل بعض أحكامها، وأن السنة هي التي تولت تفصيل ما أجمله القرآن، وبينت النصب والمقادير والحدود، فمتى وقع هذا التحديد في العهد المدني؟ أو بعبارة أخرى: في أي سنة بعد الهجرة وقع فرض الزكاة المحدودة؟.<br />المشهور المتعالم: أنها فرضت في السنة الثانية من الهجرة، قيل: قبل فرض رمضان، وإليه أشار النووى في باب "السير" في الروضة.<br /><br />ويعكر عليه ما ثبت عند أحمد وابن خزيمة والنسائي وابن ماجة والحاكم من حديث قيس بن سعد بن عبادة قال: "أمرنا رسول الله - صلى الله عليه وسلم - بصدقة الفطر قبل أن تنزل الزكاة ثم نزلت فريضة الزكاة" (الحديث).<br />قال الحافظ: إسناده صحيح. وهو دال على أن فرض صدقة الفطر كان قبل فرض الزكاة، فيقتضي وقوعها بعد فرض رمضان. وقد اتفقوا على أن صيام رمضان إنما فرص بعد الهجرة، لأن الآية الدالة على فرضيته مدنية بلا خلاف (فتح الباري: 3/171).<br />وجزم ابن الأثير في تاريخه: أن فرض الزكاة كان في السنة التاسعة من الهجرة، وقوى بعضهم ما ذهب إليه بما وقع في قصة ثعلبة بن حاطب المطولة ففيها: "لما نزلت آية الصدقة بعث النبي - صلى الله عليه وسلم - عاملاً يأخذها منه. فقال: ما هذه إلا جزية، وأخت الجزية".. والجزية إنما وجبت في التاسعة، فتكون الزكاة في التاسعة.<br />قال في الفتح: ولكن الحديث ضعيف لا يحتج به (بل قال في تخريج الكشاف ص77: ضعيف جدًا).<br />واستدل الحافظ على أن فرض الزكاة كان قبل التاسعة بحديث أنس في قصة ضمام بن ثعلبة (في الصحيحين) الذي جاء يسأل النبي - صلى الله عليه وسلم - وينشده الله أن بصدقة الجواب في عدة أمور كان منها: أنشدك الله، الله أمرك أن تأخذ هذه الصدقة من أغنيائنا فتقسمها على فقرائنا؟ قال "نعم". وكان قدوم ضمام سنة خمس. وإنما الذي وقع في التاسعة بعث العمال لأخذ الصدقات، وذلك يستدعى تقدم فرضية الزكاة قبل ذلك (فتح الباري - المرجع السابق). على أن آية: (إنما الصدقات).التي رد الله بها على الطامعين الذين إذا أعطوا منها رضوا، وإن لم يعطوا منها إذا هم يسخطون، وهم المنافقون الذين طعنوا في قسمة النبي - صلى الله عليه وسلم - للصدقات - هذه الآية تدل على أن الزكاة كانت قائمة ومنفذة فعلاً، وأن الرسول - صلى الله عليه وسلم - كان يتولى أمرها وتوزيعها، وذلك قبل نزول هذه الآية بلا ريب.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Tentang keberadaan amil zakat, secara gamblang diungkapkan pada surat At Taubah ayat 60:<br />* $yJ¯RÎ) àM»s%y‰¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% †Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏBÌ»tóø9$#ur †Îûur È@‹Î6y™ «!$# Èûøó$#ur È@‹Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒO‹Å6ym ÇÏÉÈ <br />Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.<br />Di dalam hadits Nabi, misalnya kita temukan:<br />عن ابن عباس رضي الله عنهما ثم أن النبي صلى الله عليه وسلم بَعَثَ مُعَاذًا رضي الله عنه إِلَى اليَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنِّي رَسُولَ اللهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ<br />Bersumber dari Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa sesungguhnya Nabi SAW telah mengutus Mu’az r.a. ke Yaman, lantas beliau bersabda: “Serulah mereka kepada syahadat bahwa tidak ada yang berhak diibadati dengan sebenarnya melainkan Allah, dan bahwa sesungguhnya aku adalah Rasul Allah. Jika mereka menta’atimu terhadap itu, maka ajarkanlah kepada mereka, bahwa Allah telah memfardhukan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka menta’atimu terhadap itu, maka ajarkanlah kepada mereka, bahwa Allah telah memfardhukan sedekah (zakat) dalam harta kekayaan mereka yang dikutip dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir miskin mereka.” (Shaheh Al-Bukhari juz II, halaman 505, NH. 1331, Muslim meriwayatkan dengan versi yang lain, Shaheh Muslim Juz I, halaman 50, NH. 19)<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Qaradlawy/فقه الزكاة / PART2/ CHAP4/ CHAP4P3.HTM#واجب الحكومة إرسال الجباة<br />ومن هنا نص الفقهاء: أنه يجب على الإمام أن يبعث السعاة لأخذ الزكاة، لأن النبي -صلى الله عليه وسلم- والخلفاء من بعده كانوا يبعثون السعاة، وهذا أمر مشهور مستفيض. ومن ذلك حديث أبى هريرة في الصحيحين أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- (بعث عمر بن الخطاب -رضى الله عنه- على الصدقة). وفيهما عن سهل بن سعد: أنه -عليه الصلاة والسلام- "استعمل ابن اللتبية على الصدقات" والأحاديث في هذا الباب كثيرة. ولأن في الناس من يملك المال ولا يعرف ما يجب عليه، ومنهم من يعرف ويبخل فوجب أن يبعث من يأخذ (المجموع للنووي: 6/167).<br />ويبعث الإمام أو نائبه عمال الزكاة للزروع والثمار -وهى ما لا يتعلق بالحول- وقت وجوبها، وهو إدراكها، بحيث يصلهم وقت الجذاذ والحصاد. وأما المواشي وغيرها من الأموال التي يعتبر فيها الحول، فينبغي للساعي أن يعين شهرًا يأتيهم فيه، ويستحب أن يكون ذلك الشهر هو المحرم، صيفًا كان أو شتاء، لأنه أول السنة الشرعية (المصدر نفسه ص 170).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Muslim/II/ 676/ HN. 983<br />صحيح مسلم ج: 2 ص: 676<br /> باب في تقديم الزكاة ومنعها 983 وحدثني زهير بن حرب حدثنا علي بن حفص حدثنا ورقاء عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة قال ثم بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم عمر على الصدقة فقيل منع بن جميل وخالد بن الوليد والعباس عم رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما ينقم بن جميل إلا أنه كان فقيرا فأغناه الله وأما خالد فإنكم تظلمون خالدا قد احتبس أدراعه وأعتاده في سبيل الله وأما العباس فهي علي ومثلها معها ثم قال يا عمر أما شعرت أن عم الرجل صنو أبيه<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Al Bukhari/ II/ 546/ NH 1429<br />صحيح البخاري ج: 2 ص: 546<br /> 66 باب قول الله تعالى والعاملين عليها ومحاسبة المصدقين مع الإمام 1429 حدثنا يوسف بن موسى حدثنا أبو أسامة أخبرنا هشام بن عروة عن أبيه عن أبي حميد الساعدي رضي الله عنه قال ثم استعمل رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا من الأسد على صدقات بني سليم يدعى بن اللتبية فلما جاء حاسبه<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Sayyid Sabiq/ Fiqh al Sunnah/ I/ 327.<br />Abdurrahman Al Jazairi, “Al Fiqh Ala al Madzahib al Arba’ah”, Daar al Fikr, Beirut (tt), Juz I halaman 987:<br />الفقه على المذاهب الأربعة [ جزء 1 - صفحة 987 ] <br />و " العامل على الزكاة " هو من له دخل في جميع الزكاة : كالساعي والحافظ والكاتب وإنما يأخذ العامل منها إذا فرقها الإمام ولم يكن له أجرة مقدرة من قبله فيعطى بقدر أجر مثله<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Ibrahim bin Ali bin Yusuf As Syairazy Abu Ishaq “Al Muhazzab” Daar al Fikr, Beirut juz I halaman 168:<br />المهذب ج: 1 ص: 168<br />فصل في بعث السعاة للصدقة ويجب على الإمام أن يبعث السعاة لاخذ الصدقة لان النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء من بعده كانوا يبعثون السعاة ولان في الناس من يملك المال ولا يعرف ما يجب عليه وفيهم من يبخل فوجب أن يبعث من يأخذ<br />An Nawawi, Abu Zakarya Muhyiddin (w. 676), “Al Majmu’ Syarhil Muhazzab”, 1417-1996, Beirut: Daarul Fikr. Juz VI, halaman 150.<br />المجموع ج: 6 ص: 150<br />قال المصنف رحمه الله تعالى ويجب على الإمام أن يبعث السعاة لأخذ الصدقة، لأن النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء من بعده «كانوا يبعثون السعاة» ولأن في الناس من يملك المال ولا يعرف ما يجب عليه، ومنهم من يبخل، فوجب أن يبعث من يأخذ<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Muqaadisi Abu Muhammad (541 H- 620H), “Al Mughny” 1405 cet. I, Daar Al Fikr, Beirut, juz II, halaman 273<br />المغني ج: 2 ص: 273<br /> مسألة قال إلا أن يكونوا من العاملين عليها فيعطون بحق ما عملوا وجملته أنه يجوز للعامل أن يأخذ عمالته من الزكاة سواء كان حرا أو عبدا وظاهر كلام الخرقي أنه يجوز أن يكون كافرا وهذه إحدى الروايتين عن أحمد لأن الله تعالى قال والعاملين عليها التوبة 60 وهذا لفظ عام يدخل فيه كل عامل على أي صفة كان ولأن ما يأخذ على العمالة أجرة عمله فلم يمنع من أخذه كسائر الإجارات والرواية الأخرى لا يجوز أن يكون العامل كافرا لأن من شرط العامل أن يكون أمينا والكفر ينافي الأمانة ويجوز أن يكون غنيا وذا قرابة لرب المال وقوله بحق ما عملوا يعني يعطيهم بقدر أجرتهم والإمام مخير إذا بعث املا إن شاء استأجره إجارة صحيحة ويدفع إليه ما سمي له وإن شاء بعثه بغير إجارة ويدفع إليه أجر مثله وهذا كان المعروف على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فإنه لم يبلغنا أنه قاطع أحدا من العمال على أجر وقد روى أبو داود بإسناده عن ابن الساعدي قال استعملني عمر على الصدقة فلما فرغت منها وأديتها إليه أمر لي بعمالة فقلت إنما عملت لله وأجري على الله قال خذ ما أعطيت فإني قد عملت على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فعملني فقلت مثل قولك فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أعطيت شيئا أن تسأله فكل وتصدق فصل ويعطى منها أجر الحاسب والكاتب والحاشد والخازن والحافظ والراعي ونحوهم فكلهم معدودون من العاملين عليها ويدفع إليهم من حصة العاملين عليها فأما أجر الوزان والكيال ليقبض الساعي الزكاة فعلى رب المال لأنه من مؤونة دفع الزكاة <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Qaradlawy/ فقه الزكاة/PART2/ CHAP4/ CHAP4P3.HTM#شروط العاملين في الزكاة<br />العلم بأحكام الزكاة:<br />واشترطوا أيضًا أن يكون عالمًا بأحكام الزكاة، إن كان ممن يفوض إليه عموم الأمر؛ لأنه إذا كان جاهلاً بذلك، لم تكن له كفاية لعمله وكان خطؤه أكثر من صوابه (انظر المجموع للنووي: 6/167 وشرح غاية المنتهى: 2/137).لأنه يحتاج إلى معرفة ما يؤخذ وما لا يؤخذ، ويحتاج إلى الاجتهاد الجزئي فيما يعرض من مسائل الزكاة وأحكامها.وأما إذا كان عمله جزئيًا محددًا بدائرة معينة مهمته أن ينفذها فلا يشترط علمه إلا بما كلف به.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Ibid.<br />الكفاية للعمل:<br />أن يكون كافيًا لعمله، أهلاً للقيام به، قادرًا على أعبائه. فإن الأمانة وحدها لا تكفى ما لم يصحبها القوة على العمل والكفاية فيه: (إن خير من استأجرت القوى الأمين) (القصص: 26). ولذا قال يوسف -عليه السلام- للملك: (اجعلني على خزائن الأرض، إني حفيظ عليم) (يوسف: 55). فالحفظ يعنى الأمانة، والعلم يعنى الكفاية والخبرة. وهما أساس كل عمل ناجح.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> نيل الأوطار ج: 4 ص: 231<br />وعن المطلب بن ربيعة بن الحرث بن عبد المطلب أنه والفضل بن عباس انطلقا إلى رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال ثم تكلم أحدنا فقال يا رسول الله جئناك لتؤمرنا على هذه الصدقات فنصيب ما يصيب الناس من المنفعة ونؤدي إليك ما يؤدي الناس فقال إن الصدقة لا تنبغي لمحمد ولا لآل محمد إنما هي أوساخ الناس مختصر حصول ومسلم وفي لفظ لهما لا تحل لمحمد ولا لآل محمد قوله أوساخ الناس هذا بيان لعلة التحريم والإرشاد إلى تنزه الآل عن أكل الأوساخ وإنما سميت أوساخا لأنها تطهرة لأموال الناس ونفوسهم كما قال تعالى تطهرهم وتزكيهم بها التوبة 301 فذلك من التشبيه وفيه إشارة إلى أن المحرم على الآل إنما هو الصدقة الواجبة التي يحصل بها تطهير المال وأما صدقة التطوع فنقل الخطابي وغيره الإجماع على على النبي صلى الله عليه وآله وسلم وللشافعي قول إنها تحل وتحل للآل على قول الأكثر وللشافعي قول بالتحريم وسيأتي الكلام في تحريم الصدقة الواجبة على بني هاشم وظاهر هذا الحديث أنها لا تحل لهم ولو كان أخذهم لها من باب العمالة وإليه ذهب الجمهور وقال أبو حنيفة والناصر العمالة معاوضة بمنفعة والمنافع مال فهي كما لو اشتراها بماله وهذا قياس فاسد الاعتبار لمصادمته للنص<br />المنتقى لابن الجارود ج: 1 ص: 280<br />1113 حدثنا محمد بن يحيى قال ثنا يعقوب بن إبراهيم بن سعد قال ثنا أبي عن صالح عن بن شهاب عن عبد الله بن عبد الله بن الحارث بن نوفل بن الحارث بن عبد المطلب أنه أخبره عبد المطلب بن ربيعة بن الحارث بن عبد المطلب أخبره أنه اجتمع ربيعة بن الحارث والعباس بن عبد المطلب فقالا ثم والله لو بعثنا هذين الغلامين لي وللفضل بن العباس إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمرهما على هذه الصدقات فذكر بعض الحديث قال فكلمناه فقلنا يا رسول الله جئناك لتؤمرنا على هذه الصدقات فقال ألاإن الصدقة لا تنبغي لمحمد ولا لآل محمد إنما هي أوساخ الناس ادع لي محمية بن الجزء وكان على العشور وأبا سفيان بن الحارث فأتياه فقال لمحمية أنكح هذا الغلام ابنتك للفضل فأنكحه وقال لأبي سفيان أنكح هذا الغلام ابنتك فأنكحه ثم قال لمحمية أصدق عنهما من الخمس<br />صحيح ابن حبان ج: 10 ص: 385<br />أنه اجتمع ربيعة بن الحارث وعباس بن عبد المطلب فقالا ثم والله لو بعثنا هذين الغلامين قال لي وللفضل بن العباس إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمرهما على هذه الصدقات فأديا ما يؤدي الناس وأصابا ما يصيب الناس من المنفعة قال فبينما هما في ذلك جاء علي بن أبي طالب فقال ماذا تريدان فأخبراه بالذي أرادا فقال لا تفعلا فوالله ما هو بفاعل فقالا لم تصنع هذا فما هذا منك إلا نفاسة علينا فوالله لقد صحبت رسول الله صلى الله عليه وسلم ونلت صهره فما نفسنا ذلك عليك فقال أنا أبو حسن أرسلوهما ثم اضطجع فلما صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الظهر سبقناه إلى الحجرة فقمنا عندها حتى مر بنا صلى الله عليه وسلم فأخذ بآذاننا وقال اخرجا ما تصرران ودخل فدخلنا معه وهو يومئذ في بيت زينب بنت جحش قال فكلمناه فقلنا يا رسول الله جئناك لتؤمرنا على هذه الصدقات فنصيب ما يصيب الناس من المنفعة ونؤدي إليك ما يؤدي الناس قال فسكت رسول الله صلى الله عليه وسلم ورفع رأسه إلى سقف البيت حتى اردنا أن نكلمه قال فأشارت إلينا زينب من وراء حجابها كأنها تنهانا عن كلامه ثم اقبل فقال ألا إن الصدقة لا تنبغي لمحمد ولا لآل محمد إنما هي اوساخ الناس ادع لي محمية بن جزء وكان على العشور وأبا سفيان بن الحرث قال فأتيا فقال لمحمية أنكح هذا الغلام ابنتك للفضل فأنكحه وقال لأبي سفيان أنكح هذا الغلام ابنتك قال فأنكحني ثم قال لمحمية اصدق عنهما من الخمس<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Shaheh Al Bukhari/ IV/ 1610.<br />صحيح البخاري ج: 4 ص: 1610<br /> 4163 حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم أيام الجمل بعد ما كدت أن ألحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم أن أهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Qardhawi, op.cit<br />واشترط بعضهم أن يكون العامل ذكرًا، ولم يجوزوا اشتغال المرأة بالعمالة، لأنها ولاية على الصدقات، ولا دليل على ذلك إلا أن يحتجوا بقوله -صلى الله عليه وسلم-: (لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة) (رواه البخاري في كتاب "الفتن والمغازي" من صحيحه من حديث الحسن البصري عن أبى بكرة).<br />ولكن هذا إنما يكون في الولاية العامة التي تكون فيها المرأة صاحبة الأمر والنهى. أما الوظائف -ومنها العمالة على الزكاة- فلا تدخل في دائرة هذا الحديث الشريف.<br />ومنهم من استدل بأنه لم ينقل أن امرأة وليت عمالة زكاة البتة، وتركهم ذلك قديمًا وحديثًا يدل على عدم جوازه.وهذا ليس بدليل، فقد كانت ظروف المرأة الاقتصادية والاجتماعية في تلك العهود لا تؤهلها لمثل هذا العمل. وترك الناس عملاً ما لا يدل على حرمته.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> Ibid<br />وبعضهم قال: إن ظاهر قوله تعالى: (والعاملين عليها) (التوبة: 60). لا يشملها، لأن "العاملين" جمع للذكور (انظر: شرح غاية المنتهى: 2/137). ولو صح ذلك لامتنع إدخال المرأة في الفقراء والغارمين وابن السبيل؛ لأنها جميعًا للذكور. وهذا خلاف للإجماع، لأن المرأة تبع للرجل في ذلك كله، وإن كان الخطاب أو الصيغة للمذكر. والحق أنه ليس في المسألة دليل خاص يمنع المرأة من الاشتغال بالعمالة على الزكاة. ولكن القواعد العامة التي توجب على المرأة الاحتشام والبعد عن مزاحمة الرجال والاختلاط بهم لغير حاجة، يجعل الرجل أولى بهذا العمل من المرأة. إلا في نطاق محدود، كأن تستخدم المرأة لإيصال الزكاة إلى الأرامل والعاجزات من النساء ونحو ذلك، مما تكون المرأة فيه أقدر وأنفع من الرجل، أو على الأقل مثله في الكفاية له، وهو أمر يقدر بقدره، ولا يضيق به الشرع الرحيب.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> Ibid<br />واشترط بعضهم أن يكون حرًا لا عبدًا، ورد ذلك غيرهم بما رواه أحمد والبخاري أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال: (… واسمعوا وأطيعوا وإن استعمل عليكم عبد حبشي كأن رأسه زبيبة). ولأنه يحصل منه المقصود فأشبه الحر (المصدر السابق ص 138).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> H. Saifuddin Zuhri/ Sejarah Kebangkitan Islam Dan Perkembangannya di Indonesia/ 175-176<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Fiqh al Sunnah, Op.cit/ 276<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="mhtml:file://D:/Dari%20DRIVE%20C/ARTIKELBARU/AMIL%20DAN%20PERANANNYA%20muzakarah.mht#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a> Al Bukhari/ I/ 33/ HN. 59.<br />صحيح البخاري ج: 1 ص: 33<br /> 59 حدثنا محمد بن سنان قال حدثنا فليح ح وحدثني إبراهيم بن المنذر قال حدثنا محمد بن فليح قال حدثني أبي قال حدثني هلال بن علي عن عطاء بن يسار عن أبي هريرة قال ثم بينما النبي صلى الله عليه وسلم في مجلس يحدث القوم جاءه أعرابي فقال متى الساعة فمضى رسول الله صلى الله عليه وسلم يحدث فقال بعض القوم سمع ما قال فكره ما قال وقال بعضهم بل لم يسمع حتى إذا قضى حديثه قال السائل عن الساعة قال ها أنا يا رسول الله قال فإذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة قال كيف إضاعتها قال إذا وسد الأمر أهله فانتظر الساعةAbdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-20901574335294199602008-08-28T05:48:00.001+07:002011-04-29T11:32:49.491+07:00silaturrahim<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div align="center">SILATURRAHIM DAN PENYAKIT KEKUASAAN<br />
<br />
<br />
Oleh: Abdul Muis Mahmud*)<br />
<br />
<span style="font-family: "verdana"; font-size: 78%;">ada dua penyakit kekuasaan seperti virus yang akan menggerogoti kehidupan kita,<br />
menghancurkan sistem syaraf, otak dan urat nadi kemanusiaan kita. Pertama: Bila berkuasa cenderung berbuat kerusakan. Kedua: Bila berkuasa senang memutuskan hubungan rahim….<br />
</span></div><div align="justify"><br />
<b>Silaturrahim</b></div><div align="justify"><br />
Menurut suatu riwayat yang bersumber dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda, yang bermaksud:</div><div align="justify"><br />
“Sesungguhnya Allah SWT menciptakan makhluk, setelah selesai penciptaannya, maka rahim berdiri dan berkata: Inikah tempat berdiri orang yang berlindung kepadaMu dari memutuskan (rahim)?</div><div align="justify">Allah berfirman: “Benar! Apakah engkau senang Aku berhubungan dengan orang yang menghubungkanmu dan Aku putuskan (hubungan dengan) orang yang memutuskanmu?”</div><div align="justify">Rahim berkata: “Senang, wahai Tuhanku!”</div><div align="justify">Kemudian, Rasulullah SAW bersabda: <em>Bacalah olehmu [Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?</em> Terjemahan Qs. Muhammad: 22] (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari Juz V, halaman 2232, No. 5641, Muslim, Juz IV, halaman 1980, No. 1981)<br />
<br />
Hadits di atas dijadikan oleh para ulama sebagai dasar hukum; wajib memelihara silaturrahim dan haram memutuskannya.</div><div align="justify"><br />
<strong>Lalu, apakah yang dimaksud dengan silaturrahim itu?</strong></div><div align="justify"><br />
Silaturrahim adalah kata benda majemuk (bahasa Arab) yang terdiri dari gabungan dua suku kata (mudhaf dan mudhafu ilaihi) “silat(u)” dan “ar rahim(i).”</div><div align="justify"><br />
Silat(u). Kata ini berakar pada huruf “waw, shad, lam”, yang mengandung makna “menghubungan, menyambungkan”, dan lain-lain sesuai dengan konteks verbal yang dimaksud oleh si pembicara (lihat, Qamus al Muhith, Juz I halaman 1380). Bila dihubungkaitkan dengan kata ‘ar rahim”, maka makna yang relevan adalah “menghubungkan, menjalinkan atau menyambungkan”.</div><div align="justify"><br />
Rahim. Kata ini berakar dengan huruf ra, ha, mim, dengan makna pokok “rahmat [kasih sayang]“ar riqqah [lemah lembut]” dan “at ta’atthuf [rasa simpati]”. (Ar Razi “Mukhtar al Shihah” Juz I halaman 100 dan “Lisan al ‘Arab” juz XII, hal. 230).</div><div align="justify"><br />
Bentuk yang ditemukan dalam Al Quran, kata “rahim”, jamaknya “arham” adalah berarti “qarabah [kekeluargaan/ kekerabatan] dan “asbaab al qarabah wa ashluha, ar rahimu allati hiya manbat al walad [kandungan/ rahim ibu]”.</div><div align="justify"><br />
Ditinjau dari makna pokok, maka “rahim” tidak terpisah dari “rahmat”.<br />
<br />
Menurut Ibnu Manzur: Orang Arab mempergunakan kata “rahmat manusia” bermaksud “kelembutan hati dan kasih sayangnya [riqqatul qalb wa ‘itfuhu)”. Sedangkan “rahmat Allah” bermaksud “kasih sayangNya, kebajikanNya, dan rezekiNya [‘athfuhu wa ihsanuh, wa rizquhu]”. (Lisan al ‘Arab, ibid).</div><div align="justify"><br />
Dari pemahaman bahasa di atas, maka dapat diketahui bahwa silaturrahim sebagai hubungan kekeluargaan yang terjalin dengan kasih sayang, kelembutan hati dan rasa simpati.<br />
<br />
Ditinjau dari konsep sosiologis, sesungguhnya seluruh manusia adalah berasal dari keluarga yang satu (Adam dan Hawa). Maka wacana <strong><em>silaturrahim dalam konsep universal bermakna; jalinan kemanusiaan yang diliputi kasih sayang, kelembutan hati dan rasa simpati.</em></strong><br />
<br />
<strong>Dua penyakit kekuasaan</strong></div><div align="justify"><br />
Selanjutnya, dalam surat Muhammad ayat 22, seperti yang disinyalir dalam hadits di atas Allah SWT berfirman, terjemahannya:<br />
<br />
<em>Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan rahim (kekeluargaan)?</em></div><div align="justify"><br />
Jadi menurut ayat ini; ada dua penyakit kekuasaan seperti virus yang akan menggerogoti kehidupan kita, menghancurkan sistem syaraf, otak dan urat nadi kemanusiaan kita. Pertama: Bila berkuasa cenderung berbuat kerusakan. Kedua: Bila berkuasa senang memutuskan hubungan rahim….<br />
</div><div align="justify">Jika kita tidak melakukan usaha preventif dari dijangkiti penyakit kekuasaan ini, dengan mempertebal iman dan taqwa… maka kita akan menghadapi petaka yang lebih besar, seperti ditegaskan Allah SWT pada lanjutan ayat 22 surat Muhammad ini, yang terjemahannya:<br />
<br />
<em>Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.</em></div><div align="justify"><br />
“La’nat”, seperti diungkapkan oleh Ar Razi adalah: “Terusir, terpencil/ terjauh dari rahmat Allah [at thardu wa al ib’adu min al khairi]” (Mukhtar al Shihah, juz I hal 250).</div><div align="justify"><br />
Laknat dalam konteks kehidupan sosial bisa berwujud situasi dan kondisi yang menyusahkan, menggelisahkan dan menyengsarakan, yang sulit dicari jalan ke luarnya.</div><div align="justify"><br />
Laknat dalam konteks politik pada asfek tertentu adalah kehancuran suatu bangsa, dengan hilangnya jati diri bangsa itu lalu menghadapi kesengsaraan demi kesengsaraan. Laknat seperti inilah yang telah menimpa Bani Israil dahulu kala, seperti firman Allah SWT, yang bermaksud:<br />
<br />
</div><div align="justify"></div><div align="justify"><i>“Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam, yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas… Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”</i> (Terjemahan Qs. Al Maidah: 78-79)</div><div align="justify"><br />
Sebagai muslim yang beriman kepada Kitabullah, maka kita dapat memprediksi bahaya yang bakal menimpa kita semua, jika penguasa (legislatif dan yudikatif) dijangkiti dua sikap mental tadi; (1) senantiasa melakukan kerusakan, melanggar prinsip agama; dan meremehkan norma-norma hukum, moral, dan lain sebagainya, lalu (2) saling memutuskan tali rahim (silaturrahim), dengan cara menyebarkan berita bohong, propokasi, intrik-intrik politik, dan menghalalkan segala cara guna mendiskreditkan orang lain, dan sebagainya, dan sebagainya… mereka yang berkarakter sedemikian rupa adalah para pengundang laknat dari Allah SWT. Setelah itu, mereka akan dijangkiti penyakit bebal jiwa, bermuka tembok dan pekak, tuli: Mereka Itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka… Mereka adalah orang-orang yang gila jabatan, mabuk kekuasaan, dan ingin menjadi penguasa seribu tahun lagi. Sementara tangisan rakyat, rintihan jiwa orang-orang tertindas, keluhan rakyat kelaparan, tidak didengar sama sekali…</div><div align="justify"><br />
Di sisi lain, jika kita melihat realitas bangsa kita pada hari ini, dimana fenomena budaya merusak telah menjalar menerkam semua komponent masyarakat kita, mulai dari akar rumput sampai ke tingkat elit kekuasaan… dan budaya silaturrahim hampir-hampir menguap dilanda badai peradaban materialisme…, maka saya pikir; sudah sewajarnya Tuhan menggiring kita ke dalam lingkaran krisis multidimensi, agar kita sadar dan segera berbenah diri.</div><div align="justify"><br />
Mungkin terlampau ektrim terdengar di telinga kita, bila krisis multidimensi diasumsikan sebagai terjemahan lain dari kosa kata “la’nat”…</div><div align="justify"><br />
Melihat realitas yang berkembang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang, yang oleh sebagian ahli dinilai telah sampai mendekati tingkat kumulatif terendah, maka tidaklah salah kita usulkan kepada pemerintah, agar memprogramkan perbaikan bangsa dan negara ke depan; dengan memprioritaskan agenda perbaikan sikap mental, terutama menghilangkan kebiasaan merusak dari tingkat elit kekuasan sampai ke akar rumput…</div><div align="justify"><br />
Konsep perbaikan yang kita maksud adalah dengan mengamalkan ajaran agama secara murni dan konsekwen… Barangkali sudah cukup bagi kita sebagai pelajaran, dimana pada masa orde baru dahulu, sekitar tahun delapan puluhan, pemerintah telah mencoba berusaha memperbaiki moralitas bangsa, dengan menomor sekiankan ajaran agama. Agama hanya dipakai sebagai alat pembenaran falsafah Pancasila, yang direalisasikan melalui penataran P4, maka untuk mensukseskan program tersebut telah terkuras biaya negara yang tidak sedikit, namun tidak membawa manfaat yang signifikan bagi negara ini. Mengapa hal ini terjadi? Karena falsafah bertahta di otak manusia, sedangkan agama bertahta di hati manusia. Falsafah hanya mungkin dicerna oleh kalangan tertentu, sedangkan agama menyentuh kalbu seluruh manusia.</div><div align="justify"><br />
Di samping itu, kembali kepada konsep rabbani melalui Al Quran dan hadits-hadits Nabi, maka jelas terbaca bahwa orang-orang yang senantiasa berbuat kebajikan, beriman dan bertaqwa (Qs. Al A’raf: 96-98) yang selalu memelihara silaturrahim, akan dilapangkan Allah SWT rezekinya.(Al Bukhari No.5986, Muslim No. 2557), dan akan dilepaskan dari berbagai kesulitan yang dihadapinya…(Qs. Ibrahim: 7)</div><div align="justify"><br />
Jadi, di antara kebutuhan mendesak yang kita perlukan pada hari ini dalam menyelesaikan krisis multi dimensi yang menjerat bangsa kita adalah menghilangkan kebiasaan merusak dalam arti seluas-luasnya dan membudayakan silaturrahim.<br />
<br />
*). Tulisan ini dikembangkan luaskan dari ceramah pengajian kaum ibu di MIS Masjid Raya Ujung Gading Jum’at 23 November 2007<br />
<br />
Email: muismahmud@gmail.com<br />
No. Account:<br />
Abdul Muis<br />
Bank Nagari cabang Ujung Gading<br />
No.Rek. 1500.0210.04695-4</div></div>Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7668540298981118856.post-72739614497575831532008-08-27T10:03:00.000+07:002008-08-27T10:15:14.855+07:00Petani Antara Sukses Dan Kufur<div align="center"><span>PETANI<br />Antara sukses dan kufur<br /><br /></span><br />Oleh: Abdul Muis Mahmud *)<br /><br /></div><br />Bila kita memperhatikan kosa kata yang berarti “petani” di dalam Al Quran, ternyata secara verbal ada disebut dengan “kuffar” jamak “kaafir”. Ungkapan ini kita jumpai dalam surat Al Hadid ayat 20 yang terjemahannya:<br /><br /><i>“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan kuffar (para petani); kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”</i><br /><br />Jadi kata “kuffar” di sini menurut ahli tafsir semakna dengan “zurra’” yaitu; petani. Menurut Al-Qurthubi, petani di sebut dengan kuffar, karena mereka menutupi bibit tanaman (Tafsir Al Qurthubi Juz XVII halaman 255)<br /><br />Kosa kata “kuffar” secara verbal sebenarnya mengandung banyak pengertian. Yang paling sering disebut dalam Al Quran dengan maksud “ingkar, menutupi kebenaran, durhaka dan mengingkari nikmat”.<br /><br />Di samping itu dalam bahasa Arab kosa kata “petani” juga disebut “fallah” mempunyai akar kata yang sama dengan “falah” yang berarti “sukses, kemajuan” (lihat, Elias. A. Elias, “Qaamus Al Ashry/ Elias Modern Dictionary, Arabic – English”, 1979 H, edisi XII, Kairo: Syirkah Daarul Elias al Ashriyyah, halaman 512.)<br /><br /><div align="center"><strong>Antara sukses dan kufur</strong><br /></div><br />Dengan memahami ungkapan bahasa di atas maka terbayang dalam pemikiran kita realitas kehidupan petani berada antara kekufuran dan kesuksesan. Hal ini tergantung kepada motivasi dan sikap mental petani itu sendiri dalam menjalankan usahanya. Petani yang beriman, yang bertawakkal dan menjalankan usaha pertanian semaksimal mungkin, sesuai dengan tuntunan ilmu pertanian, tentulah akan mencapai kesuksesan. Sebaliknya, petani yang tidak berpegang teguh kepada ketentuan iman dan prinsip-prinsip agama, melakukan usaha tani secara serampangan tentulah akan terjerumus ke dalam kekufuran dan jauh dari kesuksesan.<br /><br />Adapun yang dimaksud dengan sukses bagi petani dalam pembahasan ini adalah; terlepasnya para petani dengan usaha taninya dari kondisi perekonomian yang kurang beruntung ke taraf yang lebih baik, sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan primer keluarga semaksimal mungkin, seperti kemampuan menyekolahkan anak ke tingkat pendidikan tinggi dan lain-lain. Saya sengaja membatasi definisi ini sesederhana mungkin, agar dapat dicerna oleh para petani yang mayoritasnya - di Indonesia ini - berada pada sudut marginal.<br /><br />Di sini saya tidak akan menguraikan kiat sukses yang harus dilakukan petani dari jurusan ilmu dan management pertanian lazimnya, karena hal ini bukanlah bidang yang saya geluti. Tetapi saya mencoba mengajak kita berdiskusi singkat tentang sikap mental yang harus dimiliki petani muslim dalam usaha perataniannya, agar “falah” sukses dunia dan akhirat. Karena kesuksesan duniawi yang tidak dibarengi oleh keseksesan dalam memegang teguh prinsip agama, pada hakikatnya bukanlah sukses dalam arti yang sebenarnya. Pada surat Al Qashash ayat 76 sd 82 Allah SWT menyebut Karun yang meraih kekayaan besar yang luar biasa, tetapi Karun bersikap aniaya kepada kaumnya. Kesuksesan materi yang tidak dibarengi oleh kesuksesan rohani, pada akhirnya menenggelamkan.<br /><br />Sebagai muslim seorang petani mempunyai ciri khas yang sama dengan muslim lainnya. Dan yang membedakan muslim beriman dan bertaqwa dengan yang lain adalah cara pandangnya terhadap dunia ini (world view). Dia memandang dirinya dan alam semesta ini sebagai bahagian integral dari hak milik Allah SWT. Bahwa manusia dalam setiap tindakan dan perbuatannya terikat dengan hukum-hukum Tuhan... Sebagai bahagian dari kesatuan wujud, maka faktor yang mempengaruhi ekosistem alam, yang mempengaruhi dunia manusia, adalah faktor keadilan dan keseimbangan. Jadi… kebahagiaan dan keberhasilan hidup manusia akan terwujud apabila kebutuhan hidup jasmani dipenuhi seimbang dengan kebutuhan hidup rohani. Oleh sebab itu, jika seorang petani muslim ingin meraih kesuksesan dalam hidupnya, maka minimal ia harus memperhatikan hal-hal berikut:<br /><strong><br />Pertama:</strong> seorang petani hendaklah selalu memulai setiap pekerjaannya karena mengharapkan ridha Allah semata. Karena tidak sedikit ayat-ayat dan hadits Nabi yang menerangkan bahwa orang beriman hendaklah berbuat sesuatu untuk mencari ridha Allah SWT semata.<br /><strong><br />Kedua: </strong>seorang petani hendaklah menjaga waktu shalatnya. Artinya usaha pertanian tidak boleh mengorbankan shalat lima waktu. Apabila terdengar suara azan “hayya ‘alas shalah” dan “hayya ‘alal falah”, maka hendaklah kita meninggalkan pekerjaan sementara waktu demi memenuhi panggilan kesuksesan itu.<br /><strong><br />Ketiga:</strong> seorang petani hendaklah bersyukur kepada Allah SWT atas keberhasilan pertanian yang diperolehinya, dengan membayar zakat, berinfak, membantu fakir miskin, anak-anak yatim dan amal kebajikan lainnya.<br /><br />Keberhasilan pertanian yang tidak dibarengi dengan jiwa syukur pada akhirnya akan mendatangkan malapetaka. Allah SWT menerangkan dalam Al Quran tentang masyarakat Saba’ dahulukala yang sukses dalam pertanian; berkat teknologi pengairan yang mereka miliki (bendungan Ma’rib).<br /><i><br />Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun". Tetapi mereka berpaling, Maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.</i> (Terjemahan, Qs. Saba’: 15-17)<br /><br />Jadi, kesuksesan dunia pertanian sebagai tonggak perekonomian masyarakat Saba’ dahulu kala tidak dibarengi oleh jiwa bersyukur kepada Allah. Maka kepada mereka didatangkan malapetaka, kehancuran bendungan Ma’rib dan sampai sekarang tidak dapat dibangun kembali seperti sedia kala.<br /><br />Sampai di sini saya ingin mengajak kita semua untuk meneropong dengan mata hati beberapa usaha pertanian produktif yang sebelumnya telah mengangkat perekonomian masyarakat kita. Tetapi belakangan dilanda kehancuran yang tidak dapat, atau belum dapat ditemukan pemecahan masalahnya melalui ilmu dan teknologi pertanian. Misalnya, usaha pertanian jeruk. Pada awal tahun sembilan puluhan hingga awal tahun dua ribu, petani jeruk kita mencapai masa kesuksesannya. Tetapi belakangan usaha tani ini mengalami kehancuran total sehingga pertanian jeruk ditinggalkan masyarakat sama sekali. Padahal, industri pertanian telah memproduksi bermacam-macam jenis insektisida, fungisida, pupuk organik dan non organik, dan lain-lain, yang selama ini telah terbukti mampu memelihara serta meningkatkan kwalitas produksi buah jeruk. Mengapa kehancuran ini terjadi? Barangkali banyak faktor penyebab. Tetapi apabila kita menjadikan surat Saba’ ayat 15 sd 17 di atas sebagai barometer, maka kehancuran ini erat hubungannya dengan sikap mental petani yang tidak pandai bersyukur kepada Allah SWT. Banyak petani yang melanggar perintah Allah SWT, takabur, kikir, tidak berzakat, atau tidak membayar zakat secara benar.<br /><br />Jadi, jika kita ingin mengangkat dunia pertanian kita ke puncak kesuksesan, di samping memperhatikan faktor sains dan teknologi, pengembangan ilmu dan management pertanian dan sebagainya, maka kita wajib meningkatkan keimanan dan ketaqwaan petani. Karena petani yang beriman dan bertaqwa pasti bersyukur kepada Allah. Barangsiapa yang bersyukur berarti meraih kesuksesan yang sangat besar, seperti firman Allah pada surat Ibrahim ayat 7, yang terjemahannya:<br /><i><br />Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".</i><br /><br />*). Naskah ini disampaikan pada ceramah rohani; pelatihan Petani Madani sekabupaten Pasaman Barat di Ujung Gading Rabu 21 Nopember 2007<br /><br />Email: muismahmud@gmail.com<br />No. Account:<br />Abdul Muis<br />Bank Nagari cabang Ujung Gading<br />No.Rek. 1500.0210.04695-4Abdul Muis Mahmudhttp://www.blogger.com/profile/01519492984063834283noreply@blogger.com4