Rabu, Agustus 27, 2008

Petani Antara Sukses Dan Kufur

PETANI
Antara sukses dan kufur


Oleh: Abdul Muis Mahmud *)


Bila kita memperhatikan kosa kata yang berarti “petani” di dalam Al Quran, ternyata secara verbal ada disebut dengan “kuffar” jamak “kaafir”. Ungkapan ini kita jumpai dalam surat Al Hadid ayat 20 yang terjemahannya:

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan kuffar (para petani); kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”

Jadi kata “kuffar” di sini menurut ahli tafsir semakna dengan “zurra’” yaitu; petani. Menurut Al-Qurthubi, petani di sebut dengan kuffar, karena mereka menutupi bibit tanaman (Tafsir Al Qurthubi Juz XVII halaman 255)

Kosa kata “kuffar” secara verbal sebenarnya mengandung banyak pengertian. Yang paling sering disebut dalam Al Quran dengan maksud “ingkar, menutupi kebenaran, durhaka dan mengingkari nikmat”.

Di samping itu dalam bahasa Arab kosa kata “petani” juga disebut “fallah” mempunyai akar kata yang sama dengan “falah” yang berarti “sukses, kemajuan” (lihat, Elias. A. Elias, “Qaamus Al Ashry/ Elias Modern Dictionary, Arabic – English”, 1979 H, edisi XII, Kairo: Syirkah Daarul Elias al Ashriyyah, halaman 512.)

Antara sukses dan kufur

Dengan memahami ungkapan bahasa di atas maka terbayang dalam pemikiran kita realitas kehidupan petani berada antara kekufuran dan kesuksesan. Hal ini tergantung kepada motivasi dan sikap mental petani itu sendiri dalam menjalankan usahanya. Petani yang beriman, yang bertawakkal dan menjalankan usaha pertanian semaksimal mungkin, sesuai dengan tuntunan ilmu pertanian, tentulah akan mencapai kesuksesan. Sebaliknya, petani yang tidak berpegang teguh kepada ketentuan iman dan prinsip-prinsip agama, melakukan usaha tani secara serampangan tentulah akan terjerumus ke dalam kekufuran dan jauh dari kesuksesan.

Adapun yang dimaksud dengan sukses bagi petani dalam pembahasan ini adalah; terlepasnya para petani dengan usaha taninya dari kondisi perekonomian yang kurang beruntung ke taraf yang lebih baik, sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan primer keluarga semaksimal mungkin, seperti kemampuan menyekolahkan anak ke tingkat pendidikan tinggi dan lain-lain. Saya sengaja membatasi definisi ini sesederhana mungkin, agar dapat dicerna oleh para petani yang mayoritasnya - di Indonesia ini - berada pada sudut marginal.

Di sini saya tidak akan menguraikan kiat sukses yang harus dilakukan petani dari jurusan ilmu dan management pertanian lazimnya, karena hal ini bukanlah bidang yang saya geluti. Tetapi saya mencoba mengajak kita berdiskusi singkat tentang sikap mental yang harus dimiliki petani muslim dalam usaha perataniannya, agar “falah” sukses dunia dan akhirat. Karena kesuksesan duniawi yang tidak dibarengi oleh keseksesan dalam memegang teguh prinsip agama, pada hakikatnya bukanlah sukses dalam arti yang sebenarnya. Pada surat Al Qashash ayat 76 sd 82 Allah SWT menyebut Karun yang meraih kekayaan besar yang luar biasa, tetapi Karun bersikap aniaya kepada kaumnya. Kesuksesan materi yang tidak dibarengi oleh kesuksesan rohani, pada akhirnya menenggelamkan.

Sebagai muslim seorang petani mempunyai ciri khas yang sama dengan muslim lainnya. Dan yang membedakan muslim beriman dan bertaqwa dengan yang lain adalah cara pandangnya terhadap dunia ini (world view). Dia memandang dirinya dan alam semesta ini sebagai bahagian integral dari hak milik Allah SWT. Bahwa manusia dalam setiap tindakan dan perbuatannya terikat dengan hukum-hukum Tuhan... Sebagai bahagian dari kesatuan wujud, maka faktor yang mempengaruhi ekosistem alam, yang mempengaruhi dunia manusia, adalah faktor keadilan dan keseimbangan. Jadi… kebahagiaan dan keberhasilan hidup manusia akan terwujud apabila kebutuhan hidup jasmani dipenuhi seimbang dengan kebutuhan hidup rohani. Oleh sebab itu, jika seorang petani muslim ingin meraih kesuksesan dalam hidupnya, maka minimal ia harus memperhatikan hal-hal berikut:

Pertama:
seorang petani hendaklah selalu memulai setiap pekerjaannya karena mengharapkan ridha Allah semata. Karena tidak sedikit ayat-ayat dan hadits Nabi yang menerangkan bahwa orang beriman hendaklah berbuat sesuatu untuk mencari ridha Allah SWT semata.

Kedua:
seorang petani hendaklah menjaga waktu shalatnya. Artinya usaha pertanian tidak boleh mengorbankan shalat lima waktu. Apabila terdengar suara azan “hayya ‘alas shalah” dan “hayya ‘alal falah”, maka hendaklah kita meninggalkan pekerjaan sementara waktu demi memenuhi panggilan kesuksesan itu.

Ketiga:
seorang petani hendaklah bersyukur kepada Allah SWT atas keberhasilan pertanian yang diperolehinya, dengan membayar zakat, berinfak, membantu fakir miskin, anak-anak yatim dan amal kebajikan lainnya.

Keberhasilan pertanian yang tidak dibarengi dengan jiwa syukur pada akhirnya akan mendatangkan malapetaka. Allah SWT menerangkan dalam Al Quran tentang masyarakat Saba’ dahulukala yang sukses dalam pertanian; berkat teknologi pengairan yang mereka miliki (bendungan Ma’rib).

Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun". Tetapi mereka berpaling, Maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.
(Terjemahan, Qs. Saba’: 15-17)

Jadi, kesuksesan dunia pertanian sebagai tonggak perekonomian masyarakat Saba’ dahulu kala tidak dibarengi oleh jiwa bersyukur kepada Allah. Maka kepada mereka didatangkan malapetaka, kehancuran bendungan Ma’rib dan sampai sekarang tidak dapat dibangun kembali seperti sedia kala.

Sampai di sini saya ingin mengajak kita semua untuk meneropong dengan mata hati beberapa usaha pertanian produktif yang sebelumnya telah mengangkat perekonomian masyarakat kita. Tetapi belakangan dilanda kehancuran yang tidak dapat, atau belum dapat ditemukan pemecahan masalahnya melalui ilmu dan teknologi pertanian. Misalnya, usaha pertanian jeruk. Pada awal tahun sembilan puluhan hingga awal tahun dua ribu, petani jeruk kita mencapai masa kesuksesannya. Tetapi belakangan usaha tani ini mengalami kehancuran total sehingga pertanian jeruk ditinggalkan masyarakat sama sekali. Padahal, industri pertanian telah memproduksi bermacam-macam jenis insektisida, fungisida, pupuk organik dan non organik, dan lain-lain, yang selama ini telah terbukti mampu memelihara serta meningkatkan kwalitas produksi buah jeruk. Mengapa kehancuran ini terjadi? Barangkali banyak faktor penyebab. Tetapi apabila kita menjadikan surat Saba’ ayat 15 sd 17 di atas sebagai barometer, maka kehancuran ini erat hubungannya dengan sikap mental petani yang tidak pandai bersyukur kepada Allah SWT. Banyak petani yang melanggar perintah Allah SWT, takabur, kikir, tidak berzakat, atau tidak membayar zakat secara benar.

Jadi, jika kita ingin mengangkat dunia pertanian kita ke puncak kesuksesan, di samping memperhatikan faktor sains dan teknologi, pengembangan ilmu dan management pertanian dan sebagainya, maka kita wajib meningkatkan keimanan dan ketaqwaan petani. Karena petani yang beriman dan bertaqwa pasti bersyukur kepada Allah. Barangsiapa yang bersyukur berarti meraih kesuksesan yang sangat besar, seperti firman Allah pada surat Ibrahim ayat 7, yang terjemahannya:

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".


*). Naskah ini disampaikan pada ceramah rohani; pelatihan Petani Madani sekabupaten Pasaman Barat di Ujung Gading Rabu 21 Nopember 2007

Email: muismahmud@gmail.com
No. Account:
Abdul Muis
Bank Nagari cabang Ujung Gading
No.Rek. 1500.0210.04695-4

4 komentar:

  1. Nampaknya dapat dianjurkan kepada para petani agar mereka sedikit mengubah sikap dari bertani "untuk mengambil untung" menjadi bertani "untuk memberikan manfaat".
    Jika sikap pertama bertumpu dari prinsip ekonomi, maka sikap yang kedua bertumpu pada prinsip ekologi.
    Kalau ingin menjadi besar janganlah meminta, namun harus memberi.

    BalasHapus
  2. tetaplah berjuang untuk kemasyalahatan ummat....????

    BalasHapus
  3. Memang para petani sawit kecenderungannya hanya fokus untuk meraih keuntungan yang besar semata. Gak peduli dampak kebun sawit yang kita rasakan sekarang, kalau hujan kebanjiran dan tebing terban. Kalau kemarau, kekeringan. Tanaman-tanaman lain seumpama padi, coklat dll ikut rusak. Jadi petani sawit hanya memikirkan dirinya tanpa peduli akibat lain dari usaha pertaniannya. Ini mungkin sebuah contoh kongkrit.

    BalasHapus