Minggu, Agustus 31, 2008

Hari Raya Puaso Onam

TRADISI “HARI RAYA PUASO ONAM”
DITINJAU DARI SUDUT PANDANG SYARI’AT

Oleh: Abdul Muis Mahmud[1])

Abstrak

“Hari Raya Puaso Onam”, adalah peristiwa budaya bernuansa Islami, yang diwarisi turun-temurun oleh masyarakat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang Kab. Kampar Riau. Bila seorang pemerhati melihat peristiwa budaya ini dari satu jurusan saja dengan mengabaikan asfek-asfek ajaran Islam lainnya, atau meremehkan kaedah-kaedah hukum syari’at Islam, maka besar kemungkinan sang pemerhati akan salahpaham dan menyimpulkan bahwa tradisi ini adalah “perbuatan bid’ah yang sesat dan pelakunya adalah orang-orang sesat” karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan generasi sahabat r.a.m…
Tulisan berikut ini mencoba meneropong tradisi “Hari Raya Puaso Onam” ditinjau dari sudut pandang syari’at.[2] Diharapkan dapat memberikan masukan positif bagi masyarakat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang khususnya, dan seluruh kaum muslimin umumnya.

PENGANTAR

“Hari Raya Puaso Onam” adalah hari raya budaya yang disemarakkan oleh masyarakat Bangkinang dan Sungai Tonang Kab. Kampar Riau, setiap tanggal 8 Syawal. Dinamakan dengan “Hari Raya Puaso Onam”, karena dinisbahkan kepada “pelaksanaan puasa sunat enam hari di bulan Syawal, yang dasarnya dijumpai dalam sunnah Rasulullah SAW.[3]
Tidak diketahui secara pasti semenjak kapan budaya ini berlangsung di daerah ini, atau siapa pencetus awalnya… penyelidikan ke arah itu memerlukan pengkajian khusus dan mendalam di luar topik kertas kerja ini…
Budaya tersebut telah berlangsung turun temurun dan diterima masyarakat setempat secara damai; baik oleh para ulama, maupun masyarakat umum, tanpa mempertentangkannya dengan syari’at Islam.
Setelah bermacam aliran dan paham keagamaan merambah ke daerah ini, maka mulailah tradisi ini dipersoalkan. Aliran dan paham salafi[4] misalnya dengan lantang mengumandangkan bahwa budaya Hari raya Puaso Onam adalah perbuatan bid’ah dan sesat; bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW.
Melalui lembaran kertas kerja ini penulis mencoba meninjau tradisi Hari raya Puaso Onam dari sudut pandang syari’at.

PENGERTIAN HARI RAYA PUASO ONAM

Yang dimaksud dengan “Hari raya” dalam kertas kerja ini adalah hari berkumpul, perayaan atau festival yang dibudayakan oleh suatu masyarakat…[5]
Kata “Puaso” dalam bahasa Indonesia adalah “puasa”, sedang kata “onam” dalam bahasa Indonesia adalah “enam”. Bangkinang dan Sungai Tonang termasuk daerah Kampar (Minang rantau yang biasa disebut dengan Limo Koto) bahasa daerahnya adalah Bahasa Melayu khas perpaduan antara bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu Riau atau Malaya (Malaysia). Secara historis daerah Limo Koto mempunyai akar budaya yang kuat dengan ranah Minangkabau[6] dan kerajaan tanah Malaya[7]… Dalam banyak hal bunyi huruf “a” dalam suatu kata diucapkan dengan bunyi “o”, seperti “puasa” diucapkan dengan “puaso”, “siapa”, dengan “siapo”.
Jadi, “puaso onam”, menurut pengertian bahasa adalah “berpuasa enam hari pada bulan syawal”, yang oleh masyarakat Bangkinang dan Sungai Tonang difokuskan pada puasa sunat di awal bulan Syawal; terhitung mulai dari tanggal 2 Syawal hingga tanggal 7 Syawal.[8]
Sedangkan Hari raya Puaso Onam, menurut pengertian dalam kertas kerja ini adalah “hari raya budaya[9] Islami yang disemarakkan oleh masyarakat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang pada tanggal 8 Syawal dengan rangkaian kegiatan yang bersumber dari ajaran syari’at Islam.”
Disebut dengan “hari raya budaya Islami”, karena penentuan dan penetapan hari tanggal 8 Syawal tersebut secara spesifik sebagai hari raya ummat Islam, tidak dijumpai ketetapannya dalam Al Quran, Sunnah, Ijmak dan Qiyas... Tidak pernah dilakukan secara khusus oleh Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in, tabi’ tabiin, atau generasi salaf dan khalaf… tetapi hari raya ini timbul dari tradisi lokal, yang telah membudaya dalam masyarakat. Namun, rangkaian kegiatan yang bertalian dengan hari raya dimaksud adalah mengakar dalam ajaran syari’at Islam…
Yang dimaksud dengan masyarakat Islam Bangkinang dan desa Sungai Tonang adalah masyarakat Islam yang berdomisili di kampung halaman, serta para perantau yang berasal dari Bangkinang dan Sungai Tonang Kab. Kampar Riau yang sedang pulang kampung atau berada di kampung halaman.
Sebagai peristiwa budaya, maka “Hari raya Puaso Onam” identik dengan “Hari raya Ziarah Kubur”, karena inti kegiatan yang dilakukan kaum laki-laki secara berjamaah di hari itu adalah “berziarah ke seluruh pandam perkuburan yang ada lingkungan desa masing-masing”.
Untuk lebih jelasnya, budaya “Hari Raya Puaso Onam” dapat digambarkan sebagai berikut:
Diawali – biasanya setelah shalat shubuh - dengan berziarah ke pandam perkuburan yang ada di lingkungan desa masing-masing secara berjama’ah oleh kaum laki-laki (yang terdiri dari berbagai strata usia)… Di pandam perkuburan dilakukan serangkaian acara, seperti; membaca ayat-ayat pendek, berzikir dan bertahlil, lalu diakhiri dengan berdo’a bersama untuk keampunan dan keselamatan ahli kubur dan seluruh kaum muslimin. Setelah berziarah ke satu pandam perkuburan, maka dilanjutkan dengan berziarah ke pandam perkuburan berikutnya, sampai semuanya mendapat giliran...
Pada waktu kaum laki-laki melakukan ziarah kubur, maka kaum ibu secara bersama dan suka rela menyiapkan hidangan makanan yang disebut dengan “jambar nasi” di masjid atau di menasah (mushalla) yang telah ditetapkan panitia. Hidangan makanan ini disantap bersama setelah ziarah kubur selesai.
Sebagai peristiwa budaya, Hari raya Puaso Onam atau Hari raya Ziarah Kubur, telah mengalami perkembangan, sesuai dengan tingkat intlektualitas masyarakat dan tuntutan zaman; dimana nilai-nilai keagamaan (Islam), pendidikan, sosial, budaya, dan politik, mengkristal menjadi satu…
Acara makan bersama bertujuan untuk mempererat silaturrahmi antar sesama, baik bagi penetap maupun perantau.
Di Sungai Tonang setelah makan bersama dilanjutkan dengan acara “halal bil halal…” melalui moment ini, maka persoalan-persoalan kampung halaman dimusyawarahkan, berikut program-program ke depan, seperti masalah pendidikan dan masalah krusial keagamaan lainnya, sehingga dapat dipahami oleh seluruh mereka yang menetap di kampung halaman dan mereka yang hidup di perantauan.., lalu ditanggulangi secara bersama.
Jadi, kegiatan Hari raya Puaso Onam berawal dengan berziarah ke pandam perkuburan dan berakhir dengan bersilaturrahmi dan bermusyawarah tentang persoalan yang dipandang paling krusial di kampung halaman… Sebagai peristiwa budaya Islami Hari raya Puaso Onam mengandung banyak hal positif, antara lain sebagai berikut:
Ziarah kubur; mengingat jasa-jasa para pendahulu yang telah berpulang ke rahmatullah, mendo’akan mereka dan menginsafi bahwa kita yang masih hidup pada akhirnya akan kembali juga kepadaNya…
Melihat kondisi kampung halaman secara bersama-sama, sehingga para penetap dan para perantau dapat bertemu kembali setelah berpisah sekian lama, bahkan sesama penetappun jarang sekali bertemu, tetapi pada hari tersebut semuanya dapat bertatap muka, mensurvei perobahan fisik kampung halaman secara visual dan objektif, lalu timbul rasa cinta dan memiliki, serta keinginan yang tulus untuk melakukan tindakan yang positif bagi kampung halaman.
Silaturrahmi; mempertemukan sesama saudara yang selama ini terpisah oleh kesibukan masing-masing, dan mempererat tali ikatan kekeluargaan sebagai sesama muslim yang nenek moyangnya berasal dari kampung halaman yang sama.
Silatul Fikri; menyatukan pemikiran untuk kemaslahatan dan kemajuan kampung halaman khususnya, agama, bangsa dan negara umumnya.
Dan hal-hal positif lainnya.


HARI RAYA PUASO ONAM DALAM TINJAUAN SYARI’AT

Seperti telah disinggung dalam bahasan terdahulu, bahwa; budaya Hari raya Puaso Onam telah mengakar dalam masyarakat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang Kab. Kampar Riau dan tidak dipersoalkan, baik oleh para ulama setempat, maupun oleh masyarakat umum. Tetapi setelah bermacam aliran dan paham keagamaan merambah ke daerah ini, maka mulailah tradisi ini dipersoalkan. Aliran dan paham salafi misalnya dengan lantang mengumandangkan bahwa budaya Hari raya Puaso Onam adalah perbuatan bid’ah dan sesat; bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW. Benarkah demikian?

BAHAYA BID’AH

Seringkali kita mendengar kata “bid’ah”, dilontarkan orang sebagai suatu ungkapan negatif, terutama dipergunakan untuk menyatakan suatu perbuatan yang tidak bersesuaian dengan prinsip agama itu sendiri. Bahkan biasa diucapkan orang untuk menyudutkan orang lain yang tidak sealiran dan sefaham dengannya… lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan bid’ah, apa kriterianya? Apakah tiap-tiap perbuatan yang bersifat keagamaan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW namun dilakukan generasi kemudian disebut bid’ah… dan seterusnya, dan seterusnya?
Sebelum kita membicarakan bid’ah dalam pengertian syari’at, maka terlebih dahulu perlu kita memperhatikan ayat Al Quran dan beberapa hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan itu; dimana dengan memperhatikan ayat dan hadits-hadits itu akan membantu kita dalam memahami ungkapan ulama dalam mendefenisikan bid’ah.
Di dalam Al Quran tidak ditemui satu ayatpun yang mengandung kosa kata “bid’ah” secara persis (بدعة). Kecuali dalam surat Al Ahqaaf ayat 9 dengan memakai kosa kata “bid’a(n)(بدعا) yang pada hakikatnya berasal dari bangun kata yang sama “ba – dal – ‘ain” :

Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan".
Kosa kata bid’ah banyak dijumpai di dalam hadits-hadits Nabi SAW. Antara lain dapat kita kutip berikut ini…
Di sini penulis mengelompokkan hadits-hadits itu kepada dua kelompok.
Kelompok pertama; hadits-hadits yang menjelaskan bahwa semua perbuatan bid’ah adalah sesat dan dicerca syari’at:
1. Hadits yang bersumber dari Jabir bin Abdillah, yang menerangkan: “Rasulullah SAW bila berkhutbah, kedua belah mata beliau (terlihat) kemerahan, nada suara beliau tinggi, dan beliau sangat emosianal; seolah-olah beliau adalah seorang (panglima) yang memperingatkan pasukan yang berkata “awas pagi harimu dan sore harimu”, dan beliau bersabda: “Antara aku diutus (menjadi rasul) dengan hari kiamat itu adalah seperti ini”, lantas beliau mempertemukan jari telunjuknya dengan jari tengah dan melanjutkan sabda: “Amma ba’d, maka sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan seburuk-buruk urusan adalah yang diada-adakan. Seluruh bid’ah adalah sesat. Aku lebih mementingkan orang mukmin itu dari dirinya sendiri. Barangsiapa yang meninggalkan harta maka untuk ahli (waris)nya, dan barangsiapa yang meninggalkan hutang atau bumi yang mendatangkan hasil (sementara ahli warisnya tidak ada) maka akulah yang bertanggung jawab.”[10]
2. Hadits yang bersumber dari Al ‘Irbadh mengatakan: “Pernah Rasulullah SAW shalat shubuh bersama kami, kemudian beliau menghadap kami memberikan pengajaran yang sangat menyentuh, yang membuat air mata mengalir, dan jantung bergetar (hati menjadi goncang). Lantas ada yang berkata; wahai Rasulullah! Seolah-olah ini adalah pengajaran seorang yang akan berpisah, maka amanat apa yang engkau pesankan kepada kami? Beliau bersabda: Aku wasiatkan kepadamu agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan menta’ati (pemimpin ummat Islam. pent) meskipun (sang pemimpin) seorang budak habsyi yang buntung hidungnya. Maka sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup di antara kamu, niscaya dia akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafa al rasyidin yang mendapat hidayah. Berpegang teguhlah kamu kepadanya; gigitlah ia kuat-kuat dengan gerahammu. Hendaklah kamu menjauhi sesuatu urusan (yang dibangsakan kepada ajaran agama) yang diada-adakan. Maka segala (yang dibangsakan kepada ajaran agama) yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.”[11]
3. Hadits yang bersumber dari ‘Aisyah r.a. yang berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini yang bukan bersumber daripadanya, maka ia adalah ditolak.” Menurut suatu versi: “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada atasnya perintah kami, maka ia adalah ditolak.”[12]
Kelompok kedua: hadits-hadits yang mengisyaratkan bahwa di antara perbuatan bid’ah ada yang dibenarkan syari’at:
1. Hadits yang bersumber dari Abdurrahman bin Abdil Qari bahwa ia berkata: Kemudian aku berangkat bersama Umar bin Al Khattab pada suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid. Rupanya orang ramai shalat berpencar terpisah-pisah. Seorang lelaki ada yang shalat bersama laki-laki lain, lalu shalatnya diikuti oleh sekelompok orang. Lantas Umar berkata: Menurut pendapatku, alangkah baiknya, aku kumpulkan mereka ini dengan seorang imam saja, tentu itu lebih baik. Kemudian ia bertekad mengumpulkan mereka dengan Ubay bin Ka’ab (sebagai imam shalat). Selanjutnya di malam berikutnya aku keluar bersama beliau, sedang orang ramai diimami oleh qari (imam) mereka. Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Orang yang tidur dengan maksud bangun mendirikan shalat pada akhir malam lebih baik dari orang yang melaksanakan shalat (di awal malam), sedangkan orang ramai shalat di awalnya.”[13]
2. Hadits yang bersumber dari Abdullah bin Amr bin ‘Auf Al Muzanni dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda kepada Bilal bin Al Harts: “Ketahuilah!” Ia menjawab: “Apa yang harus aku ketahui wahai Rasulullah?” Nabi bersabda: “Ketahuilah wahai Bilal!” Ia menjawab: “Apa yang harus aku ketahui wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Bahwa barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku yang telah dimatikan orang sepeninggalku, maka baginya adalah pahala yang sama dengan pahala orang yang mengamalkannya, tidak berkurang pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengada-adakan bid’ah yang sesat, yang tidak diridhai Allah dan RasulNya, maka baginya adalah dosa yang sama dengan dosa orang yang mengamalkannya, tidak kurang dari dosa-dosa orang yang mengamalkannya itu sedikitpun.”[14]
3. Hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdillah yang berkata: “Sekelompok orang Arab kampung mendatangi Rasulullah SAW memakai pakaian dari bulu domba, beliau melihat kondisi mereka yang buruk yang perlu bantuan, maka beliau mendorong orang ramai untuk bersedekah, ternyata mereka lamban menanggapinya, sehingga terlihat (bayangan kekesalan) di wajah beliau. (Jarir bin Abdillah) berkata: Kemudian seorang laki-laki Anshar datang dengan membawa pundi-pundi yang menyampaikan sedekahnya, lalu datang laki-laki lain yang diikuti oleh orang ramai, sehingga terlihat pancaran kegembiraan di wajah beliau SAW. Lantas Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengadakan suatu sunnah (tradisi) di dalam Islam dengan sunnah yang baik, lalu diamalkan orang sesudahnya, maka dituliskan baginya pahala yang sama dengan pahala orang yang mengamalkannya, tidak berkurang pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengadakan suatu sunnah di dalam Islam dengan sunnah (tradisi) yang jelek, lalu diamalkan orang sesudahnya, dituliskan baginya dosa yang sama dengan dosa orang yang mengamalkannya, dan tidak berkurang dosa mereka sedikitpun.”[15]

PENGERTIAN BID’AH DAN SUNNAH

BID’AH
Kata “bid’ah” adalah berasal dari bahasa Arab yang bangun asalnya terdiri dari tiga huruf “ba” “dal” “’ain”.
Menurut Ibnu Manzur di dalam kitabnya “Lisan al ‘Arab”: “بدَع الشيءَ يَبْدَعُه بَدْعاً و ابْتَدَعَه: dengan pengertian “أَنشأَه وبدأَه = mengadakan sesuatu dan memulainya”. بدع الرَّكِيّة mengandung pengertian اسْتَنْبَطَها وأَحدَثها = “menggali dan mengadakan sumur” رَكْيٌ بَدِيعٌ sama dengan حَديثةُ الـحَفْر = galian yang baru” البَدِيعُ و البِدْعُ sama dengan الشيء الذي يكون أَوّلاً = sesuatu yang pertama ada”. Di dalam Al Quran Allah berfirman: قُل ما كنتُ بِدْعاً من الرُّسُل mengandung pengertian ما كنت أَوّلَ من أُرْسِلَ، قد أُرسل قبلـي رُسُلٌ كثـير = Aku bukanlah rasul yang pertama diutus, sesungguhnya sebelum aku telah diutus rasul-rasul yang banyak”. Kata البِدْعةُ sama dengan الـحَدَث وما ابْتُدِعَ من الدِّين بعد الإِكمال = suatu yang baru dan yang diciptakan dalam agama setelah agama itu sempurna”. Ibnussakit mengatakan: “Bid’ah adalah semua yang diada-adakan”[16]
Abussa’adat dalam kitabnya “Al Nihayah fii Ghariib al Hadits wa al Atsar”, menambahkan: بدع في أسماء الله تعالى البديع هو الخالق المختَرع لا عن مِثال سابق, = bangun kata ba – dal – ‘ain dalam Nama-nama Allah SWT adalah “Al Badi’” yakni “Pencipta Yang Mengadakan yang baru Yang tidak ada contoh sebelumnya”.[17] Ungkapan yang sama juga kita jumpai dalam kitab-kitab Mu’jam (Ensiklopedia) lain, seperti dalam kitab “Mukhtar al Shihhah” karya Ar Razi[18] dan lain-lain.
Para ulama berbeda pendapat mendefinisikan bid’ah, menurut pengertian syariat… Tetapi pada umumnya para ulama membagi bid’ah itu kepada dua kelompok: Pertama: Bid’ah lughawi; yaitu bid’ah dalam artian ethimologi, dan, kedua: Bid’ah syar’i; yaitu bid’ah dalam artian terminologi agama.
Dengan pembagian seperti itu, mereka dapat mempertemukan antara dua kelompok hadits (seperti dicantumkan sebelumnya), yaitu; kelompok hadits yang menjelaskan bahwa; seluruh bid’ah adalah sesat dan dicerca syari’at; dengan kelompok hadits yang mengisyaratkan (baik secara langsung ataupun tak langsung), bahwa; ada bid’ah yang dibenarkan syari’at.
Di dalam “Al Nihayah fii Ghariib al Hadits wa al Atsar”, Abussa’adat menyatakan:
Bid’ah itu dua jenis: Bid’ah Huda (sesuai dengan petunjuk agama), dan bid’ah dhalal (sesat). Maka segala yang berlawanan dengan perintah Allah dan RasulNya SAW termasuk dalam ruang lingkup tercela dan diingkari. Dan segala yang eksis di bawah keumuman yang disunatkan dan yang didorong Allah atau RasulNya, maka ia adalah dalam ruang lingkup terpuji.”[19] Pendapat yang sama dianut oleh Ibnu Manzur di dalam kitabnya “Lisan al Arab".[20] dan para ulama lain.
Sebelum mengemukakan defenisi bid’ah, As-Syathibi di dalam “Al I’tisham” menguraikan:
“Di dalam Ilmu ushul (Yurisprudensi hukum Islam) ditetapkan bahwa; hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan ucapan hamba ada tiga kelompok: (1) hukum yang dikehendaki oleh ma’na amar (perintah) adalah untuk ijab (wajib) atau nadab (sunat). (2) Hukum yang dikehendaki oleh ma’na nahyi (larangan), adalah untuk karahah (makruh) atau tahrim (haram). (3) Hukum yang dikehendaki oleh ma’na takhyir (kebebasan memilih) adalah ibahah (mubah/ boleh). Jadi, perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan hamba sama sekali tidak terlepas dari tiga bahagian ini: (a) Yang dituntut melakukannya, (b) yang dituntut meninggalkannya, dan (c) yang diberi izin melakukan atau meninggalkannya… Perbuatan yang dituntut meninggalkannya (b), sama sekali tidaklah dituntut demikian kecuali karena wujudnya berlawanan dengan dua hal tadi (a dan c). Perbuatan dimaksud terbagi kepada dua bagian:
Pertama: Dituntut meninggalkannya dan dilarang melakukannya, karena wujudnya sebagai pelanggaran yang khas, dengan memusatkan persepsi kepada yang lain (melanggar aturan Allah).. Jika perbuatan itu adalah yang diharamkan, maka disebut dengan “perbuatan maksiat dan dosa”. Pelakunya dinamakan “pendurhaka dan pendosa”. Jika perbuatan itu tidak diharamkan, maka pelakunya tidak dapat disebut begitu. Dan ia termasuk ke dalam “حكم العفو = hukum dima’afkan”, manakala nyata bukan pada posisi tadi. Perbuatan itupun tidak dapat dinamakan “jaiz dan bukan mubah (boleh)”, karena menghimpun antara jawaz (yang boleh) dengan nahyi (yang terlarang) sama dengan menghimpun antara dua hal yang berlawanan (mustahil).
Kedua: Dituntut meninggalkannya dan dilarang melakukannya karena wujudnya berlawanan dengan zhahir tasyri’ (aturan agama yang tampak nyata), yaitu; perbuatan yang berlawanan dengan asfek batasannya, penjelasan tentang tata caranya, kewajiban melakukan gerakan tertentu, atau dengan ketentuan durasi waktu tertentu, dan lain sebagainya.
Perbuatan begini dinamakan “ibtida’ dan bid’ah (الابتداع والبدعة)” pelakunya disebut “mubtadi’ (مبتدعا) = pelaku perbuatan bid’ah… [21]
“Jadi, bid’ah adalah sebuah ungkapan tentang tata cara beragama yang diciptakan yang mirip dengan syari’at agama… tata cara ini akan mewujudkan sikap berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT.” Pendapat ini dianut oleh orang yang tidak memasukkan “adat (kebiasaan/ tradisi/ budaya) ke dalam ma’na bid’ah. Menurutnya:“bid’ah hanya ada dalam masalah ibadat belaka”. Adapun menurut pendapat orang yang mengkategorikan perbuatan-perbuatan ‘adiyah (biasa) ke dalam ma’na bid’ah: “Bid’ah adalah suatu tata cara dalam agama yang diciptakan mirip dengan syari’at, mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan tata cara syari’at.” Ungkapan ini perlu penjelasan. Kata “thariqah, thariq, subul dan sunan ((الطريقة والطريق والسبيل والسنن mengandung pengertian yang sama, yakni; segala yang digariskan untuk ditempuh (ما رسم للسلوك عليه). Dihubungkaitkan dengan agama, karena pelakunya menciptakan dan menghubungkaitkannya dengan agama. Andaikata tata cara yang diciptakan itu khusus dalam masalah keduniaan, maka tidaklah dapat disebut bid’ah, seperti menciptakan pabrik-pabrik dan negeri-negeri yang belum pernah ada sebelumnya.[22]
Selanjutnya, menurut As Syathibi:
“Karena tata cara dalam agama itu terbagi – antara lain kepada; sesuatu yang mempunyai dasar syari’at, dan sesuatu yang tidak mempunyai dasar syari’at - khususnya yang menjadi fokus pembicaraan adalah bagian yang diciptakan itu, artinya; tata cara itu diciptakan tanpa ada contoh yang dikemukakan dari pihak syari’ (Pencipta syari’at/ Allah SWT). Jadi karakteristik bid’ah adalah keluar dari jalur yang digariskan Pencipta syari’at. Melalui karakteristik ini, maka terlepaslah semua yang muncul dalam pikiran orang yang berpikir, bahwa; sesuatu ciptaan baru yang berkaitan dengan agama, seperti ilmu nahwu (grammar; syntax), tashrif (perobahan bentuk kata), mufradat al lughah (kosa kata), ushul fiqhi (yurisprudensi hukum Islam), ushuluddin (theologi Islam) dan seluruh ilmu yang berkhidmat kepada syari’at (bukanlah bid’ah); meskipun semuanya belum dijumpai di zaman awal, namun dasar-dasarnya telah ada di dalam agama. Karena perintah menganalisa bahasa Al Quran termaktub dalam syari’at (إذ الأمر بإعراب القرآن منقول) dan ilmu bahasa merupakan media pembimbing yang tepat dalam (membaca dan memahami) Al Quran dan As Sunnah. Jadi, pada hakikatnya; ilmu ini adalah media memahami peribadatan yang termaktub dalam teks literal syar’iyyah, ilmu itulah yang menunjukkan arti-arti literal tersebut, yakni; bagaimana cara mengambil dan menerapkannya (فحقيقتها إذا أنها فقه التعبد بالألفاظ الشرعية الدالة على معانيها كيف تؤخذ وتؤدي).”[23]
Ilmu Ushul Fiqhi bertujuan; melakukan penyelidikan terhadap dalil-dalil umum, sehingga bagi mujtahid tepat sasaran (dalam mengeluarkan hukum) dan bagi penuntut ilmu mudah mencari pengertian.
Demikian pula ushuluddin, atau ilmu kalam. Bertujuan untuk menetapkan dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah, atau yang muncul daripadanya, dalam persoalan tauhid dan yang berkaitan dengannya, seperti ilmu fiqhi menetapkan dalil-dalilnya dalam cabang-cabang ibadah.
Jika ada yang berkata: Kompilasi ilmu itu baru diciptakan belakangan.
Sebagai jawaban: Ilmu-ilmu tersebut mempunyai dasar dalam syara’ (agama), ada dalil yang menunjukkan di dalam Al Hadits. Tarohlah, tidak ada dalil khusus yang menghunjukkannya, namun secara umum ada dalil syari’at yang mengungkapkannya, yakni; bersandar kepada kaedah “al mashalihul mursalah” yang akan diuraikan Insya Allah.[24]
Berdasarkan ungkapan ini, dapatlah ditetapkan bahwa ilmu itu “mempunyai dasar syar’iyyah” dan semua ilmu yang berkhidmat kepada syari’at, tanpa membedakan secara partial, sama sekali bukanlah bid’ah.
Menolak ungkapan ini, sama dengan membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut. Jika termasuk ke dalam bid’ah, maka ilmu itu pasti tercela, karena segala bid’ah adalah sesat tanpa dipertentangkan lagi, seperti akan diuraikan Insya Allah.[25]
Jadi, dapat dipastikan (berdasarkan penolakan tadi) bahwa; penulisan mushhaf dan penghimpunan Al Quran adalah perbuatan tercela. Sedang asumsi begini adalah bathil menurut ijmak; Oleh sebab itu perbuatan ini tidak boleh disebut bid’ah….” [26]
Selanjutnya As Syathibi menegaskan:
“…Jadi, pada dasarnya, tidaklah pantas menamakan ilmu nahwu dan ilmu bahasa lainnya, atau ilmu ushul, atau ilmu-ilmu yang berkhidmat untuk syari’at lainnya, dengan sebutan bid’ah. Orang yang menyebut hal seperti tadi dengan sebutan bid’ah, maka ungkapannya harus dipahami sebagai kata majaz (figurative expression), seperti ungkapan Umar bin Al Khattab r.a. yang menyebut orang ramai melaksanakan qiyamu ramadhan dengan “bid’ah”, jika tidak begitu, niscaya terjadi kebodohan menempatkan sunnah. Dan bid’ah itu bukanlah seperti yang biasa dianggap orang.[27]
Tentang batasan masalah “yang mirip dengan syari’at”, maksudnya “menyerupai tata cara syari’at yang pada hakikatnya tidak sama”, bahkan ditinjau dari beberapa asfek berlawanan dengan syari’at.
Antara lain: Menetapkan batas (وضع الحدود). Seperti orang yang bernazar berpuasa sambil berdiri tanpa duduk, menyembelih hewan kurban tanpa bernaung, membikin kriteria tertentu yang dapat menghentikan ibadah, membatasi makanan dan busana atas jenis tertentu tanpa alasan yang dapat diterima syara’.
Antara lain: Mewajibkan tata cara dan format tertentu (التزام الكيفيات والهيئات المعينة), seperti berzikir dengan formasi berjama’ah dan seirama, mengambil hari kelahiran Nabi SAW sebagai hari raya, dan sebagainya.
Antara lain: Mewajibkan ibadat-ibadat tertentu, pada waktu tertentu yang tidak ditemui penjelasannya dalam syari’at (التزام العبادات المعينة في أوقات معينة لم يوجد لها ذلك التعيين في الشريعة), seperti kemestian berpuasa di hari nishfu (pertengahan hari bulan) Sya’ban, serta melaksanakan shalat malamnya.[28]
Jadi, ada di sini asfek-asfek dimana perbuatan bid’ah mirip dengan masalah-masalah yang disyari’atkan. Jika tidak mirip dengan masalah yang disyari’atkan, maka tidak dapat disebut bid’ah, karena ia termasuk ke dalam bab perbuatan-perbuatan biasa (من باب الأفعال العادية).[29]
Dari wacana yang dilontarkan oleh As Syathibi seperti kita kutip dengan panjang lebar di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa:
1. Sebagian ulama membatasi bid’ah hanya dalam masalah-masalah ibadah saja. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan, tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori bid’ah.
2. Sebagian ulama lain menempatkan bid’ah dalam masalah-masalah ibadah dan keduniaan sekaligus, tanpa pengecualian.
3. Sesuatu perbuatan yang diciptakan mirip dengan syari’at agama bisa menjadi bid’ah apabila terdapat karakteristik bid’ah padanya, yaitu: (a) menetapkan batasan yang tidak ditetapkan syari’at agama; (b) mewajibkan tata cara dan format tertentu yang tidak ditemui dalam syari’at; dan (c) mewajibkan ibadat-ibadat tertentu, pada waktu tertentu yang tidak ditemui penjelasannya dalam syari’at.
4. Selama perbuatan yang diadakan itu tidak dipandang seperti syari’at agama, dan disadari bahwa ia bukan syari’at agama, maka tidaklah dapat dikatakan bid’ah.
Menurut Ibnu Hajar di dalam “Fathu al Bari”:
“… perbuatan diada-adakan yang tidak berdasar di dalam agama, dalam pengertian syara’ disebut bid’ah. Sebaliknya, perbuatan yang mempunyai dasar dalil syara’ tidak dapat disebut “bid’ah.” Pengertian bid’ah dalam definisi syara’ berbeda dengan bid’ah dalam definisi bahasa, karena segala ciptaan baru disebut bid’ah (menurut bahasa); baik ciptaan itu terpuji, maupun tercela. Begitupun tentang ungkapan “yang diada-adakan (المحدثة)” [30]
Selanjutnya Ibnu Hajar:
“Mengenai masalah “orang yang mengada-ada (المحدث)” yang terdapat dalam hadits ‘Aisyah “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini yang bukan bersumber daripadanya, maka ia adalah ditolak”, seperti yang telah diuraikan keterangannya dan akan dilanjutkan keterangannya sebentar lagi dalam “Kitab al Ahkam”. Kemudian di dalam hadits Jabir disinyalir , “segala bid’ah adalah sesat”, dan di dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah; “Hendaklah kamu menjauhi sesuatu urusan (yang dibangsakan kepada ajaran agama) yang diada-adakan (محدثات الأمور). Maka segala (yang dibangsakan kepada ajaran agama) yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.” Itulah hadits yang di awalnya terdapat ungkapan “Rasulullah SAW memberi pengajaran kepada kami dengan pengajaran yang sangat menggugah hati”, lalu disebutkan seperti tadi. Hadits ini ditakhrijkan oleh Ahmad dan Abu Daud, dishahehkan oleh Ibnu Majah, Ibu Hibban dan Al Hakim. Hadits ini mengandung makna yang hampir sama dengan yang disinyalir oleh hadits ‘Aisyah. Itulah yang dirangkum dari ucapan As Sayfi’i yang berkata: “Bid’ah itu ada dua macam; yang terpuji dan yang tercela (البدعة بدعتان محمودة ومذمومة)”. Bid’ah yang selaras dengan sunnah adalah terpuji, sedang yang berlawanan dengan sunnah adalah tercela.” Ditakhrijkan oleh Abu Naim dengan pengertian yang sama, dari jalur Ibrahim bin Al Junaid bersumber dari As Syafi’i. Dan juga bersumber dari As Syafi’i, yang ditakhrijkan oleh Al Baihaqqi di dalam kitab “Manaqib”nya, ia berkata: “Yang diada-adakan (المحدثات) (dalam urusan agama itu) ada dua kelompok; (1) Sesuatu yang diada-adakan itu berlawan dengan Kitab (Al Quran), atau Sunnah, atau Atsar, atau Ijmak, maka ini adalah bid’ah sesat (بدعة الضلال); (2) Sesuatu yang diada-adakan itu berupa kebajikan yang sama sakali tidak bertentangan dengan demikian, maka yang diada-adakan seperti ini tidaklah tercela.”[31]
Bila kita analisa penjelasan yang diberikan oleh Ibnu Hajar dalam uraian terdahulu, maka kita dapat melihat pendangan beliau yang lebih longgar dalam mendefinisikan bid’ah dibandingkan dengan As Syathibi sebelumnya, yang dapat kita rangkum:
1. Pengertian bid’ah dalam definisi syara’ berbeda dengan bid’ah dalam definisi bahasa, karena segala ciptaan baru disebut bid’ah (menurut bahasa); baik ciptaan itu terpuji, maupun tercela. Begitupun tentang ungkapan “yang diada-adakan”.
2. “Bid’ah itu ada dua macam; yang terpuji dan yang tercela (البدعة بدعتان محمودة ومذمومة)”. Bid’ah yang selaras dengan sunnah adalah terpuji, sedang yang berlawanan dengan sunnah adalah tercela.”
3. “Yang diada-adakan (المحدثات) (dalam urusan agama itu) ada dua kelompok; (1) Sesuatu yang diada-adakan itu berlawan dengan Kitab (Al Quran), atau Sunnah, atau Atsar, atau Ijmak, maka ini adalah bid’ah sesat (بدعة الضلال); (2) Sesuatu yang diada-adakan itu berupa kebajikan yang sama sakali tidak bertentang dengan demikian, maka yang diada-adakan seperti ini tidaklah tercela.”
Di samping Ibnu Hajar, Az Zarkasyi Abu Abdillah dalam kitabnya “Al Mantsur”, mensinyalir uraian yang sama, dengan sedikit penekanan:
“Subjek bid’ah dalam syara’ (agama) adalah untuk kejadian-kejadin tercela. Jika kejadian-kejadian terpuji ingin dikaitkan juga dengan bid’ah, maka yang demikian hendaklah dipahami sebagai ungkapan majaz (figurative expression) menurut syara’,dan makna hakikat secara bahasa…”[32]
As Syathibi menempatkankan; hal-hal baru yang tidak berlawanan dengan maqashidus syar’iyyah (objektif syari’at Islam) ke dalam “al mashalihul mursalah”[33]
Dalam konteks seperti ini, maka dapat kita pahami pendapat ulama yang menghubung kaitkan bid’ah kepada kaedah-kaedah hukum syari’at.
Abi Muhammad ‘Izzuddin Abdil Aziz bin Abdissalam As Sulami (w.660 H) di dalam “Qawa’idu al Ahkam Fii Mashalihi al ‘Anam”, mengungkapkan:
“Bid’ah adalah perbuatan yang belum dikenal pada masa Rasulullah. Ia terbagi kepada bid’ah yang wajib (بدعة واجبة), bid’ah yang di sunatkan (وبدعة مندوبة), bid’ah yang dibencihi (وبدعة مكروهة), dan bid’ah yang dibolehkan (وبدعة مباح). Methoda untuk mengenal demikian dengan cara membentangkan bid’ah itu kepada kaedah-kaedah syari’at. Jika termasuk ke dalam kaedah ijab, maka ia adalah wajib, jika termasuk ke dalam kaedah tahrim, maka ia adalah haram, jika termasuk ke dalam kaedah mandub, maka ia adalah disunatkan, dan jika ia termasuk ke dalam kaedah mubah, maka ia adalah dibolehkan.”[34]
Pendapat ini juga dianut oleh An Nawawi, yang mengatakan:
“Tentang sabda Nabi SAW; seluruh tata cara yang diciptakan mirip dengan syari’at agama adalah bid’ah, dan seluruh bid’ah adalah sesat [كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة] maksudnya adalah; tata cara bathil yang diciptakan mirip dengan syari’at agama [المحدثات الباطلة] dan bid’ah-bid’ah tercela [والبدع المذمومة]. Penjelasan ini telah kita uraikan dalam “Kitab Shalat al Jumu’ah”, dan di sini kita ingatkan bahwa; bid’ah itu lima perkara: (1) bid’ah yang diwajibkan, (2) yang disunatkan, (3) yang di haramkan, (4) yang makruhkan, dan (5) yang dibolehkan.”[35]
KESIMPULAN TENTANG BID’AH
Dari seluruh uraian yang kita bicarakan sebelumnya maka dapat kita simpulkan, bahwa:
Sebagian ulama membatasi bid’ah hanya dalam masalah-masalah ibadah saja. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan, tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori bid’ah.
Sebagian ulama lain menempatkan bid’ah dalam masalah-masalah ibadah dan keduniaan sekaligus, tanpa pengecualian. Menurut pendapat ini: Sesuatu perbuatan yang diciptakan mirip dengan syari’at agama bisa menjadi bid’ah jika terdapat karakteristik bid’ah padanya, yaitu: (a) menetapkan batasan yang tidak ditetapkan syari’at agama; (b) mewajibkan tata cara dan format tertentu yang tidak ditemui dalam syari’at; dan (c) mewajibkan ibadat-ibadat tertentu, pada waktu tertentu yang tidak ditemui penjelasannya dalam syari’at… Selama perbuatan yang diadakan itu tidak dipandang seperti syari’at agama, dan disadari bahwa ia bukan syari’at agama, maka tidaklah dapat dikatakan bid’ah.
Pengertian bid’ah dalam definisi syara’ berbeda dengan bid’ah dalam definisi bahasa, karena segala ciptaan baru disebut bid’ah (menurut bahasa); baik ciptaan itu terpuji, maupun tercela. Begitupun tentang ungkapan “yang diada-adakan”.
Menurut sebagian ulama “Bid’ah itu ada dua macam; yang terpuji dan yang tercela (البدعة بدعتان محمودة ومذمومة)”. Bid’ah yang selaras dengan sunnah adalah terpuji, sedang yang berlawanan dengan sunnah adalah tercela.”
“Yang diada-adakan (المحدثات) (dalam urusan agama itu) ada dua kelompok; (1) Sesuatu yang diada-adakan itu berlawan dengan Kitab (Al Quran), atau Sunnah, atau Atsar, atau Ijmak, maka ini adalah bid’ah sesat (بدعة الضلال); (2) Sesuatu yang diada-adakan itu berupa kebajikan yang sama sakali tidak bertentang dengan demikian, maka yang diada-adakan seperti ini tidaklah tercela.”
Bid’ah atau hal-hal baru yang tidak berlawanan dengan kaedah-kaedah hukum syari’at oleh sebagian ulama ditempatkan ke dalam “al mashalih al mursalah”.
Keberadaan bid’ah dalam pengertian “hal-hal baru yang belum pernah muncul pada masa Rasululah SAW”, bila dihadapkan dengan kaedah-kaedah hukum syari’at oleh sebagian ulama dikelompokkan ke dalam; (a) bid’ah wajib, (b) bid’ah sunat, (c) bid’ah haram, (d) bid’ah makruh dan (e) bid’ah mubah.



SUNNAH

Kata “sunnah” tidak asing di telinga kita. Begitu indah dan begitu berharga, kadang-kadang terdengar sombong, angkuh dan tersemat kebencian. Ketika si fulan mengklaim diri “ahli sunnah wal jama’ah” kepada orang lain, maka nada ucapan itu sedikit mengandung kesombongan dan keangkuhan, karena (secara langsung atau tak langsung) si fulan telah menuduh lawan bicara “bukan ahli sunnah wal jama’ah”. Sewaktu orang lain menyebut “inkarus sunnah”, maka di kepala kita tergambar “kelompok orang-orang yang menolak hadits-hadits Rasulullah SAW sebagai dasar dalam beramal”, ungkapan ini menimbulkan rasa benci…
Lalu… Apakah pengertian sunnah itu?
Kosa kata “sunnah” bangun asalnya terdiri dari tiga huruf “sin – nun – nun [س ن ن]”. Perobahan tashrif (bentuk dan susunan kata) itu dalam gramatika bahasa Arab mengandung pengertian yang banyak dan tidak pada tempatnya kita bincang secara terperinci dalam lembaran kertas kerja ini.
Di dalam “Lisan al Arab” Ibnu Manzur mengungkapkan :
“…. Di dalam Al Hadits berulang kali disebut kata “sunnah” [السُّنة] serta perobahan bentuk kata (tashrif)nya. Pengertian dasarnya adalah الطريقة والسِّيرَة [jalan, kelakuan, peri kehidupan]. Penggunaan kata ini dalam syara’ pada umumnya ditujukan untuk menyatakan segala yang diperintahkan Nabi SAW, yang dilarang beliau, serta yang dianjurkan beliau, baik ucapan maupun perbuatan; yang tidak dituturkan oleh Al Kitabul ‘Aziz (Kitabullah). Karena inilah dinamakan dalil-dalil syara’ dengan Al Kitab dan As Sunnah, artinya Al Quran dan Al Hadits….” Bahkan, menurut Ibnu Manzur: “sunnah juga mengandung pengertian الطبيعة [tabiat, prilaku, watak][36] Pendapat yang sama ditemui dalam “Annihayah fi Gharib al Atsar” Ibnu Atsir,[37] dan “Al Mukhtar al Sihaah”, karya Ar Razi.[38]
Apabila kita memperhatikan kosa kata “sunnah” di dalam Al Quran, maka kita menemukan kata tersebut dihubung kaitkan dengan kata “Allah” [سُنَّةَ اللَّهِ] atau kata “awwaliin” [سُنَّتَ الأَوَّلِينَ:][39]. Atau dalam bentuk jamak “sunan” [سنن].
Menurut At Thabari: “sunan” jamak “sunnah. “Sunnah adalah contoh tauladan yang diikuti, atau imam (pemimpin) yang dimami [المثال المتبع والإمام الموتم به]”. Misalnya: “Si Fulan mensunnahkan kepada kita sunnah yang baik, dan mensunnahkan sunnah yang jelek [سن فلان فينا سنة حسنة وسن سنة سيئة]” ungkapan ini diucapkan apabila dia (si Fulan) meninggalkan suatu amalan yang akan diikuti; yang baik atau yang jelek”.[40]
Di dalam Al Quran misalnya; pada surat Ali Imran ayat 137 Allah SWT berfirman:
ô‰s% ôMn=yz `ÏB öNä3Î=ö6s% ×ûsöß™ (#r玍šsù ’Îû ÇÚö‘F{$# (#rãÝàR$$sù y#ø‹x. tb%x. èpt6É)»tã tûüÎ/Éj‹s3ßJø9$# ÇÊÌÐÈ
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
Menurut ahli tafsir: yang dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah hukuman-hukuman Allah yang berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan rasul.[41]
Di dalam hadits Nabi SAW (riwayat Muslim dan lain-lain yang bersumber dari Jarir bin Abdillah seperti kita kutip pada pembahasan Bid’ah berlalu), sunnah digolongkankan ke dalam dua kelompok: (1) Sunnah Hasanah [سنة حسنة], dan (2) Sunnah Sayyiah [سنة سيئة].
Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala (1283 H – 1353 H) di dalam “Tuhfatu al Ahwazi” menguraikan:
“Barangsiapa yang mengadakan suatu sunnah di dalam Islam dengan sunnah yang baik [من سن في الإسلام سنة حسنة]” pengertiannya adalah “membawa thariqah (jalan, kelakuan, peri kehidupan) yang diridhai dimana dapat dibuktikan dasarnya dari dasar-dasar agama, lalu diikuti orang [أي أتى بطريقة مرضية يشهد لها أصل من أصول الدين فاتبع].”
Selanjutnya menurut Abul ‘Ala: “Dan barangsiapa yang mengadakan suatu sunnah di dalam Islam dengan sunnah yang jelek [ومن سن في الإسلام سنة سيئة] pengertiannya adalah “(jalan, kelakuan, peri hidup) yang tidak diridhai, yang tidak dapat dibuktikan dasarnya dari dasar-dasar agama.”[42]
Adapun pengertian sunnah menurut istilah syari’at adalah “Semua yang terbit dari Rasulullah SAW, berupa ucapan, atau perbuatan, atau ketetapan.”[43] Sunnah Rasulullah SAW disebut juga dengan Hadits. Seperti halnya dengan hadits, para ulama membagi sunnah kepada; sunnah qauliyyah, sunnah fi’liyyah, serta sunnah taqririyyah.
Sunnah Qauliyyah adalah: hadits-hadits yang diucapkan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai waktu dan kesempatan. Sunnah fi’liyyah: perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, sedangkan Sunnah Taqririyyah adalah segala yang dibolehkan Rasulullah SAW yang muncul dari sebagian sahabatnya, seperti ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang didiamkannya dan tidak beliau ingkari, atau dengan persetujuan dan penilaian beliau yang memandang bagus sesuatu itu, maka dianggaplah ketetapan dan yang disetujui beliau tadi adalah muncul dari Rasulullah SAW sendiri.[44]
KESIMPULAN TENTANG SUNNAH
1. Pengertian secara bahasa “sunnah” adalah “الطريقة والسِّيرَة [jalan, kelakuan, peri kehidupan] الطبيعة [tabiat, prilaku, watak] المثال المتبع والإمام الموتم به [contoh tauladan yang diikuti, atau imam (pemimpin) yang dimami] atau dengan arti hukum-hukum atau ketetapan-ketetapan.
2. Sunnah dalam pengertian bahasa dapat digolongkan ke dalam dua kelompok: (1) sunnah hasanah, yaitu perikehidupan yang baik yang berlandaskan kepada syari’at agama, (2) sunnah sayyiah, yakni; perikehidupan jelek yang memang tidak ada sumbernya dalam syari’at agama.
3. Syari’at agama mendorong ummat agar melakukan sunnah yang baik dan menjauhi sunnah yang jelek.
4. Sunnah menurut pengertian syari’at mencakup semua yang muncul dari Nabi SAW, berupa ucapan, atau perbuatan, atau ketetapan. Sunnah Rasulullah SAW disebut juga dengan Hadits Rasulullah SAW.



TRADISI HARI RAYA PUASO ONAM
DAN MAQASHID AL SYAR’IYYAH


KESIMPULAN DAN SARAN

Sekarang kita mencoba menganalisa tradisi Hari raya Puaso Onam dari jurusan objektif hukum Islam (al maqashid al syar’iyyah).
Syariah Islam diturunkan oleh Allah hanya untuk memberikan kebaikan dan kemaslahatan kepada manusia. Objektif hukum Islam ialah untuk menjaga kepentingan dan keperluan manusia di dunia serta akhirat. Untuk tujuan itu, syariah Islam mewajibkan keperluan dharuri, haaji dan tahsini manusia senantiasa dijaga serta dipelihara[45]. Segala perintah dan larangan Allah adalah bertujuan untuk menjaga keperluan-keperluan ini. Asas maslahah manusia ialah keperluan dharuri. Menurut syari’ah Islam, keperluan dharuri manusia ialah agama, nyawa, akal, keturunan dan harta[46]. Jika salah satu dari keperluan ini diabaikan, maka kehidupan manusia akan menuju kehancuran. Keperluan dharuri adalah asas keperluan haaji dan tahsini manusia[47].
Bertitik tolak dari hakikat di atas, maka kita dapat menempatkan tradisi Hari raya Puaso Onam dalam ruang lingkup “Bid’ah Hasanah”, atau “Sunnah Hasanah” (dalam artian bahasa), karena objektif yang dituju dalam tradisi ini adalah menghidupkan ajaran Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW, seperti akan kita bincang di bawah ini.
Bertitik tolak dari objektif hukum Islam yang terkandung dalam kegiatan Hari raya Puaso Onam, dengan meminjam kaedah hukum yang diajukan oleh sebagian ulama tentang eksistensi bid’ah, seperti dikutip An Nawawi (“Syarhu An Nawawi ‘ala Shaheh Muslim”, Juz VII, halaman 104-105.) maka dapat disimpulkan bahwa:
Pelaksanaan Hari raya Puaso Onam dapat digolongkan ke dalam kelompok “bid’ah hasanah”, atau “sunnah hasanah”. Karena amalan-amalan yang dilakukan pada kegiatan itu adalah berkaitan dengan amalan-amalan sunat, maka hukum pelaksanaan kegiatan Hari raya Puaso Onam adalah mengikut kepada amalan-amalan itu (secara umum adalah sunat).
Keberatan yang diajukan oleh orang yang menganggap tradisi dimaksud sebagai “bid’ah yang sesat lagi menyesatkan” dapat dimengerti, jika kita memandang tradisi itu dari satu jurusan saja, yaitu; mengaitkan dengan “masalah ibadah (dalam artian sempit)” seperti kaedah fiqhi mengatakan: “pada dasarnya dalam ibadah itu adalah haram [الأصل في العبادة للتحريم], karena memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan generasi salafus shaleh... Atau melihat adanya kriteria bid’ah seperti yang diajukan oleh As Syathibi dalam tradisi tersebut: (1) Menetapkan batas (وضع الحدود). (2) Mewajibkan tata cara dan format tertentu (التزام الكيفيات والهيئات المعينة), dan (3) Mewajibkan ibadat-ibadat tertentu, pada waktu tertentu yang tidak ditemui penjelasannya dalam syari’at (التزام العبادات المعينة في أوقات معينة لم يوجد لها ذلك التعيين في الشريعة).
Keberatan ini dapat penulis jawab sebagai berikut:
1. Penentuan tanggal 8 Syawal sebagai Hari raya Puaso Onam adalah atas dasar pertimbangan budaya bukan syari’at, dimana pada hari tersebut memungkinkan bagi para penetap dan perantau di Bangkinang dan Sungai Tonang untuk berkumpul bersama, tanpa ragu-ragu (karena sudah mentradisi) untuk bertemu dalam suasana silaturrahmi, mengikat kembali tali bathin dengan seluruh sanak family, baik yang masih hidup maupun yang sudah berpulang ke rahmatullah yang direalisasikan dengan ziarah kubur bersama ke pandam perkuburan mereka yang telah kembali ke alam baka itu. Lalu timbul keinsafan bahwa semua kita pasti akan menyusul mereka menuju alam akhirat sana, maka hendaklah kita memanfa’atkan nikmat hidup ini untuk berubudiyah kepadanya demi keselamatan kita di alam sana.[48]
2. Tidak ada tata cara dan format tertentu yang diwajibkan dalam kegiatan Hari raya Puaso Onam. Kalaupun terlihat sewaktu ziarah kubur masyarakat ada membaca ayat-ayat pendek, berzikir dan bertahlil, serta berdo’a bersama bagi keselamatan ahli kubur dan kaum muslimin secara bersama dibawah bimbingan seorang imam; semuanya dilakukan atas pertimbangan keteraturan dan pendidikan, dimana para hadirin akan diminimalkan dari perbuatan-perbuatan sia-sia sewaktu ziarah kubur, dan mendidik anak-anak muda dan orang awam agar tertib dan teratur dalam ziarah kubur serta membaca ayat-ayat suci Al Quran, berzikir bertahlil dan berdo’a… Jadi, bukan diwajibkan.[49]
3. Amalan-amalan yang dilakukan dalam rangkaian Hari raya Puaso Onam adalah bersumber dari syari’at Islam secara umum, yang boleh dilakukan pada hari dan waktu bermacam-macam. Melakukan suatu amalan yang diberi kelapangan oleh syari’at pada waktu dan hari tertentu oleh suatu masyarakat dimana pada waktu dan hari tersebut memungkinkan mereka untuk berkumpul dan beramal bersama, bukan berarti masyarakat tersebut membikin syari’at baru.
4. Dalam kehidupan kaum muslimin yang sedang dilanda badai peradaban materialisme dan sekularisme, yang memporak porandakan nilai-nilai iman, akhlak dan tatanan sosial Islami, maka diperlukan berbagai usaha untuk membentengi masyarakat muslim dari ancaman materialisme dan sekularisme itu. Hari raya Puaso Onam dan rangkaian kegiatannya adalah mengandung unsur-unsur ajaran Islam yang mampu mengikat kehidupan sosial ummat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang menghadapi badai peradaban yang mengancam itu, disamping ikatan akidah, akhlak dan ajaran Islam lain, tentunya.[50]
Jadi jika kita jeli melihat tradisi tadi dari jurusan “al mu’amalah al ijtima’iyyah (sosial kemasyarakatan)”, maka tradisi Hari raya Puaso Onam adalah serasi dengan objektif hukum Islam, yaitu: menjaga kepentingan dan keperluan manusia di dunia serta akhirat; menjaga ajaran agama agar tidak lekang dari kehidupan sosial.
Sungguhpun demikian, kita harus mengakui bahwa tradisi ini tidak sepi dari kemungkinan-kemungkinan terjerumus ke dalam praktek bid’ah dhalalah, bila tidak dikontrol dengan sikap kritis dalam beragama. Oleh sebab itu, di sini penulis mengajukan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan segala kegiatan yang dihubung kaitkan dengan Hari raya Puaso Onam:
1. Hendaklah disadari dan diinsafi bahwa penetapan tanggal 8 Syawal sebagai Hari raya Puaso Onam, sama sekali bukanlah perintah Rasulullah SAW. Tetapi hanya sebagai tradisi yang telah ditetapkan oleh masyarakat sebagai media untuk lebih meningkatkan nilai keimanan, ketaqwaan dan silaturrahmi antar sesama.
2. Pelaksanaan ziarah kubur bersama pada tanggal 8 Syawal pada hakikatnya bukanlah hari tanggal istimewa yang ditetapkan menurut Syari’at.
3. Selama melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan Hari raya Puaso Onam, maka hendaklah diusahakan semaksimal mungkin untuk berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah.




DAFTAR PUSTAKA

1. Al Quranul Karim
2. Abu Ja’far, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Al Thabary (224-310H), “Tafsir al Thabary”, 1405 H, Beirut: Daar al Fikr.
3. Al Qurthuby, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar “Tafsir Al Qurthuby”, 1372 H, cetakan II, muhaqqiq: Ahmad Abdul ‘Alim Al Burduny Al Qahirah: Dar as-Sya’b.
4. Ad Dimasqy, Ismail bin Umar bin Katsir, “Tafsir Ibnu Katsir”, 1401 H, t.th. Beirut: Dar al-Fikr.
5. Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah, “Shaheh Al Bukhari”, 1987 M/ 1407H, cetakan III, editor: Dr. Mushtafa Dif al Bagha, Beirut: Dar Ibnu Katsir, al Yamamah.
6. An Naisabury, Muslim bin Al Hajjaj Abul Husain Al Qusyairy, “Shaheh Muslim”, t.th. editor: Muhammad Fuad Abdul Baqy, Beirut: Dar Ihyaai Turats al ‘Araby.
7. Al Ashbahy, Malik bin Anas Abu Abdillah, “Muwattha’ al Imam Malik”, tahqiq; Muhammad Fuad Abdul Baqy, tt.h, Mesir: Dar Ihya’ al Turats al ‘Araby.
8. Al Azdy, Sulaiman bin Asya’ats Abu Daud al Sajastany, “Sunan Abi Daud”, Tahqiq: Muhammad Mahyuddin Abdul Hamid, tt.h. Beirut: Daar al Fikr.
9. As Sulamy, Muhammad bin Isa At Turmuzi, “Al Jami’ al Shaheh Sunan al Turmuzi”, tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir dll, tt.h. Beirut: Daar Ihya’ al Turats al ‘Araby.
10. Al Qazwainy, Muhammad bin Yazid Abu Abdillah, “Sunan Ibni Majah”, tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqy, tt.h. Beirut: Daar al Fikr.
11. As Syaibany, Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah, “Musnad al Imam Ahmad bin Hanbal” tt.h. Kairo: Muassasah Qurthubah.
12. Ad Darimy, Abdullah bin Abdirrahman, Abu Muhammad, “Sunan Al Darimy”, cet. I 1407, Beirut: Daar al Kitab al ‘Araby.
13. An Naisabury, Muhammad bin Ishaq bin Huzaimah Abu Bakar As Sulamy, “Shaheh Ibni Huzaimah”, tahqiq: Dr. Muhammad Mushtafa Al A’zhami, 1390 H 1970 M, Beirut: Al Maktab al Islamy.
14. Al Busty, Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim At Tamimy, “Shaheh Ibnu Hibban bi Tartib Ibni Balban”, 1414 H 1993 M, Beirut: Muassasah al Risalah.
15. An Naisabury, Muhammad bin Abdillah Abu Abdillah Al Hakim, “Al Mustadrak ‘Ala al Shahihain”, 1411H 1990M, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyah.
16. Al Baghdady, Ali bin Umar Abu Al Hasan Al Daruquthny, “Sunan al Dariquthny”, 1386H 1966M, Beirut: Daar al Ma’rifah.
17. Al Kufy, Abu Bakar Abdullah Muhammad bin Abi Syaibah, “Al Mushannaf Fi al Ahadits wa al Atsar”, cet. I 1409 H, Riyadh: Maktabah al Rusyd.
18. Al Baihaqqy, Ahmad bin Al Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar, “Sunan al Baihaqqi al Kubra”, 1414H 1994H, Makkah al Mukarramah: Maktabah Daar al Baaz.
19. An Nasai, Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman, “Sunan al Nasai al Kubra”, 1411H 1991M, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyah.
20. Al Qadha’iy, Muhammad bin Salamh binn Ja’far, Abu ‘Abdillah, “Musnad al Syihab”, cet: II 1407H 1986M, Beirut: Muassasah al Risalah.
21. Ahmad bin Abi Bakar bin Ismail Al Kannani (762-840), “Mishbah al Zujaajah”, cet II 1403, Beirut: Dar al ‘Arabiyah.
22. Abu Muhammad, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Muqaddisy, “Al Mughny fi Fiqh al Imam Ahmad bin Hanbal al Syaibany”, cet: I 1405H, Beirut: Daar al Fikr.
23. Hazmin, ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin, “al Muhalla”, (t.th) Beirut: Dar al Afaaq al Jadiidah.
24. Abussa’adat Al Mubarak bin Muhammad al Jazri, “An Nihayah fii Ghariibil Hadits wal Atsar”, tahqiq: Thahir Ahmad Az Zawi – Mahmud Muhammad At Thanahi, 1399 H/ 1979 M, Beirut: Al Maktabah Al Ilmiyah.
25. Ibn Manzur, Muhammad bin Mukram (t.t.), “Lisan al ‘Arab”, Beirut: Dar al Sadir.
26. Razi, Muhammad bin Abu Bakar Abdul Qadir Ar- (1995) “al Mukhtar al Sihaah”, Nasyirun, tahqiq: Mahmud Khatir. Beirut: Maktabah Lubnan
27. Syatibi, Ibrahim bin Musa al Lakhmi (w. 790) “Al I’tisham”, 1406 H 1986 M, Beirut, Dar al Ma’rifah.
28. _________________ “al-Muwafaqat Fi Usul alSyariah”, muhaqqiq: Abdullah Darraz, Beirut: Dar al Ma’rifah.
29. ‘Asqalani, Ahmad b. ‘Ali b. Hajar al- (1379H), “Fathu al-Bari”. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi dan Muhibb al-Din al-Khatib (tahqiq). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
30. Muhammad bin Bahadir bin Abdillah Az Zarkasyi Abu Abdillah (745 H sd 794) “Al Mantsur” tahqiq: Dr. Taisir Faiq Ahmad Mahmud,1405 H, Kuwait; Cet: 2, Wazaratul Auqaf was suuunil Islamiyah.
31. Abi Muhammad ‘Izzuddin Abdil Aziz bin Abdissalam As Sulami (w.660 H) “Qawa’idul Ahkam Fii Mashalihil ‘Anam”, t.t.h, Beirut: Darul Ma’rifah.
32. An Nawawi, Abu Zakarya Muhyiddin (631 H – 676 H), “Syarhu An Nawawi ‘ala Shaheh Muslim”, cet: III, 1292, Beirut: Daar Ihyaa al Turats al ‘Arabi.
33. Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala (1283 H – 1353 H) “Tuhfatu al Ahwazi”, t.th. Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyah.
34. Abdul Wahab Khallaf “’Ilmu Ushul al Fiqh”, 1398 H, 1978 M, Kuwait: Daar al Qalam.
35. HAMKA “Islam dan Adat Minangkabau” cet I, 1984, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.
36. Anshari, MA, H. Endang Saifuddin. “Agama dan Kebudayaan” cet II 1982, Surabaya. PT. Bina Ilmu, halaman 32).
37. Elias. A. Elias, “Qaamus Al Ashry/ Elias Modern Dictionary, Arabic – English”, 1979 H, edisi XII, Kairo: Syirkah Daarul Elias al Ashriyyah.
38. Poerwadarminta, W.J.S, “Kamus Lengkap; Inggris - Indonesia, Indonesia – Inggris”, 1982 M, cetakan 2, Bandung: Hasta.
39. Yunus, Mahmud “Kamus Arab – Indonesia”, 1990 M/ 1411 H, cetakan VIII, Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
[1] Penulis adalah putera kelahiran Sungai Tonang Kab. Kampar Riau 1964, sekarang berdomisili di Ujung Gading Kab. Pasaman Barat Sumbar Indonesia.
[2] Pengertian syari'at dari segi pemakai bahasa Arab adalah مصدر (akar kata) dari
شرع-يشرع-شرعا-شروعا
Ibnu Manzur mengemukakan dalam kitabnya Lisan al Arab, jilid VIII, huruf 'ain, halaman 175-176:
والشريعة والشراع والمشرع: الموضع التي ينحدر إلى المآء منها
Syari'ah, syara'u, dan masyra'ah artinya tempat turun (tempat yang dilalui untuk mengambil) air minum."
والشريعة والشرعة: ما سن الله من الدين وما أمربه كاالصوم والصلاة والحج والزكاة وسائر أعمال البر...
"Syari'ah atau syir'ah adalah segala (aturan agama) yang digariskan dan diperintahkan Allah, seperti puasa, shalat, haji, zakat dan segala perbuatan baik..."
Jadi syari'at dapat kita pahami sebagai jalan kehidupan yang ditentukan Allah SWT yang menjamin keselamatan hidup kita di dunia ini sampai ke akhirat nanti.
[3] Imam Muslim dalam Shahehnya Juz II halaman 822, باب استحباب صوم ستة أيام من شوال أتباعا لرمضان
1164 حدثنا يحيى بن أيوب وقتيبة بن سعيد وعلي بن حجر جميعا عن إسماعيل قال بن أيوب حدثنا إسماعيل بن جعفر أخبرني سعد بن سعيد بن قيس عن عمر بن ثابت بن الحارث الخزرجي عن أبي أيوب الأنصاري رضي الله عنه أنه حدثه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثم من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر
Kepada kami diceriterakankan oleh Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa’id dan Ali bin Hajar, semuanya bersumber dari Ismail. Ibnu Ayyub berkata: Kepada kami diceriterakan oleh Ismail bin Ja’far, kepadaku diberitakan oleh Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit bin Al Harits Al Khazraji, yang bersumber dari Abi Ayyub Al Anshari r.a. bahwa ia menceriterakan kepadanya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Kemudian, barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu diperikutkannya dengan enam hari dari bulan Syawal, maka ia adalah seperti berpuasa sepanjang masa.”
Imam At Turmuzi meriwayatkan di dalam “Sunan At Turmuzi” juz III halaman 132 باب ما جاء في صيام ستة أيام من شوال, dengan sedikit perobahan redaksi:
759 حدثنا أحمد بن منيع حدثنا أبو معاوية حدثنا سعد بن سعيد عن عمر بن ثابت عن أبي أيوب قال قال النبي صلى الله عليه وسلم ثم من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال فذلك صيام الدهر
Kepada kami diceriterakan oleh Ahmad bin Muni’, kepada kami diceriterakan oleh Abu Mu’awiyah, kepada kami diceriterakan oleh Sa’ad bin Sa’id, dari Umar bin Tsabit yang bersumber Abi Ayyub yang berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Kemudian, barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu diperikutkannya dengan enam hari dari bulan Syawal, maka yang demikian adalah berpuasa sepanjang masa.”
[4] Secara bahasa Salafi berarti orang-orang yang membangsakan diri kepada kaum salaf, yaitu mencontoh sikap hidup beragama Rasulullah SAW, para sahabat, atau generasi salaf al shaleh; yang pada intinya adalah kembali kepada Islam yang murni, yang belum tercemar --baik oleh tradisi budaya lokal ataupun oleh wacana doktrinal tertentu--yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya, yang biasa juga disebut kaum Salaf. Sebenarnya wacana dan gerakan Salafiyah jauh daripada tunggal dan monolitik. Hal ini bisa disimak dari pemikiran dan gerakan tokoh-tokoh yang biasa diasosiasikan sebagai pencetus dan perumus Salafisme, mulai dari Ibn Taymiyyah (1263-1328), Muhammad ibn Abd al Wahhab (1703-1787), dan Muhammad Abduh (1849-1905). Pendekatan masing-masing pun berbeda dalam upaya mengajak kaum Muslim untuk kembali kepada Islam Salafi; Ibn Taymiyyah cenderung polemisis, Muhammad ibn Abd al Wahhab suka memakai cara-cara kekerasan, dan Abduh senang dengan pendekatan rasional.
Yang dimaksud dengan gerakan salafi dalam kertas kerja ini adalah munculnya orang-orang yang belakangan ini menyebut diri sendiri Salafi, dengan tokoh-tokoh terkemuka ulama-ulama Timur Tengah seperti Syaikh bin Baz, Syaikh Nashiruddin al Albani, Syaikh Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan al Fauzan dan lain-lain.
Gerakan ini sangat suka menyesatkan ulama di luar golongan mereka yang mereka nilai sudah menyimpang dari jalan hidup salaf al shaleh. Sangat suka mengkritik ulama-ulama di luar mereka dengan cara mengutip karya-karya ulama itu secara partial, dan atas pandangan yang partial itu mereka mengambil kesimpulan umum, seperti menyesatkan pandangan Imam Al Ghazali, Sayyid Quthub, Yusuf Qardhawi, Abul A’la al Maududy dan lain-lain. Mereka juga cenderung menempatkan gerakan ummat Islam di luar mereka sebagai firqah yang sesat, seperti sesatnya gerakan Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, dan lain-lain… dan senang menyebut diri sebagai “firqah al najiyah (kelompok selamat)..”
[5] Hari raya dalam bahasa Arab disebut dengan kata عيد ج أعياد… yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “perayaan, keramaian, atau festival”. Pengertian seperti di atas antara lain dijumpai dalam Shaheh Al Bukhari juz I halaman 324, yang dapat kita kutipkan:
.... فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم يا أبا بكر إن لكل قوم عيدا وهذا عيدنا
“….lantas Rasulullah SAW bersabda: Wahai Abu Bakar, sesungguhnya bagi setiap kaum ada hari raya (keramaian/ festival) dan ini adalah hari raya kita.”
[6] Menurut Buya HAMKA rahimahullah:
“Di tahun 1400 berdiri kerajaan Islam, Malaka. Raja-raja Islam Malaka, mulai daripada Sultan Mahmud Syah, terang-terang menjadi pembela dan penyiar agama Islam. Maka mana rakyat Minangkabau yang tidak merasa puas dengan susunan kebudayaan campuran Hindu – Islam itu, Srimenanti, Jehol, Naning, Lukut dan lain-lain; itulah yang pindah ke tanah Malaka, membuat negeri di Rambau, masyhur dengan nama “Negeri Sembilan”. Raja-raja asal Minangkabau di sana, memakai gelar “yang dipertuan”, dengan singkat “yamtuan”. Supaya perhubungan dengan negeri asal jangan putus, ditetapkan juga daerah itu sebagai rantau dari Tuan Makhdum, yang memang tebal ke-Islamannya.
Sebagai juga Kampar, Indragiri dan Siak menjadi rantau daripada Tuan Qadhi…” (HAMKA “Islam dan Adat Minangkabau” cet I, 1984, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas., halaman 10 -11)
[7] Di Sungai Tonang terdapat sebuah pandam perkuburan yang dinamakan oleh masyarakat dengan “Kubu Niniok Nuwun” pengertian bahasa Indonesianya “Kubur Nenek yang turun dari Kapal”. Diduga bahwa beliau adalah seorang puteri yang berasal dari Malaysia (Malaka?!) yang menyelamatkan diri dari huru hara politik yang terjadi di kerajaannya, bersama pengiringnya yang setia beliau menyeberangi Selat Malaka, memasuki Sungai Kampar, maka dari kapal yang ditumpanginya beliau bersama pengiringnya turun lalu mendarat di Sungai Tonang, wafat dan di kebumikan di sana… Tentang nama, waktu dan peristiwa yang dialami sang puteri, sekarang sedang dalam penyelidikan Pemerintah Kerajaan Malaysia dan Propinsi Riau. Demikian menurut informasi yang penulis terima pada Idul Fitri 1428 H lalu dari warga. Wallu a’lam.
[8] Imam At-Turmuzi mengomentari hadits yang dicantumkan pada catatan kaki sebelumnya (Sunan At-Turmuzi, hadits No 759):
…. وقد استحب قوم صيام ستة أيام من شوال بهذا الحديث قال بن المبارك هو حسن هو مثل صيام ثلاثة أيام من كل شهر قال بن المبارك ويروى في بعض الحديث ويلحق هذا الصيام برمضان واختار بن المبارك أن تكون ستة أيام في أول الشهر وقد روي عن بن المبارك انه قال إن صام ستة أيام من شوال متفرقا فهو جائز ......
“…Suatu kaum (ulama) menyukai (mensunatkan) pelaksanaan puasa enam hari dari bulan Syawal, berdasarkan hadits ini. Ibnu Mubarak berkata: ia adalah bagus, (hukumnya) sama dengan (hukum) berpuasa tiga hari setiap bulan. Ibnu Mubarak berkata dan meriwayatkan pada sebagian hadits, serta menggabungkan puasa ini dengan Ramadhan. Ibnu Mubarak memilih bahwa; (pelaksanaannya) adalah enam hari di awal bulan itu. Dan diriwayatkan dari Ibnu Mubarak bahwa ia berkata: Jika seseorang berpuasa enam hari dari bulan Syawal secara terpisah-pisah, maka yang demikian adalah jaiz (boleh saja).” (At Turmuzi, Op.cit)
[9] Setelah mempelajari dan menimba pelajaran dari pandangan-pandangan para ahli tentang kebudayaan atau kultur, H. Endang Saifuddin Anshari. MA menyimpulkan:
“Kebudayaan (kultur) adalah hasil karya-cipta (pengolahan, pengerahan, dan pengarahan terhadap alam oleh) manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, imajinasi dan fakultas-fakultas rohaniah lainnya) dan raganya, yang menyatakan diri dalam pelbagai kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup lahiriah) manusia, sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari intra diri manusia dan ekatra diri manusia, menuju arah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan (spritual dan materiil) manusia, baik “individu” maupun “masyarakat” ataupun “individu dan masyarakat” ….” (H. Endang Saifuddin Anshari, MA. “Agama dan Kebudayaan” cet II 1982, Surabaya. PT. Bina Ilmu, halaman 32).
[10] Teks asli:
صحيح مسلم ج: 2 ص: 592
867 وحدثني محمد بن المثنى حدثنا عبد الوهاب بن عبد المجيد عن جعفر بن محمد عن أبيه عن جابر بن عبد الله قال ثم كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خطب احمرت عيناه وعلا صوته واشتد غضبه حتى كأنه منذر جيش يقول صبحكم ومساكم ويقول بعثت أنا والساعة كهاتين ويقرن بين إصبعيه السبابة والوسطى ويقول أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدى هدى محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة ثم يقول أنا أولى بكل مؤمن من نفسه من ترك مالا فلأهله ومن ترك دينا أو ضياعا فإلي وعلي
[11] Teks asli
صحيح ابن حبان ج: 1 ص: 178- 180
ذكر وصف الفرقة الناجية من بين الفرق التي تفترق عليها صلى الله عليه وسلم 5 أخبرنا أحمد بن مكرم بن خالد البرتي حدثنا علي بن المديني حدثنا الوليد بن مسلم حدثنا ثور بن مسلم حدثنا ثور بن يزيد حدثني خالد بن معدان حدثني عبد الرحمن بن عمرو السلمي وحجر بن حجر الكلاعي قالا ثم أتينا العرباض بن سارية وهو ممن نزل فيه ولا على الذين إذا ما أتوك لتحملهم قلت لا أجد ما أحملكم عليه فسلمنا وقلنا أتيناك زائرين ومقتبسين فقال العرباض صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم الصبح ذات يوم ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب فقال قائل يا رسول الله كأن هذه موعظة مودع فماذا تعهد إلينا قال أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا مجدعا فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين فتمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
Hadits yang mengandung pengertian yang sama dengan berbagai versi dan redaksi dijumpai pada:
المستدرك على الصحيحين ج: 1 ص: 176 المسند المستخرج على صحيح الإمام مسلم ج: 1 ص: 35 المسند المستخرج على صحيح الإمام مسلم ج: 1 ص: 37 موارد الظمآن ج: 1 ص: 56 سنن الترمذي ج: 5 ص: 44 سنن الدارمي ج: 1 ص: 57 سنن أبي داود ج: 4 ص: 200 سنن ابن ماجه ج: 1 ص: 15 مسند أحمد ج: 4 ص: 126 إيقاظ الهمم ج: 1 ص: 45
[12] Teks asli
صحيح البخاري ج: 2 ص: 959
حدثنا يعقوب حدثنا إبراهيم بن سعد عن أبيه عن القاسم بن محمد عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد رواه عبد الله بن جعفر المخرمي وعبد الواحد بن أبي عون عن سعد بن إبراهيم
صحيح مسلم ج: 3 ص: 1343
باب نقض الأحكام الباطلة ورد محدثات الأمور 1718 حدثنا أبو جعفر محمد وعبد الله بن عون الهلالي جميعا عن إبراهيم بن سعد قال حدثنا إبراهيم بن سعد بن إبراهيم بن عبد الرحمن بن عوف حدثنا أبي عن القاسم بن محمد عن عائشة قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد 1718 وحدثنا إسحاق بن إبراهيم وعبد بن حميد جميعا عن أبي عامر قال عبد حدثنا عبد الملك بن عمرو حدثنا عبد الله بن جعفر الزهري عن سعد بن إبراهيم قال ثم سألت القاسم بن محمد عن رجل له ثلاثة مساكن فأوصى بثلث كل مسكن منها قال يجمع ذلك كله في مسكن واحد ثم قال أخبرتني عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Hadits yang sama dapat dijumpai pada:
صحيح ابن حبان ج: 1 ص: 207 مسند أبي عوانة 1 ج: 4 ص: 170 – 171 سنن البيهقي الكبرى ج: 10 ص: 119 سنن البيهقي الكبرى ج: 10 ص: 150 المنتقى لابن الجارود ج: 1 ص: 251 سنن الدارقطني ج: 4 ص: 224 سنن الدارقطني ج: 4 ص: 227 سنن أبي داود ج: 4 ص: 200 سنن ابن ماجه ج: 1 ص: 7
[13] Teks hadits
صحيح البخاري ج: 2 ص: 707
1906 وعن بن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري أنه قال ثم خرجت مع عمر بن الخطاب رضي الله عنه ليلة في رمضان إلى المسجد فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلي الرجل الرجل فيصلي بصلاته الرهط فقال عمر إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل ثم عزم فجمعهم على أبي بن كعب ثم خرجت معه ليلة أخرى والناس قارئهم قال عمر نعم البدعة هذه و التى ينامون عنها أفضل من التي يقومون يريد آخر الليل وكان الناس يقومون أوله
Hadits yang senada dapat dijumpai pada:
السنن الصغرى ج: 1 ص: 481 موطأ مالك ج: 1 ص: 114
[14] Teks hadits
سنن الترمذي ج: 5 ص: 45
2677 حدثنا عبد الله بن عبد الرحمن أخبرنا محمد بن عيينة عن مروان بن معاوية الفزاري عن كثير بن عبد الله هو بن عمرو بن عوف المزني عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لبلال بن الحرث اعلم قال ثم ما أعلم يا رسول الله قال اعلم يا بلال قال ما أعلم يا رسول الله قال أنه من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي فإن له من الأجر مثل من عمل بها أن ينقص من أجورهم شيئا ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا قال أبو عيسى هذا حديث حسن ومحمد بن عيينة هو مصيصي شامي وكثير بن عبد الله هو بن عمرو بن عوف المزني
[15] Teks asli hadits
صحيح مسلم ج: 4 ص: 2059
باب من سن سنة حسنة أو سيئة ومن دعا إلى هدى أو ضلالة 1017 حدثني زهير بن حرب حدثنا جرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن موسى بن عبد الله بن يزيد وأبي الضحى عن عبد الرحمن بن هلال العبسي عن جرير بن عبد الله قال ثم جاء ناس من الأعراب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم عليهم الصوف فرأى سوء حالهم قد أصابتهم حاجة فحث الناس على الصدقة فأبطؤا عنه حتى رؤى ذلك في وجهه قال ثم إن رجلا من الأنصار جاء بصرة من ينوي ثم جاء آخر ثم تتابعوا حتى عرف السرور في وجهه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم من سن في الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها ولا ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من أوزارهم شيء
Hadits senada dengan berbagai versi antara lain pada:
صحيح مسلم ج: 2 ص: 705 .... صحيح ابن خزيمة ج: 4 ص: 112 165 باب استحباب الإعلان بالصدقة ناويا لاستنان الناس بالمتصدق فيكتب لمبتدىء الصدقة مثل أجر المتصدقين إستنانا به .... صحيح ابن حبان ج: 8 ص: 101 9 باب صدقة التطوع.... المسند المستخرج على صحيح الإمام مسلم ج: 3 ص: 93 المسند المستخرج على صحيح الإمام مسلم ج: 3 ص: 94 ..... سنن الدارمي ج: 1 ص: 140 44 باب من سن سنة حسنة أو سيئة
[16] Ibn Manzur, Muhammad bin Mukram (t.t.), “Lisan al ‘Arab”, Beirut: Dar al Sadir. Juz VIII halaman 6:
. بدع بدع : بدَع الشيءَ يَبْدَعُه بَدْعاً و ابْتَدَعَه: أَنشأَه وبدأَه. و بدع الرَّكِيّة: اسْتَنْبَطَها وأَحدَثها. ورَكْيُّ بَدِيعٌ: حَديثةُ الـحَفْر. و البَدِيعُ و البِدْعُ: الشيء الذي يكون أَوّلاً. وفـي التنزيل: قُل ما كنتُ بِدْعاً من الرُّسُل ؛ أَي ما كنت أَوّلَ من أُرْسِلَ، قد أُرسل قبلـي رُسُلٌ كثـير. و البِدْعةُ: الـحَدَث وما ابْتُدِعَ من الدِّين بعد الإِكمال. ابن السكيت: البِدْعةُ كلُّ مُـحْدَثةٍ
[17] Abussa’adat Al Mubarak bin Muhammad al Jazri, “An Nihayah fii Ghariibil Hadits wal Atsar”, tahqiq: Thahir Ahmad Az Zawi – Mahmud Muhammad At Thanahi, 1399 H/ 1979 M, Beirut: Al Maktabah Al Ilmiyah.
النهاية في غريب الحديث ج: 1 ص: 106
بدع في أسماء الله تعالى البديع هو الخالق المختَرع لا عن مِثال سابق, فَعِيل بمعنى مُفْعِل . يقال أبدَع فهو مُبْدِع . هـ وفيه أن تِهاَمة كبَدِيع العسَل , حُلْو أوّله حُلْو آخره البديع : الزِّقُ الجَدِيد , شَبَّه به تِهامة لِطيب هوائها , وأنه لا يتغيَّر كما أن العسل لا يتغير.
[18] Razi, Muhammad bin Abu Bakar Abdul Qadir Ar- (1995) “al Mukhtar al Sihaah”, Beirut: Maktabah Lubnan Nasyirun, tahqiq: Mahmud Khatir. Juz I halaman 18 :
ب د ع أبْدَعَ الشيء اخترعه لاعلى مثال والله بديع السماوات والأرض أي مُبْدعهُما و البديعُ المبتدع و المُبْتَدَعُ أيضا و البديعُ أيضا الزق وفي الحديث إن تهامة كبديع العسل حلو أوله حلو آخره شبهها بزق العسل لأنه لا يتغير بخلاف اللبن و أبْدَعَ الشاعر جاء بالبديع وشيء بِدْعٌ بالكسر أي مبتدع وفلان بِدْعٌ في هذا الأمر أي بديع ومنه قوله تعالى قل ما كنت بدعا من الرسل و البِدْعةُ الحدث في الدين بعد الإكمال و استَبْدَعَهُ عده بديعا و بَدَّعَهُ تبْدِيعَاً نسبه إلى البدعة
[19] Abussa’adat Al Mubarak bin Muhammad al Jazri, “An Nihayah fii Ghariibil Hadits wal Atsar” Op.Cit Juz I halaman 106:
البدعة بِدْعَتاَن : بدعة هُدى, وبدعة ضلال , فما كان في خلاف ما أمَر الله به ورسوله صلى الله عليه وسلم فهو في حَيّز الذّم والإنكار , وما كان واقعا تحت عُموم ما نَدب الله إليه وحَضَّ عليه الله أو رسوله فهو في حَيّز المدح.
[20] “Lisan al Arab”, Op. Cit, Juz VIII halaman 6:
ابن الأَثـير: البِدْعةُ بدْعتان: بدعةُ هُدى، و بِدعة ضَلال، فما كان فـي خلاف ما أَمر الله به ورسوله ، فهو فـي حَيِزّ الذّمِّ والإِنكار، وما كان واقعاً تـحت عُموم ما ندَب الله إِلـيه وحَضّ علـيه أَو رسولُه فهو فـي حيِّز الـمدح
[21] Syatibi, Ibrahim bin Musa al Lakhmi (w. 790) “Al I’tisham”, 1406 H 1986 M, Beirut, Dar al Ma’rifah, Juz I halaman 36-37:
ثبت في علم الأصول أن الأحكام المتعلقة بأفعال العباد وأقوالهم ثلاثة : حكم يقتضيه معنى الأمر كان للإيجاب أو الندب وحكم يقتضيه معنى النهي كان للكراهة أو التحريم وحكم يقتضيه معنى التخيير وهو الإباحة فأفعال العباد وأقوالهم لا تعدو هذه الأقسام الثلاثة : مطلوب فعله ومطلوب تركة ومأذون في فعله وتركه والمطلوب تركه لم يطلب تركه إلا لكونه مخالفا للقسمين الأخيرين لكنه على ضربين :
أحدهما : أن يطلب تركه وينهى عنه لكونه مخالفة خاصة مع مجرد النظر عن غير ذلك وهو إن كان محرما سمي فعلا معصية وإثما وسمي فاعله عاصيا وآثما وإلا لم يسم بذلك ودخل في حكم العفو حسبما هو مبين في غير هذا الموضع ولا يسمى بحسب الفعل جائزا ولا مباحا لأن الجمع بين الجواز والنهي جمع بين متنافيين
والثاني : أن يطلب تركه وينهى عنه لكونه مخالفة لظاهر التشريع من جهة ضرب الحدود وتعيين الكيفيات والتزام الهيئات المعينة أو الأزمنة المعينة مع الدوام ونحو ذلك
وهذا هو الابتداع والبدعة ويسمى فاعله مبتدعا
[22] Ibid.
فالبدعة إذن عبارة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه وهذا على رأي من لا يدخل العادات في معنى البدعة وإنما يخصها بالعبادات وأما على رأي من أدخل الأعمال العادية في معنى البدعة فيقول : البدعة طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية ولا بد من بيان ألفاظ هذا الحد فالطريقة والطريق والسبيل والسنن هي بمعنى واحد وهو ما رسم للسلوك عليه وإنما قيدت بالدين لأنها فيه تخترع وإليه يضيفها صاحبها وأيضا فلو كانت طريقة مخترعة في الدنيا على الخصوص لم تسم بدعة كإحداث الصنائع والبلدان التي لا عهد بها فيما تقدم
[23] Ibid.
ولما كانت الطرائق في الدين تنقسم ـ فمنها ما له أصل في الشريعة ومنها ما ليس له أصل فيها ـ خص منها ما هو المقصود بالحد وهو القسم المخترع أي طريقة ابتدعت على غير مثال تقدمها من الشارع إذ البدعة إنما خاصتها أنها خارجة عما رسمه الشارع وبهذا القيد انفصلت عن كل ما ظهر لبادي الرأي أنه مخترع مما هو متعلق بالدين كعلم النحو والتصريف ومفردات اللغة وأصول الفقه وأصول الدين وسائر العلوم الخادمة للشريعة فإنها وإن لم توجد في الزمان الأول فأصولها موجودة في الشرع إذ الأمر بإعراب القرآن منقول وعلوم اللسان هادية للصواب في الكتاب والسنة فحقيقتها إذا أنها فقه التعبد بالألفاظ الشرعية الدالة على معانيها كيف تؤخذ وتؤدي
[24] Ibid.
وأصول الفقه إنما معناها استقراء كليات الأدلة حتى تكون عند المجتهد نصب عين وعند الطالب سهلة الملتمس
وكذلك أصول الدين وهو علم الكلام إنما حاصله تقرير لأدلة القرآن والسنة أو ما ينشأ عنها في التوحيد وما يتعلق به كما كان الفقه تقريرا لأدلتها في الفروع العبادية
( فإن قيل ) : فإن تصنيفها على ذلك الوجه مخترع
( فالجواب ) : أن له أصلا في الشرع ففي الحديث ما يدل عليه ولو سلم أنه ليس في ذلك دليل على الخصوص فالشرع بجملته يدل على اعتباره وهو مستمد من قاعدة المصالح المرسلة وسيأتي بسطها بحول الله
[25] Ibid.
فعلى القول بإثباتها أصلا شرعيا لا إشكال في أن كل علم خادم للشريعة داخل تحت أدلته التي ليست بمأخوذة من جزئي واحد فليست ببدعة البتة
وعلى القول بنفيها لا بد أن تكون تلك العلوم مبتدعات إذا دخلت في علم البدع كانت قبيحة لأن كل بدعة ضلالة من غير إشكال كما يأتي بيانه إن شاء الله
[26] Ibid.
ويلزم من ذلك أن يكون كتب ا لمصحف وجمع القرآن قبيحا وهو باطل بالإجماع فليس إذا ببدعة ......
[27] Ibid.
فعلى هذا لا ينبغي أن يسمى علم النحو أو غيره من علوم اللسان أو علم الأصول أو ما أشبه ذلك من العلوم الخادمة للشريعة بدعة أصلا ومن سماه بدعة فإما على المجاز كما سمى عمر بن الخطاب رضي الله عنه قيام الناس في ليالي رمضان بدعة وإما جهلا بمواقع السنة والبدعة فلا يكون قول من قال ذلك معتدا به ولا معتمدا عليه
[28] Ibid.
وقوله في الحد تضاهي الشرعية يعني أنها تشابه الطريقة الشرعية من غير أن تكون في الحقيقة كذلك بل هي مضادة لها من أوجه متعددة
منها : وضع الحدود كالناذر للصيام قائما لا يقعد ضاحيا لا يستظل والاختصاص في الانقطاع للعبادة والاقتصار من المأكل والملبس على صنف دون صنف من غير علة
ومنها : التزام الكيفيات والهيئات المعينة كالذكر بهيئة الاجتماع على صوت واحد واتخاذ يوم ولادة النبي صلى الله عليه وسلم عيدا وما أشبه ذلك
ومنها : التزام العبادات المعينة في أوقات معينة لم يوجد لها ذلك التعيين في الشريعة كالتزام صيام يرم النصف من شعبان وقيام ليلته
[29] Ibid.
وثم أوجه تضاهي بها البدعة الأمور المشروعة فلو كانت لا تضاهي الأمور المشروعة لم تكن بدعة ـ لأنها تصير من باب الأفعال العادية
[30] ‘Asqalani, Ahmad b. ‘Ali b. Hajar al- (1379H), Fath al-Bari. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi dan Muhibb al-Din al-Khatib (tahqiq). Beirut: Dar al-Ma‘rifah. Juz XIII, halaman 253
....ما أحدث وليس له أصل في الشرع ويسمى في عرف الشرع بدعة وما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة فالبدعة في عرف الشرع مذمومة بخلاف اللغة فان كل شيء أحدث مثال يسمى بدعة سواء كان محمودا أو مذموما وكذا القول في المحدثة
[31] Ibid.
وفي الأمر المحدث الذي ورد في حديث عائشة من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد كما تقدم شرحه ومضى بيان ذلك قريبا في كتاب الأحكام وقد وقع في حديث جابر المشار اليه وكل بدعة ضلالة وفي حديث العرباض بن سارية وإياكم ومحدثات الأمور فان كل بدعة ضلالة وهو حديث أوله وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظة بليغة فذكره وفيه هذا أخرجه احمد وأبو داود والترمذي وصححه بن ماجة وابن حبان والحاكم وهذا الحديث في المعنى قريب من حديث عائشة المشار اليه وهو من جوامع الكلم قال الشافعي البدعة بدعتان محمودة ومذمومة فما وافق السنة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم أخرجه أبو نعيم بمعناه من طريق إبراهيم بن الجنيد عن الشافعي وجاء عن الشافعي أيضا ما أخرجه البيهقي في مناقبه قال المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال وما أحدث من الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة انتهى
[32] Lihat. Muhammad bin Bahadir bin Abdillah Az Zarkasyi Abu Abdillah (745 H sd 794) “Al Mantsur” tahqiq: Dr. Taisir Faiq Ahmad Mahmud,1405 H, Kuwait; Cet: 2, Wazaratul Auqaf was suuunil Islamiyah. Juz I, halaman 217-218:
حرف الباء البدعة قال ابن درستويه هي في اللغة احداث سنة لم تكن وتكون في الخير والشر ومنه قولهم فلان بدعة إذا كان مجاوزا في حذقه وجعل منه ابن فارس في المقاييس قوله تعالى قل ما كنت بدعا من الرسل أي أول فأما في الشرع فموضوعه للحادث المذموم وإذا أريد الممدوح قيدت ويكون ذلك مجازا شرعيا حقيقة لغوية وفي الحديث كل بدعة ضلالة وقال الإمام الشافعي رضي الله عنه المحدثات ضربان وإذا كانت ليس فيها رد لما مضى انتهى وانظر كيف تحرز الإمام الشافعي رضي الله عنه في كلامه عن لفظ البدعة ولم يزد على لفظ المحدثة وتاول قول عمر رضي الله عنه على ذلك وقال المتولي في التتمة في باب صلاة الجماعة البدعة اسم لكل زيادة في الدين سواء كانت طاعة أو معصية فالبدعة بزيادة الطاعة مثل كثرة الصلاة والصوم والصدقة سواء وافق الشرع أم لا بأن يتعبد في وقت الكراهة قال والمتبدع بالمعصية كالطعن في الصحابة أو به خلل في العقيدة فإن كان لا يكفر بها فحكمه حكم الفاسق وإلا فهو كافر قال وهل يقطع بأنه من أهل النار ظاهر المذهب وعليه يدل كلام الشافعي رضي الله عنه أنه من جملة العاصين وحاله في المشيئة كحال سائر العصاة ومن أصحابنا من قطع بأنه من أهل النار لقوله صلى الله عليه وسلم كل كذب ضلالة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار
[33] Lihat. Syatibi, Ibrahim bin Musa al Lakhmi (w. 790) “al-Muwafaqat Fi Usul alSyariah”, muhaqqiq: Abdullah Darraz, Beirut: Dar al Ma’rifah. Juz II, halaman 340-42:
...فإن قيل إن العلماء قد قسموا البدع بأقسام الشريعة والمذموم منها بإطلاق هو المحرم وأما المكروه فهو الذم فيه بإطلاق وما عدا قبيح شرعا فالواجب منها والمندوب حسن بإطلاق وممدوح فاعله ومستنبطه والمباح حسن باعتبار فعلى الجملة من استحسن من البدع ما استحسنه الأولون لا يقول إنها مذمومة ولا مخالفة لقصد الشارع بل هي موافقة أي موافقة كجمع الناس على المصحف العثماني والتجميع فى قيام رمضان فى المسجد وغير ذلك من المحدثات الحسنة التي اتفق الناس على حسنها أعني السلف الصالح والمجتهدين من الأمة وما رآه المسلمون حسنا فهو ثم الله حسن فجميع هذه الأشياء داخله تحت ترجمة المسألة إذ هي أفعال مخالفة للشارع لأنه لم يضعها مقترنة بقصد موافق لأنهم لم يقصدوا إلا الصلاح وإذا كان كذلك وجب أن لا تكون البدع كلها مذمومة خلاف المدعى فالجواب أن هذا كله ليس مما وقعت الترجمة عليه فإن الفرض أن الفعل مخالف للفعل الذي وضعه الشارع وما أحدثه السلف وأجمع عليه العلماء لم يقع فيه مخالفة لما وضعه الشارع بحال بيان ذلك أن جمع المصحف مثلا لم يكن في زمان رسول الله صلى الله عليه وسلم للاستغناء عنه بالحفظ في الصدور ولأنه لم يقع في القرآن اختلاف يخاف بسببه الاختلاف في الدين وإنما وقعت فيه نازلتان أو ثلاثة كحديث عمر بن الخطاب مع هشام بن حكيم رضي الله عنهما وقصة أبي بن كعب مع عبد الله بن مسعود رضي الله عنهما وفيه قال عليه الصلاة والسلام لا تماروا في القرآن فإن المرآء فيه كفر فحاصل الأمر أن جمع المصحف كان مسكوتا عنه في زمانه عليه الصلاة والسلام ثم لما وقع الاختلاف في القرآن وكثر حتى صار أحدهم يقول لصاحبه أنا كافر بما تقرأ به صار جمع المصحف واجبا ورأيا رشيدا في واقعة لم يتقدم بها عهد فلم يكن فيها مخالفة وإلا لزم أن يكون النظر في كل واقعة لم تحدث في الزمان المتقدم بدعة وهو باطل باتفاق لكن مثل هذا النظر من باب الاجتهاد الملائم لقواعد الشريعة وإن لم يشهد له أصل معين وهو الذي يسمى المصالح المرسلة وكل ما أحدثه السلف الصالح من هذا القبيل لا يتخلف عنه بوجه وليس من المخالف لمقصد الشارع أصلا
[34] Abi Muhammad ‘Izzuddin Abdil Aziz bin Abdissalam As Sulami (w.660 H) “Qawa’idul Ahkam Fii Mashalihil ‘Anam”, t.t.h, Beirut: Darul Ma’rifah, juz II, halaman 172-173:
فصل في البدع البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم وهي منقسمة إلى بدعة واجبة وبدعة مندوبة وبدعة مكروهة وبدعة مباحة والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة فإن دخلت في قواعد الايجاب فهي واجبة وان دخلت في قواعد التحريم وان دخلت في قواعد المندوب فهي مندوبة وان دخلت في قواعد المباح فهي مباحة
[35] An Nawawi, Abu Zakarya Muhyiddin (631 H – 676 H), “Syarhu An Nawawi ‘ala Shaheh Muslim”, cet: III, 1292, Beirut: Daar Ihyaa al Turats al ‘Arabi, Juz VII, halaman 104-105.
شرح النووي على صحيح مسلم ج: 7 ص: 104- 105
قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
[36]Ibnu Manzur, “Lisan al ‘Arab” Op. Cit. Juz XIII, halaman 220:
وقد تكرر في الحديث ذكر السُّنَّة وما تصرف منها والأَصل فيه الطريقة والسِّيرَة وإذا أُطْلِقَت في الشرع فإِنما يراد بها ما أَمَرَ به النبيُّ صلى الله عليه وسلم ونَهى عنه ونَدَب إليه قولاً وفعلاً مما لم يَنْطق به الكتابُ العزيز ولهذا يقال في أَدلة الشرع الكتابُ والسُّنَّةُ أَي القرآن والحديث وفي الحديث إِنما أُنَسَّى لأِسُنَّ أَي إنما أُدْفَعُ إلى النِّسْيانُ لأَسُوقَ الناسَ بالهداية إلى الطريق المستقيم وأُبَيِّنَ لهم ما يحتاجون أَن يفعلوا إذا عَرَضَ لهم النسيانُ قال ويجوز أَن يكون من سَنَنْتُ الإِبلَ إذا أَحْسنت رِعْيتَها والقيام عليها وفي الحديث أَنه نزل المُحَصَّبَ ولم يَسُنَّهُ أَي لم يجعله سُنَّة يعمل بها قال وقد يَفْعل الشيء لسبب خاص فلا يعمّ غيره وقد يَفْعل لمعنى فيزول ذلك المعنى ويبقى الفعل على حاله مُتَّبَعاً كقَصْرِ الصلاة في السفر للخوف ثم استمرّ القصر مع عدم الخوف ومنه حديث ابن عباس رَمَلَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم وليس بسُنَّة أَي أَنه لم يَسُنَّ فِعْلَه لكافة الأُمّة ولكن لسبب خاص وهو أَن يُرِيَ المشركين قوّة أَصحابه وهذا مذهب ابن عباس وغيره يرى أَن الرَّمَلَ في طواف القدوم سنَّة وفي حديث مُحَلِّمِ ابن جَثَّامة اسْنُنِ اليومَ وغَيِّرْ غداً أَي اعْمَلْ بسُنَّتك التي سَنَنْتها في القِصاصِ ثم بعد ذلك إذا شئت أَن تغير فغير أَي تغير ما سَننْتَ وقيل تُغَيِّر من أَخذ الغِيَر وهي الدية وفي الحديث إن أَكبر الكبائر أَن تُقاتل أَهل صَفْقَتِك وتُبَدِّلَ سُنَّتَك أَراد بتبديل السُّنة أَن يرجع أَعرابيّاً بعد هجرته وفي حديث المجوس سُنُّوا بهم سُنَّة أَهل الكتاب أَي خذوهم على طريقتهم وأَجْرُوهم في قبول الجزية مُجْراهم وفي الحديث لا يُنْقَضُ عَهْدُهم عن سُنَّةِ ماحِلٍ أَي لا ينقض بسَعْيِ ساع بالنميمة والإِفساد كما يقال لا أُفْسِدُ ما بيني وبينك بمذاهب الأَشرار وطُرُقهم في الفساد والسُّنَّة الطريقة والسَّنن أَيضاً وفي الحديث أَلا رجلٌ يَرُدُّ عَنَّا من سَنَنِ هؤلاء التهذيب السُّنَّةُ الطريقة المحمودة المستقيمة ولذلك قيل فلان من أَهل السُّنَّة معناه من أَهل الطريقة المستقيمة المحمودة وهي مأْخوذة من السَّنَنِ وهو الطريق ويقال للخَطّ الأَسود على مَتْنِ الحمار سُنَّة والسُّنَّة الطبيعة وبه فسر بعضهم قول الأَعشى كَرِيمٌ شَمَائِلُه من بَنِي مُعاويةَ الأَكْرَمينَ السُّنَنْ وامْضِ على سَنَنِك أَي وَجْهك وقَصْدك وللطريق سَنَنٌ أَيضاً وسَنَنُ الطريق وسُنَنُه وسِنَنُه وسُنُنُه نَهْجُه يقال خَدَعَك سَنَنُ الطريق وسُنَّتُه والسُّنَّة أَيضاً سُنَّة الوجه وقال اللحياني تَرَك فلانٌ لك سَنَنَ الطريق وسُنَنَه وسِنَنَه أَي جِهَتَه قال ابن سيده ولا أَعرف سِنَناً عن غير اللحياني شمر السُّنَّة في الأَصل سُنَّة الطريق وهو طريق سَنَّه أَوائل الناس فصارَ مَسْلَكاً لمن بعدهم وسَنَّ فلانٌ طريقاً من الخير يَسُنُّه إِذا ابتدأَ أَمراً من البِرِّ لم يعرفه قومُه فاسْتَسَنُّوا به وسَلَكُوه وهو سَنِين ويقال سَنَّ الطريقَ سَنّاً وسَنَناً فالسَّنُّ المصدر والسَّنَنُ الاسم بمعنى المَسْنون ويقال تَنَحَّ عن سَنَنِ الطريق وسُنَنه وسِنَنِه ثلاث لغات قال أَبو عبيد سَنَنُ الطريق وسُنُنُه مَحَجَّتُه وتَنَحَّ عن سَنَنِ الجبل أَي عن وجهه الجوهري السَّنَنُ الطريقة يقال استقام فلان على سَنَنٍ واحد ويقال امْضِ على سَنَنِك وسُنَنِك أَي على وجهك والمُسَنْسَِنُ الطريق المسلوك وفي التهذيب طريق يُسْلَكُ وتَسَنَّنَ الرجلُ في عَدْوِه واسْتَنَّ مضى على وجهه وقول جرير ظَلِلْنا بمُسْتَنِّ الحَرُورِ كأَننا لَدى فَرَسٍ مُسْتَقْبِلِ الريحِ صائِم عنى بمُسْتَنِّها موضعَ جَرْي السَّرابِ وقيل موضع اشتداد حرها كأَنها تَسْتَنُّ فيه عَدْواً وقد يجوز أَن يكون

[37] Abussa’adat Al Mubarak bin Muhammad al Jazri, “An Nihayah fii Ghariibil Hadits wal Atsar” Op.Cit Juz II halaman 1022:
النهاية في غريب الأثر [ جزء 2 - صفحة 1022 ]
{ سنن } ... قد تكرر في الحديث ذكر [ السُّنة ] وما تصرَّف منها . والأصلُ فيها الظريفة والسِّيرة . وإذا أُطْلِقَت في الشَّرع فإنما يُرادُ بها ما أمَرَ به النبي صلى اللّه عليه وسلم ونهى عنه ونَدَب إليه قولا وفِعْلا مما لم يَنْطق به الكِتابُ العزيزُ . ولهذا يقال في أدِلَّة الشَّرع الكِتابُ والسُّنَّة أي القرآن والحديث
[38] Razi, Muhammad bin Abu Bakar Abdul Qadir Ar- (1995) “al Mukhtar al Sihaah”, Op. Cit. Juz I, halaman 326:
مختار الصحاح [ جزء 1 - صفحة 326 ]
[ سنن ] س ن ن : السَّنَنُ الطريقة يقال استقام فلان على سنن واحد ويقال امض على سَنَنِكَ و سُنَنِكَ أي على وجهك
[39] سنن
سُنَّةَ اللَّهِ: الأحزاب/38 /62 الفتح/23 (3) سُنَّتَ اللَّهِ: غافر/85 (1) لِسُنَّةِ اللَّهِ: الأحزاب/62 الفتح/23 (2) لِسُنَّتِ اللَّهِ: فاطر/43 /43 (2) سُنَّتَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ: غافر/85 (1) سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ: الفتح/23 (1) سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلُ: الأحزاب/38 /62 (2) سُنَّتُ الأَوَّلِينَ: الأنفال/38 (1) سُنَّةُ الأَوَّلِينَ: الحجر/13 الكهف/55 (2) سُنَّتَ الأَوَّلِينَ: فاطر/43 (1)
[40] Lihat: تفسير الطبري ج: 4 ص: 100
وأما السنن فإنها جمع سنة والسنة هي المثال المتبع والإمام الموتم به يقال منه سن فلان فينا سنة حسنة وسن سنة سيئة إذا عمل عملا اتبع عليه من خير وشر ومنه قول لبيد ابن ربيعة من معشر سنت لهم آباؤهم ولكل قوم سنة وإمامها وقول سليمان بن قتة وإن الألى بالطف من آل هاشم تآسوا فسنوا للكرام التآسيا وقال ابن زيد في ذلك ما حدثني يونس قال أخبرنا ابن وهب قال قال ابن زيد في قوله قد خلت من قبلكم سنن قال أمثال
[41] Misalnya lihat: تفسير ابن كثير ج: 1 ص: 409
قد خلت من قبلكم سنن أي قد جرى نحو هذا على الأمم الذين كانوا من قبلكم من أتباع الأنبياء ثم كانت العاقبة لهم والدائرة على الكافرين ولهذا قال تعالى فسيروا في الأرض فانظروا كيف كان عاقبة المكذبين ثم قال تعالى هذا بيان للناس يعني القرآن فيه بيان الأمور على جليتها وكيف كان الأمم الأقدمون مع أعدائهم وهدى وموعظة يعني القرآن فيه خبر ما قبلكم وهدى لقلوبكم وموعظة أي زاجرا عن المحارم والمآثم
[42] Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala (1283 H – 1353 H) “Tuhfatu al Ahwazi”, t.th. Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyah. Juz VII, halaman 365:
تحفة الأحوذي ج: 7 ص: 365
قوله عن ابن جرير بن عبد الله اسمه المنذر بن جرير بن عبد الله البجلي الكوفي مقبول من الثالثة قوله من سن سنة خير وفي رواية مسلم من سن في الإسلام سنة حسنة أي أتى بطريقة مرضية يشهد لها أصل من أصول الدين فاتبع بصيغة المجهول والضمير إلى من عليها أو على تلك السنة فله أجره الضميران يرجعان إلى من سن أي له أجر عمله بتلك السنة منقوص من أجورهم شيئا بالنصب على أنه مفعول مطلق أي لا ينقص من أجورهم شيئا من النقص ومن سن سنة شر وفي بعض النسخ سنة سيئة وفي رواية مسلم ومن سن في الإسلام سنة سيئة أي مرضية لا يشهد لها أصل من أصول الدين قوله وفي الباب عن حذيفة أخرجه أحمد قوله هذا حديث حسن صحيح وأخرجه مسلم مطولا وابن ماجة من طريق المنذر بن جرير عن أبيه
[43] Abdul Wahab Khallaf “’Ilmu Ushul al Fiqh”, 1398 H, 1978 M, Kuwait: Daar al Qalam, halaman 36
السنة في الإصطلاح الشرعي : هي ما صدر عن رسول الله e من ، قول ، أو فعل ، أو تقرير .
[44] Ibid.
[45] Al-Syatibi, Ibrahim bin Musa al-Lakhmi (1999), al-Muwafaqat Fi Usul al-Syariah, Beirut: Dar al-Ma’rifah, jil. 2 m.s. 324.
[46] Ibid, m.s. 326.
[47] Ibid, m.s. 331.
[48] Jiwa seperti inilah yang diharapkan muncul setelah ziarah kubur:
صحيح مسلم ج: 2 ص: 672
977 حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة ومحمد بن عبد الله بن نمير ومحمد بن المثنى واللفظ لأبي بكر وابن نمير قالوا حدثنا محمد بن فضيل عن أبي سنان وهو ضرار بن مرة عن محارب بن دثار عن بن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها ونهيتكم عن لحوم الأضاحي فوق ثلاث فأمسكوا ما بدا لكم ونهيتكم عن النبيذ إلا في سقاء فاشربوا في الأسقية كلها ولا تشربوا مسكرا قال بن نمير في روايته عن عبد الله بن بريدة عن أبيه
المنتقى لابن الجارود ج: 1 ص: 219
863 حدثنا محمد بن يحيى قال ثنا أبو عاصم عن سفيان عن علقمة بن مرثد عن سليمان بن بريدة عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثم إني كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها فإن محمدا أذن له في زيارة أمه وإنها تذكر الآخرة ونهيتكم عن أن تمسكوا عن لحوم الأضاحي فوق ثلاث أردت بذلك أن يتسع أهل السعة على من لا سعة له فكلوا وادخروا ونهيتكم عن الظروف وإن ظرفا لا يحل شيئا ولا يحرمه وكل مسكر حرام
فتح الباري ج: 3 ص: 148
قوله باب زيارة القبور أي مشروعيتها وكأنه لم يصرح بالحكم لما فيه من الخلاف كما سيأتي وكأن المصنف لم يثبت على شرطه الأحاديث المصرحه بالجواز وقد أخرجه مسلم من حديث بريدة وفيه نسخ النهي عن ذلك ولفظه كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها وزاد أبو داود والنسائي من حديث أنس فإنها تذكر الآخرة وللحاكم من حديثه فيه وترق القلب وتدمع العين فلا تقولوا هجرا أي كلاما فاحشا وهو بضم الهاء وسكون الجيم وله من حديث بن مسعود فإنها تزهد في الدنيا ولمسلم من حديث أبي هريرة مرفوعا زوروا القبور فإنها تذكر الموت قال النووي تبعا للعبدري والحازمي وغيرهما اتفقوا على أن زيارة القبور للرجال جائزة كذا اطلقوا وفيه نظر لأن بن أبي شيبة وغيره روى عن بن سيرين وإبراهيم النخعي والشعبي الكراهة مطلقا حتى قال الشعبي لولا نهي النبي صلى الله عليه وسلم لزرت قبر ابنتي فلعل من أطلق أراد بالاتفاق ما استقر عليه الأمر بعد هؤلاء وكأن هؤلاء لم يبلغهم محمود والله أعلم ومقابل هذا قول بن حزم أن زيارة القبور واجبة ولو مرة واحدة في العمر لورود الأمر به واختلف في النساء فقيل دخلن في عموم الإذن وهو قول الأكثر ومحله ما إذا أمنت الفتنة ويؤيد الجواز حديث الباب وموضع الدلالة منه أنه صلى الله عليه وسلم لم ينكر على المرأة قعودها ثم القبر وتقريره حجة
[49] Tentang amalan yang dilakukan pada waktu ziarah kubur sebenarnya terdapat perbedaan pendapat ulama, seperti kita kutip dari: Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Muqaddisi Abu Muhammad (541 H-620H) “Al Mughni”, cet. I 1405, Beirut: Daar al Fikr.
المغني ج: 2 ص: 224
فصل وإذا مر بالقبور أوزارها استحب أن يقول ما روى عن مسلم عن بريدة قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعلمهم إذا خرجوا إلى المقابر فكان قائلهم يقول السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين والمسلمين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون نسأل الله لنا ولكم العافية وفي حديث عائشة ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وفي حديث آخر اللهم لا تحرمنا أجرهم ولا تفتنا بعدهم وإن أراد قال اللهم اغفر لنا ولهم كان حسنا فصل قال ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص 1 ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ وقال الخلال حدثني أبو علي الحسن بن الهيثم البزار شيخنا الثقة المأمون قال رأيت أحمد بن حنبل يصلي خلف ضرير يقرأ على القبور وقد روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال من دخل المقابر فقرأ سورة يس خفف عنهم يومئذ وكان له بعدد من فيها حسنات وروي عنه عليه السلام من زار قبر والديه فقرأ عنده أو عندهما يس غفر له
المغني ج: 2 ص: 225- 226
فصل ونصف قربة فعلها وجعل ثوابها للميت المسلم نفعه ذلك إن شاء الله أما الدعاء والاستغفار والصدقة وأداء الواجبات فلا أعلم فيه خلافا إذا كانت الواجبات مما يدخله النيابة وقد قال الله تعالى والذين جاؤوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان الحشر 10 وقال الله تعالى واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات محمد 19 ودعا النبي صلى الله عليه وسلم لأبي سلمة حين مات وللميت الذي صلي عليه في حديث عوف بن مالك ولكل ميت صلي عليه وسأل رجل النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن أمي ماتت فينفعها إن تصدقت عنها قال نعم رواه أبو داود وروي ذلك عن سعد بن عبادة وجاءت امرأة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت يا رسول الله إن فريضة الله في الحج أدركت أبي شيخا كبيرا لا يستطيع أن يثبت على الراحلة أفأحج عنه قال أرأيت لو كان على أبيك دين أكنت قاضيته قالت نعم قال فدين الله أحق أن يقضى وقال للذي سأله إن أمي ماتت وعليها صوم شهر أفأصوم عنها قال نعم وهذه أحاديث صحاح وفيها دلالة على انتفاع الميت لأن الصوم والحج والدعاء والاستغفار عبادات بدنية وقد أوصل الله نفعها إلى الميت فكذلك ما سواها مع ما ذكرنا من الحديث في ثواب من قرأ يس وتخفيف الله تعالى عن أهل المقابر بقراءته وروى عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لعمرو بن العاص لو كان أبوك مسلما فأعتقتم عنه أو تصدقتم عنه أو حججتم عنه بلغه ذلك وهذا عام في حج التطوع وغيره ولأنه عمل بر وطاعة فوصل نفعه وثوابه كالصدقة والصيام والحج الواجب وقال الشافعي ما عدا الواجب والصدقة والدعاء والاستغفار لا يفعل عن الميت ولا يصل ثوابه إليه لقول الله تعالى وأن ليس للإنسان إلا ما سعى النجم 39 وقول النبي صلى الله عليه وسلم إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به من بعده أو ولد صالح يدعوا له ولأن نفعه لا يتعدى فاعله فلا يتعدى ثوابه وقال بعضهم إذا قرىء القرآن ثم الميت أو أهدي إليه ثوابه كان الثوب لقارئه ويكون الميت كأنه حاضرها وترجى له الرحمة ولنا ما ذكرناه وأنه إجماع المسلمين فإنهم في كل عصر ومصر يجتمعون ويقرؤون القرآن ويهدون ثوابه إلى موتاهم نكير ولأن الحديث صح عن النبي صلى الله عليه وسلم إن الميت يعذب ببكاء أهله عليه والله أكرم من أن يوصل عقوبة المعصية إليه ويحجب عنه المثوبة ولأن الموصل لثوابه ما سلموه قادر على إيصال ثواب ما منعوه والآية مخصوصة بما سلموه وما اختلفنا فيه في معناه فنقيسه عليه ولا حجة لهم في الخبر الذي احتجوا به فإنما دل على انقطاع عمله فلا دلالة فيه عليه ثم لو دل عليه كان مخصوصا بما سلموه وفي معناه ما منعوه فيتخصص به أيضا بالقياس عليه وما ذكروه من صحيح فإن تعدي الثواب ليس بفرع لتعدي النفع ثم هو باطل بالصوم والدعاء والحج وليس له أصل يعتبر به والله أعلم
[50] Tidak diragukan bahwa mempererat silaturrahm adalah perbuatan terpuji, seperti kutipan hadits berikut:
مصباح الزجاجة ج: 4 ص: 239
1509 حدثنا سويد بن سعيد ثنا صالح بن موسى عن معاوية بن إسحاق عن عائشة بنت طلحة عن عائشة أم المؤمنين قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أسرع الخير ثوابا البر وصلة الرحم وأسرع الشر عقوبة البغي وقطيعة الرحم 1051 هذا إسناد في صالح بن موسى الصلحي وهو ضعيف وله شاهد من حديث أبي بكرة رواه أبو داود والترمذي
سنن ابن ماجه ج: 2 ص: 1408
23 باب البغي 4211 حدثنا الحسين بن الحسن المروزي أنبأنا عبد الله بن المبارك وابن علية عن عيينة بن عبد الرحمن عن أبيه عن أبي بكرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم ما من ذنب أجدر أن يعجل الله في الدنيا مع ما يدخر له في الآخرة من البغي وقطيعة الرحم 4212 حدثنا سويد بن سعيد ثنا صالح بن موسى عن معاوية بن إسحاق عن عائشة بنت طلحة عن عائشة أم المؤمنين قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم أسرع الخير ثوابا البر وصلة الرحم وأسرع الشر عقوبة البغي وقطيعة الرحم
مصنف ابن أبي شيبة ج: 5 ص: 217
7 ما قالوا في البر وصلة الرحم 25387 حدثنا ابن عيينة عن الزهري عن أبي سلمة بن عبد الرحمن أن عبد الرحمن عاد أبا الرداد فقال خيرهم وأوصلهم أبو محمد يعني ابن عون سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول قال الله أنا الله وأنا الرحمن وهي الرحم شققت لها أعطى من اسمي فمن وصلها وصلته ومن قطها بتته 25388 حدثنا وكيع عن معاوية بن أبي مزرد عن يزيد بن رومان عن عروة عن عائشة قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الرحم معلقة بالعرش تقول ممن وصلني وصله الله ومن قطعني قطعه الله 25389 حدثنا أبو أسامة عن عوف عن بينها بن أوفى عن عبد الله بن سلام قال لما قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة انجفل الناس نحوه فاتيته فلما نظرت إليه عرفت أن وجهه ليس وجه كذاب فكان أول شيء سمعته يقول يا أيها الناس أفشوا السلام وصلوا الأرحام وأطعموا الطعام وصلوا بالليل والناس نيام 25390 حدثنا جرير عن منصور عن عطاء بن أبي مروان عن أبيه عن عكعب قال والذي فلق الحبة والنوى لبني إسرائيل أن في التوراة مكتوب يا ابن آدم اتق ربك وابرر والديك وصل رحمك أمد لك في عمرك وأيسر لك يسرك وأصرف عنك عسرك 25391 حدثنا جرير عن منصور عن أبي إسحاق عن مغراء عن ابن عمر قال من اتفى ربه ووصل رحمه نسىء له في عمره وثرا ماله وأحبه أهله 25392 حدثنا وكيع عن أبي عاصم الثقفي عن محمد بن عبد الله بن قارب قال سمعت عبد الله بن عمرو يقول بلسان له ذلق إن الرحم معلقة بالعرش تنادي بلسان لها ذلق اللهم صل من وصلني واقطع من قطعني 25393 حدثنا عفان قال حدثنا حماد بن سلمة قال أخبرنا قتادة عن أبي ثمامة الثقفي عن عبد الله بن عمرو أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال توضع الرحم يوم القيامة ولها حجنة كحجنة المغزل تكلم بلسان طلق ذلق فتصل من وصلها وتقطع من قطعها 25394 حدثنا يزيد بن هارون عن شعبة عن محمد بن عبد الجبار عن محمد بن كعب القرظي عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الرحم شجنة من الرحمن تجيء يوم القيامة تقول يا رب قطعت يا رب قطعت يا رب أسيء إلي
مصنف ابن أبي شيبة ج: 5 ص: 218
25395 حدثنا زيد بن الحباب قال حدثنا موسى بن عبيدة قال حدثنا المنذر بن جهم الأسلمي عن نوفل بن مساحق عن أم سلمة قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الرحم شجنة آخذة بحجزة الرحمن تناشد حقها فيقول ألا ترضين أن أصل من وصلك وأقطع من قطعك من وصلك فقد وصلني ومن قطعك فقد قطعني 25396 حدثنا يزيد بن هارون قال حدثنا فطر عن مجاهد عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الرحم معلقة بالعرش وليس المواصل بالمكافىء ولكن الواصل الذي إذا قطعت رحمه وصلها 25397 حدثنا شريك عن سماك عن زوج درة عن درة قالت قلت يا رسول الله من أتقى الناس قال آمرهم بالمعروف وأنهاهم عن المنكر وأوصلهم للرحم

Tidak ada komentar:

Posting Komentar