Oleh: Abdul Muis Mahmud
Seringkali kita mendengar kata-kata “Qiyas” disebut orang, lalu apakah yang dimaksud dengan Qiyas dalam istilah hukum Islam?
Pada tulisan berikut ini penulis mencoba menguraikan secara sekilas tentang Qiyas menurut hukum Islam, semoga bermanfa’at.
Pada umumnya Yuris muslim menempatkan Qiyas sebagai sumber hukum ke-empat, setelah Al Quran, As Sunnah dan Ijmak.[1]
Qiyas menurut istilah Ushuliyyin (ahli Yurisprudensi hukum Islam) adalah: “Menghubungkan peristiwa yang hukumnya tidak dijelaskan nash (teks Al Quran dan As Sunnah), dengan peristiwa yang hukumnya dijelaskan nash, lalu menyamakan hukumnya dengan yang dijelaskan nash itu, karena adanya persamaan ‘illat hukum dalam kedua peristiwa itu.”[2]
Qiyas terdiri dari empat rukun, yang apabila salah satunya tidak ada, maka Qiyas sama sekali tidak dapat diterima:[3]
Pertama: الأصل (asal); yaitu peristiwa yang hukumnya dijelaskan nash, disebut juga dengan: المقيس عليه [al maqis ‘alaih/ yang diperbandingkan kepadanya], dan المحمول عليه [al mahmul ‘alaih/ yang dibawakan hukum kepadanya], dan المشبه به [al musyabbah bihi/ yang dianalogikan hukum dengannya]
Kedua:الفرع [far’u/ bagian/ cabang] yaitu peristiwa yang hukumnya tidak dijelaskan nash, dan yang ingin disamakan hukumnya dengan asal, dinamakan juga dengan: المقيس [al maqis/ yang diperbandingkan], dan المحمول [al mahmul/ yang dibawakan hukumnya] dan المشبه [al musyabbah/ yang dianalogikan].
Ketiga: حكم الأصل [hukum asal] yaitu hukum syar’i yang dijelaskan nash pada asal [الأصل ], sebagai hukum yang dituju untuk diterapkan pada cabang [الفرع ].
Keempat: العلة [al ‘illat/ sebab/ kriteria] atau وصف جامع [washfun jaami’/ sifat yang menghimpun], yaitu; sifat/ kriteria yang menjadi landasan hukum asal, dimana kriteria itu terdapat pula pada cabang yang hendak disamakan hukumnya dengan asal.
Ahli Yuris Islam mensyaratkan pula pada masing-masing rukun Qiyas sebagai berikut:
Syarat الأصل (asal) dan الفرع [far’u/ bagian/ cabang].
Syarat “Asal” hendaklah ada nash yang menetapkan hukumnya, sedangkan “cabang” belum ada ketetapan hukumnya, baik dengan nash, maupun ijmak. Selanjutnya tidak ditemukan penghalang yang memisahkan persamaan hukum pada kedua belah pihak.[4]
Tentang rukun ketiga yakni; حكم الأصل [hukum asal] haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu sehingga bisa diterapkan dengan cara qiyas (analogi) kepada الفرع [far’u/ bagian/ cabang]:
1. Hendaklah “hukum asal” itu berupa hukum syar’i ‘amaly (bersifat amal ibadah, bukan masalah akidah) yang telah ditetapkan dengan nash (Al Quran atau sunnah). Adapun hukum syar’i ‘amaly yang ditetapkan dengan Ijmak, maka menurut pendapat terkuat Qiyas tidak dapat diterapkan.
2. Hendaklah ‘illat (sebab) “hukum asal” itu dapat dipahami akal. Karena apabila ‘illatnya tidak dipahami akal, maka Qiyas tidak mungkin diterapkan, karena asas Qiyas adalah memahami ‘illat hukum asal dan memahami realisasinya kepada “cabang”.
3. “Hukum asal” itu bukanlah hukum yang dikhususkan untuk suatu kasus tertentu. Hukum asal tidaklah dikhususkan pada dua keadaan ini:
Apabila ‘illat hukum tidak tergambar wujudnya selain pada “asal”. Seperti mengqashar shalat bagi musafir. Hukum yang dapat dijangkau dalam pengertian akal adalah untuk menolak musyaqqat (kesulitan), tetapi ‘illat (sebab hukumnya) adalah adanya “safar (bepergian)”. Sedangkan “bepergian” tidak tergambar wujudnya tanpa “menempuh jarak”. Begitupun kebolehan mengusap dua sepatu sewaktu berwudhuk, maka hukum yang dapat dijangkau dalam pengertian akal adalah “kemudahan” dan “menghilangkan kesempitan”, tetapi illatnya adalah “memakai dua sepatu”, dan tidak tergambar wujudnya tanpa memakainya.
Apabila ada dalil yang menunjukkan hukum tersebut khusus untuk hukum asal. Misalnya hukum-hukum yang ditunjukkan oleh dalil yang hanya berlaku untuk Rasulullah SAW belaka. Seperti Nabi SAW berpoligami lebih dari empat orang isteri, dan larangan menikahi isteri-isterinya, setelah beliau berpulang ke Rahmatullah.
Tentang rukun keempat; العلة [al ‘illat/ sebab/ kriteria] atau وصف جامع [washfun jaami’/ sifat yang menghimpun], adalah rukun yang terpenting dan merupakan asas Qiyas. Oleh karena itu perlu pembahasan yang terpenting, yang dapat diringkas sebagai berikut:
DEFINISI ‘ILLAT
‘Illat adalah sifat (kriteria) pada “asal” yang menjadi landasan hukumnya, yang dengan itu dapat diketahui adanya hukum pada “cabang”. “Memabukkan” adalah sifat pada khamar yang menjadi landasan keharamannya, dengan demikian dapat diketahui adanya keharaman pada seluruh perahan anggur atau kurma, atau yang memabukkan; lainnya. “Keaniayaan” adalah sifat yang ada pada transaksi jual beli yang dilakukan seseorang pada barang yang sedang dalam transaksi jual beli saudaranya, dan sifat inilah yang menjadi landasan keharamannya. Dengan sifat ini, dapat diketahui adanya keharaman pada transaksi sewa menyewa pada barang yang sedang dalam transaksi sewa menyewa saudaranya.
Inilah yang dimaksud oleh Ushuliyyun dengan: “’Illat adalah yang dikenal pada hukum itu [العلة هي المعرّف للحكم] dan ‘illat dinamakan dengan: “tempat bergantung hukum [مناط الحكم ], sebab dan petunjuknya[وسببه وأمارته ].”[5]
Perlu digarisbawahi bahwa sebagian Ushuliyyun menempatkan “‘illat [العلة]” dan “sebab [السبب]” pada pengertian yang sama. Tetapi menurut mayoritas mereka, terdapat perbedaan antara ‘illat dengan sebab. Menurut mereka setiap “’illat” dan “sebab” merupakan penunjuk atas hukum [فعندهم كل من العلة و السبب علامة على الحكم] dan masing-masingnya menjadi landasan atas suatu hukum, serta yang mengikat ada atau tidaknya hukum [وكل منهما بني الحكم عليه وربط به وجودا و عدما]… Dari masing-masingnya, (dapat digali) hikmah syari’ (Allah), yakni; dalam keterikatan dan terbinanya hukum dengannya [وكل منهماللشارع حكمة في ربط الحكم به وبنائه عليه].
Selanjutnya, apabila ada kesesuaian dalam ikatan ini dengan yang dapat dipahami akal, maka kriteria ini dinamakan dengan : “’Illat”, dan: “sebab” [ولكن إذا كانت المناسبة في هذا الربط مما تدركه عقولنا سمي الوصف : العلة، وسمي أيضا : السبب]. Namun, bila tidak dapat dipahami akal, maka dinamakan dengan “sebab” saja, bukan ‘illat [وإن كانت مما لا تدركه عقولنا سمي السبب فقط و لا يسمى العلة]. Misalnya, “safar/ bepergian” adalah menjadi “‘illat dan sebab” mengqashar shalat-shalat ruba’iyyah (yang empat raka’at diringkas menjadi dua raka’at). Adapun “terbenam matahari” adalah menjadi “sebab” wajib shalat maghrib. Tetapi tidak dapat disebut “’Illat”, karena memahami hubungan terbenam matahari dengan shalat maghrib, adalah di luar jangkauan akal… Tegasnya: Semua ‘illat adalah sebab, dan setiap sebab tidak berarti ‘illat.[6]
SYARAT-SYARAT ‘ILLAT
“Asal yang ada nash menerangkan hukumnya” kadang-kadang mengandung beberapa sifat dan karakter khusus, dan tidaklah berarti seluruh sifat pada asal itu pantas menjadi ‘illat hukumnya. Tetapi mestilah pada sifat-sifat yang menjadi ‘illat hukum itu memenuhi sejumlah syarat tertentu.
Ada empat syarat ‘illat yang disepakati ahli Ushul Fiqhi:
Pertama: Hendaklah ‘illat itu sebagai sifat yang nyata [أن تكون وصفا ظاهرا]. Artinya; dapat diindera dengan pancaindera lahir [ومعنى ظهوره ان يكون حسا يدرك بحاسته من الحواس الطاهرة]. Karena ‘illat yang dikenal untuk penerapan hukum pada cabang mestilah masalah nyata, dapat diindera pada asal dan diindera wujudnya pada cabang. Seperti “memabukkan” dapat diindera pada khamar dan dapat diindera wujudnya pada perahan anggur, kurma atau lainnya.
Kedua: Hendaklah ada sifat yang membatasi [ان يكون وصفا منضبطا]. Artinya; mempunyai hakikat tertentu dan terbatas yang mungkin terealisir wujudnya pada cabang [ومعنى انضباطه ان تكون له حقيقة معينة محدودة يمكن التحقق من وجودها في الفرع بحدها او بتفاوت يسير]. Karena asas Qiyas adalah; kesamaan cabang dengan asal, pada ‘illat hukum asal. Kesamaan begini, mengharuskan ‘illat mempunyai batasan tertentu sehingga memungkinkan untuk merealisir penerapan hukum pada dua peristiwa yang sama (‘illatnya) tadi. Misalnya, “pembunuhan sengaja dan permusuhan” yang dilakukan waris kepada orang yang diwarisinya, sebagai “hakikat yang terbatas” dan mungkin terwujud pada kasus “pembunuhan yang dilakukan penerima wasiat terhadap orang yang memberinya wasiat”.
Ketiga: Hendaklah ‘illat itu sebagai sifat yang pantas [ان تكون وصفا مناسبا]. Artinya pantas tidaknya adalah diduga demi terwujudnya suatu hikmah hukum. Sesuai dengan maksud syari’ (pembuat syari’at) yang mensyari’atkan suatu hukum, untuk membawa manfa’at dan menolak kemudharatan [و معنى مناسبته ان يكون مظنة لتحقيق حكمة الحكم، اي ان ربط الحكم به وجودا وعدما من شأنه ان يحقق ماقصده الشارع بتشريع الحكم من جلب نفع او دفع ضرر....].[7] Oleh karena motive dan tujuan hakiki atas disyari’atkan suatu hukum adalah hikmahnya, maka jika hikmah pada semua hukum itu adalah nyata dan tertentu, maka itu adalah ‘illat-‘illat hukum. Jika sifat itu tidak pantas, maka ia tidak layak disebut sebagai ‘illat hukum. “Memabukkan” adalah sifat yang pantas untuk keharaman khamar, karena dalam bangun keharamannya itu akal akan terpelihara. Dan “pembunuhan sengaja dan permusuhan” adalah sifat yang pantas untuk “mewajibkan qishash” karena dalam bangun mewajibkan qishash itu “hidup manusia akan terjaga”. “Pencurian” adalah sifat yang pantas untuk “mewajibkan hukum potong tangan pada pencuri”, karena dalam bangun hukum potong tangan itu akan terpelihara harta kekayaan manusia.
Jadi, ‘illat tidak sah dengan sifat-sifat yang tidak pantas [لهذا لا يصح التعليل بالأوصاف غير المناسب، وتسمى بالأوصاف الطردية او الاتفاقية التي لا تعقل علاقة لها بالحكم، و لا بحكمته....]. Tegasnya, semua sifat-sifat yang hubungannya dengan suatu hukum atau dengan hikmahnya tidak diterima akal, maka dinamakan dengan ‘sifat-sifat tertolak”. Seperti “kondisi pembunuh sengaja dan bermusuhan” karena “ia berkebangsaan Mesir”.
‘Illat juga tidak sah dengan sifat-sifat yang pada asalnya adalah pantas; tetapi tanpa terduga hilang detailnya, sehingga tidak pantas lagi. Misalnya “balighnya seorang gila”, tidak pantas “menghilangkan perwalian untuk dirinya”. Karena sifat detail ini bukanlah sifat yang dianggap sesuai untuk tidak adanya tanggung jawab wali pada orang gila.
Keempat: ‘Illat itu bukanlah suatu sifat yang terbatas pada asal saja [ان لا تكون وصفا قاصرا على الأصل]. Maksudnya; ‘Illat hendaklah sifat yang mungkin terwujud dan ditemui beberapa afrad (individually) pada selain asal [ومعنى هذا ان تكون وصفا يمكن ان يتحقق في عدة افراد ويوجد في غير الأصل]. Karena sasaran yang dituju dari menetapkan ‘illat hukum asal adalah agar dapat diterapkan pada cabang [لأن الغرض المقصود من تعليل حكم الأصل تعديته الى الفرع]. Andaikan ‘illat itu hanya ditemukan pada asal belaka, maka yang demikian tidak mungkin menjadi dasar qiyas [فلو علل بعلة لاتوجد في غير الأصل لايمكن ان تكون اساسا للقياس]. Oleh karena itu tidak sah menjadikan ‘illat hukum keharaman khamar” karena ia adalah “perahan anggur” yang diproses melalui fermentasi.
MASALIK AL ‘ILLAT
Masalik al ‘illat adalah jalan/ methoda untuk mengetahui ‘illat.
Ada tiga jalan yang paling masyhur untuk mengetahui ‘illat:
Pertama: Nash [النص]. Yaitu; apabila di dalam nash Al Quran atau As Sunnah ada yang menunjukkan ‘illat hukum bersifat tertentu. Maka sifat itu sebagai ‘illat atas dasar nash. Pada dasarnya qiyas yang dihunjukkan nash tersebut merupakan penerapan nash. Nash yang menunjukkan sifat tertentu itu, kadang-kadang tegas dan kadang-kadang samar, sekedar isyarat dari jauh saja.
Dalalah sharahah [الدلالة صراحة] : adalah lafaz yang ditunjukkan di dalam nash terhadap ‘illat menurut ketentuan bahasa. Seperti, tersebut di dalam nash karena ‘illat begini dan begitu. Apabila lafaz yang menunjukkan atas ‘illat di dalam nash, hanya mencakup ‘illat dengan sifat itu saja, maka dalalah nash kepada ‘illat adalah “tegas dan pasti”. Seperti firman Allah di dalam menjelaskan ‘illat diutusnya para rasul:
"(mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu… (Qs. An-Nisak: 165)
Dan firman Allah SWT dalam kewajiban mengambil seperlima harta fa’i (rampasan perang) untuk fakir miskin, pada surat Al Hasyar ayat 7:
“…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu…”
Jika lafaz yang menunjukkan ‘illat pada nash tersebut sebagai isyarat dan peringatan, maka dalalah itu disebut dalalah imak [ الدلالة ايماء]. Seperti dalalah yang dapat diambil faedah dari urutan hukum dan hubungannya dengan suatu sifat, dimana sifat itu difahami sebagai ‘illat hukum. Misalnya, pada sabda Rasulullah SAW:
لاَ يَقْضِي القَاضِي وهو غَضْبَان
“Janganlah qadhi (seorang hakim) memutuskan suatu perkara dalam keadaan marah..”
Jadi untuk membedakan suatu dalalah; sharahan atau imak, maka tergantung kepada susunan bahasa (tata bahasa Arab dan ketentuan balaghah/ retorika bahasa) dan bentuk kata dalam nash.[8]
Kedua: Ijmak. Yaitu apabila para mujtahid pada suatu masa menyepakati suatu sifat bagi ‘illat hukum syara’, maka sifat illat tersebut telah menjadi ketetapan ‘illat hukum berdasarkan ijmak. Seperti menjadikan wilayah penguasan harta anak-anak atas walinya, dengan ‘illat karena dia masih kecil dan keadaannya masih anak-anak. Tetapi methoda ini terdapat perbedaan pendapat, karena orang yang tidak menyetujui qiyas, tidak melakukan qiyas. Oleh karena itu tidak mungkin ijmak itu terwujud, tanpa kebulatan pendapat para ahli ijtihad.
Ketiga: Melakukan testing (pengujian) dan penyaringan (sekatan) [السبر و التقسيم]. Yaitu; melakukan pengujian dan penyaringan atas sifat-sifat yang pada dasarnya pantas menjadi ‘illat. Cara ini dilakukan oleh mujtahid apabila tidak menemukan ‘illat hukum di dalam nash atau ‘ijmak.
Pengujian dan penyaringan ini dilakukan mujtahid berdasarkan syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Seperti nash mengharamkan riba fadhal dan riba nasiah pada tukar menukar gandum. Tetapi nash ataupun ijmak, tidak menjelaskan ‘illat hukum ini. Maka untuk mengetahui ‘illatnya, seorang mujtahid melakukan pengujian dan penyaringan, dimana; ‘illat hukum ini terkadang berkaitan dengan kadarnya, karena gandum adalah disukat. Atau berkaitan dengan makanan, atau yang mengenyangkan dan tahan disimpan lama. Tetapi tidak pantas dijadikan ‘illatnya “karena sebagai makanan”. Sebab ‘illat pengharaman riba pada emas dengan emas bukanlah sebagai makanan. Begitupun tidak pantas menjadikan ‘illatnya “karena mengenyangkan”. Sebab pengharaman riba pada garam dengan garam, bukanlah karena mengenyangkan. Oleh sebab itu, jelaslah ‘illatnya, karena ukuran pada sukatan atau timbangannya. Maka atas dasar ini diqiyaskanlah kepada yang tersebut pada nash, semua tukar menukar barang sejenis yang berlebih ukuran sukatan atau timbangannya, sebagai riba fadhal dan riba nasiah; hukumnya haram.
PEMBAGIAN QIYAS
Menurut Abu Ishaq bin Ibrahim bin Ali As Syairaziy[9], Qiyas terbagi kepada tiga bagian:
Pertama: Qiyas ‘Illat [قياس علة]. Yaitu; mengembalikan Cabang kepada Asal berdasarkan penjelasan ‘illat yang menjadi tempat pergantungan hukum syara’ [قياس العلة فهو أن يرد الفرع إلى الأصل بالبينة التي علق الحكم عليها في الشرع ].
Qiyas ‘Illat terbagi kepada dua bagian:
1. Jaliy [جلي ], yakni; sesuatu yang hanya mengandung satu pengertian tunggal yang secara pasti menunjukkan ‘illat hukum dan tidak memerlukan takwil lagi.
2. Khafi [خفي ], yaitu; sesuatu yang mengandung kemungkinan pengertian lebih dari satu, sehingga penetapannya sebagai ‘illat adalah dengan methoda kemungkinan juga.[10]
Kedua: Qiyas Dilalah [قياس الدلالة]. Yakni; Mengembalikan Cabang kepada Asal dengan pengertian yang berlainan dari pengertian yang kepadanya berkaitan hukum syara’, tetapi menunjukkan juga adanya hukum syara’ [وهو قياس الدلالة فهو أن ترد الفرع إلى الأصل بمعنى غير المعنى الذي علق عليه الحكم في الشرع إلا أنه يدل على وجود علة الشرع ]. Jadi Qiyas Dilalah ‘illatnya tidak menetapkan hukum, tetapi menunjukkan juga adanya hukum. Seperti mengqiyaskan wajibnya zakat pada harta benda anak-anak dengan wajibnya zakat harta orang dewasa, dengan alasan kedua-duanya adalah harta yang berkembang.
Ketiga: Qiyas Syibh [قياس الشبه]. Yakni; Mengqiyaskan Cabang kepada Asal dengan salah satu bentuk persamaan. Dengan pengertian lain; mengqiyaskan Cabang yang diragukan di antara dua Asal kemana yang paling banyak persamaannya. [قياس الشبه وهو أن تحمل فرعا على الأصل بضرب من الشبه وذلك مثل أن يتردد الفرع بين أصلين يشبه أحدهما في ثلاثة أوصاف ويشبه الآخر في وصفين فيرد إلى أشبه الأصلين به ]. Seperti budak yang dibunuh mati (Cabang), dapat diqiyaskan kepada orang merdeka (Asal 1) karena sama-sama keturunan Adam. Dapat pula diqiyaskan kepada hewan ternak (Asal 2) karena keduanya adalah harta benda yang dapat dimiliki, dijual, diwakafkan dan diwariskan. Dengan demikian, lebih sesuai diqiyaskan kepada harta benda (Asal 2), karena ia dapat dimiliki dan seterusnya.
Wallahu a'lamu bis shawab!
***
[1] Imam As Syafi’I menerangkan tentang kekuatan hujjah Al Qiyas sebagai berikut:
الرسالة [ جزء 1 - صفحة 476 ]
قال : فمن أين قلت : يقال بالقياس فيما لا كتابَ فيه ولا سنةَ ولا إجماعَ ؟ أفالقياس نصُّ خبٍر لازمٍ ؟
قلت : لو كان القياس نصَّ كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نصَّ كتاب " هذا حُكمُ الله " وفي كل ما كان [ ص 477 ] نصَّ السنة " هذا حكم رسول الله " ولم نَقُل له : " قياس "
قال : فما القياس ؟ أهو الاجتهاد ؟ أم هما مفترقان ؟
قلت : هما اسمان لمعنىً واحد
قال : فما جِماعهما ؟
قلت : كل ما نزل بمسلم فقيه حكم لازم أو على سبيل الحقِّ فيه دلالةٌ موجودة وعليه إذا كان فيه بعينه حكمٌ : اتباعُه وإذا لم يكن فيه بعينه طُلِب الدلالة على سبيل الحق فيه بالاجتهاد . والاجتهادُ القياسُ . 0
قال : أفرأيت العالمين إذا قاسوا على إحاطةٍ هم من أنهم أصابوا الحقَّ عند الله ؟ وهل يسعهم أن يختلفوا في القياس ؟ وهل [ ص 478 ] كُلفوا كل أمر من سبيل واحد أو سبل متفرقة ؟ وما الحجةُ في أن لهم أي يقيسوا على الظاهر دون الباطن ؟ وأنه يسعهم أن يتفرقوا ؟ وهل يختلف ما كُلفوا في أنفسهم وما كُلفوا في غيرهم ؟ ومن الذي له أن يجتهد فيقيس في نفسه دون غيره ؟ والذي له أن يقيس في نفسه وغيره ؟
فقلت : له العلم من وجوه : منه إحاطةٌ في الظاهر والباطن ومنه حق في الظاهر
فالإحاطة منه ما كان نصَّ حكم لله أو سنة لرسول الله نقلها العامة عن العامة . فهذان السبيلان اللذان يُشهد بهما فيما أُحل أنه حلال وفيما حُرم أنه حرام . وهذا الذي لا يَسَع أحداً عندنا جَهْلُه ولا الشكُّ فيه
وعلمُ الخاصة سنةً من خبر الخاصة يعرفها العلماء [ ص 479 ] ولم يُكَلَّفها غيرهم وهي موجودة فيهم أو في بعضهم بصدق الخاص المخبِرِ عن رسول الله بها . وهذا اللازم لأهل العلم أن يصيروا إليه وهو الحق في الظاهر كما نقتل بشاهدين . وذلك حق في الظاهر وقد يمكن في الشاهدين الغلطُ
وعلمُ إجماع
وعلمُ اجتهادٍ بقياسٍ على طلب إصابة الحق . فذلك حق في الظاهر عند قايِسِه لا عند العامة من العلماء ولا يعلم الغيب فيه إلا الله
وإذا طُلب العلم فيه بالقياس فقيس بصحةٍ : اِيْتَفَقَ المقايسون في أكثره وقد نجدهم يختلفون
________
( 1 ) هذا العنوان زاده الشيخ أحمد شاكر
الرسالة [ جزء 1 - صفحة 479 ]
والقياس من وجهين : أحدهما : أن يكون الشيء في معنى الأصل فلا يختلف القياس فيه . وأن يكون الشيء له في الأصول أشباهٌ فذلك يُلحق بأولاها به وأكثرِها شَبَهاً فيه . وقد يختلف القايسون في هذا
قال : فأوجِدني ما أعرف به أن العلم من وجهين : أحدهما : إحاطةٌ بالحق في الظاهر والباطن والآخر إحاطةٌ بحق في الظاهر دون الباطن : مما أعرفُ ؟
فقلت له : أرأيت إذا كنا في المسجد الحرام نرى الكعبة : أَكُلِّفْنا أن نستقبلها بإحاطة ؟
قال : نعم
قلت : وفُرِضَت علينا الصلوات والزكاة والحج وغير ذلك : أَكُلِّفنا الإحاطةَ في أن نأتي بما علينا بإحاطةٍ ؟
قال : نعم
قلت : وحين فُرِض علينا أن نجلدَ الزاني مائة ونجلدَ القاذف ثمانين ونقتلَ مَن كَفَرَ بعد إسلامه ونقطع من سرق : أَكُلِّفْنا أن نفعل هذا بمن ثبت عليه بإحاطةٍ نعلم أنا قد أخذناه منه ؟
قال : نعم
[ ص 481 ] قلت : وسواءٌ ما كُلِّفنا في أنفسنا وغيرِنا إذا كنا ندري من أنفسنا بأنّا نعلم منها ما لا يعلم غيرنا ومن غيرنا ما لا يدركه علْمُنا كإدراكنا العلمَ في أنفسنا ؟
قال : نعم
قلت : وكُلِّفْنا في أنفسنا أين ما كُنا أن نَتَوَجه إلى البيت بالقبلة ؟
قال : نعم
قلت : أفتجدنا على إحاطةٍ من أنا قد أصبنا البيت بتوجهنا ؟
قال : أما كما وجدتكم حين كنتم ترون فلا وأما أنتم فقد أدَّيتم ما كُلِّفتم
قلت : والذي كُلفنا في طلب العين المغيَّب غيرُ الذي كُلِّفنا في طلب العين الشاهد . ِ
[ ص 482 ] قال : نعم
قلت : وكذلك كُلفنا أن نقبل عدل الرجل على ما ظهر لنا منه ونناكحَه ونوارثَه على ما يظهر لنا من إسلامه ؟
قال : نعم
قلت : وقد يكون غير عدل في الباطن ؟
قال : قد يمكن هذا فيه ولكن لم تُكَلفوا فيه الا الظاهر
قلت : وحلالٌ لنا أن نناكحه ونوارثه ونجيز شهادته ومحرمٌ علينا دمه بالظاهر ؟ وحرامٌ على غيرنا إن عَلم منه أنه كافر إلا قتلَه ومنعَه المناكحةَ والموارثةَ وما أعطيناه ؟
قال : نعم
قلت : وُجِدَ الفرض علينا في رجل واحد مختلفاً على مبلغ علمنا وعلم غيرنا ؟
[ ص 483 ] قال : نعم وكلكم مؤدي ما عليه على قدر علمه
قلت : هكذا قلنا لك فيما ليس فيه نص حكم لازمٍ وإنما نطلب باجتهادِ القياسِ وإنما كُلفنا فيه الحقَّ عندنا
[2] Abdul Wahab Khallaf, “Ushul Fiqh”, 1398 H 1978M, cet: XII, Daar al Qalam, Kuwait, halaman 52:
القياس في اصطلاح الأصوليين : هو إلحاق واقعة لانص على حكمها بواقعة ورد نص بحكمها، في الحكم الذي ورد به النص، لتساوي الواقعتين في علة هذا الحكم....
[3] Abdul Wahab Khallaf, op. cit, halaman 60. Lihat juga: Syekh Muhammad Al Khudhary Beik, Ushul al Fiqh, 1389H 1969M, cet VI, Daar al Fikr, Beirut, halaman 293.
[4] Ibid, hal 61.
ولاتشترط فيهما شروط سوى أن الأصل ثبت حكمه بنص و الفرع لم يثبت حكمه بنص ولا إجماع ، ولا يوجد قارق يمنع من تساويهما في الحكم ......
[5] Dari sinilah lahirnya kajian tentang “Maqashid Syar’iyyah (Objektif Hukum Islam)”.
Syariah Islam diturunkan oleh Allah hanya untuk memberikan kebaikan dan kemaslahatan kepada manusia. Objektif hukum Islam ialah untuk menjaga kepentingan dan keperluan manusia di dunia serta akhirat. Untuk tujuan itu, syariah Islam mewajibkan keperluan dharuri, haaji dan tahsini manusia sentiasa dijaga serta dipelihara. Segala perintah dan larangan Allah adalah bertujuan untuk menjaga keperluan-keperluan ini. Asas kepada maslahah manusia ialah keperluan dharuri. Menurut syariah Islam, keperluan dharuri manusia ialah agama, nyawa, akal, keturunan dan harta. Jika salah satu dari keperluan ini diabaikan, maka kehidupan manusia akan menuju kehancuran. Keperluan dharuri adalah asas kepada keperluan haaji dan tahsini manusia. (lihat Al-Syatibi, Ibrahim bin Musa al-Lakhmi (1999), al-Muwafaqat Fi Usul al-Syariah, Beirut: Dar al-Ma’rifah, jil. 2 m.s. 324, 326 dan 331.
Maslahah yang menjadi objektif syariah tidak sama dari sudut kekuatan dan keutamaannya. Secara asasnya, maslahah dharuriyyah perlu diutamakan dari maslahah haajiyyah dan maslahah haajiyyah perlu diutamakan daripada maslahah tahsiniyyah. Taraf keutamaan di antara maslahah dharuriyyah juga berbeda. Maslahah dharuriyyah yang tertinggi ialah agama kemudian diikuti dengan nyawa, akal, keturunan dan harta secara tertib.
Mengenai maslahah haajiyyah dan tahsiniyyah, Imam al-Syatibi menyatakan bahwa maslahah dharuriyyah merupakan asas kepada kedua-dua maslahah tersebut. Ini bermaksud bahwa maslahah haajiyyah adalah maslahah yang juga menjaga agama, nyawa, akal, keturunan dan harta tetapi tahap keperluannya oleh manusia lebih rendah dari maslahah dharuriyyah. Pengabaian terhadap maslahah haajiyyah tidaklah boleh menghapuskan kelima perkara tersebut tetapi ia menyebabkan kelima perkara tersebut dilaksanakan dalam keadaan yang sangat susah. Manakala maslahah tahsiniyyah pula ialah maslahah yang juga menjaga agama, nyawa, akal, keturunan dan harta tetapi ia hanyalah keperluan pelengkap atau sampingan. Pengabaian terhadapnya tidaklah menyusahkan kelima perkara tersebut tetapi kewujudannya menambahkan keserasian dan keindahan perkara tersebut.
Tindakan yang perlu dilakukan untuk menjaga kepentingan manusia yang menepati objektif syariah kadang-kadang melibatkan pelbagai tindakan. Di antara tindakan-tindakan tersebut, yang manakah perlu didahulukan dan yang mana perlu ditangguhkan? Berasaskan kepada keutamaan maslahah yang menjadi objektif syariah, tindakan yang dilakukan bagi menjaga keperluan dan kepentingan manusia perlu terikat dengan tahap maslahah tersebut. Tindakan yang menjaga kepentingan dharuri perlu dilaksanakan terlebih dahulu sebelum tindakan yang menjaga keperluan haaji dan tahsini. Tindakan yang bertujuan menjaga kepentingan agama perlu diutamakan daripada tindakan yang bertujuan untuk menjaga keperluan-keperluan dharuri manusia yang lain. Dan begitulah seterusnya sehingga semua keperluan dan kepentingan manusia terjaga dan terpelihara. (Ibid, Al-Syatibi, op. cit., jil. 2 m.s. 326.)
[6] Abdul Wahab Khallaf, Op. cit hal 63-68.
[7] Lihat kembali catatan kaki tentang Objektib hukum Islam.
[8] Dengan ini, dapatlah dipahami, bahwa seorang yang melakukan penggalian hukum (istinbath al ahkam) dari Al Quran dan As Sunnah, wajib memahami tata bahasa dan sastra Arab (Qawa’idul lughghah dan Al Balaghah).
[9]Abu Ishaq bin Ibrahim bin Ali As Syairaziy, “Al Luma’ fii Ushuul al Fiqh”, cet. I 1405 H, 1985 M, Daar al Kutub al ‘Ilmiah, Beirut. Halaman 54:
اللمع في أصول الفقه [ جزء 1 - صفحة 54 ]
- قال الشيخ الإمام الأوحد نور الله قبره وبرد مضجعه قد ذكرت في الملخص في الجدل أقسام القياس مشروحا وأنا أعيد القول في ذلك هاهنا على ما يقتضيه هذا الكتاب إن شاء الله تعالى فأقول وبالله التوفيق : إن القياس على ثلاثة أضرب قياس علة وقياس دلالة وقياس شبه : فأما قياس العلة فهو أن يرد الفرع إلى الأصل بالبينة التي علق الحكم عليها في الشرع وقد يكون ذلك معنى يظهر وجه الحكمة فيه للمجتهد كالفساد الذي في الخمر وما فيها من الصد عن ذكر الله عز وجل وعن الصلاة وقد يكون معنى استأثر الله عز وجل بيانه فيه بوجه الحكمة كالطعم في تحريم الربا والكيل وهذا الضرب من القياس ينقسم قسمين جلي وخفي فأما الجلي فهو ما لا يحتمل إلا معنى واحدا وهو ما ثبتت عليته بدليل قاطع لا يحتمل التأويل وهو أنواع بعضها أجلى من بعض فأجلاها ما صرح فيه بلفظ التعليل كقوله تعال { كي لا يكون دولة بين الأغنياء منكم }
وكقوله صلى الله عليه وسلم ( إنما نهيتكم لأجل الدافة ) فصرح بلفظ التعليل ويليه ما دل عليه التنبيه من جهة الأولى كقوله تعالى { فلا تقل لهما أف } فنبه على أن الضرب أولى بالمنع وكنهيه عن التضحية بالعوراء فإنه يدل على أن العمياء أولى بالمنع ويليه ما فهم من اللفظ من غير جهة الأولى كنهيه عن البول في الماء الراكد الدائم والأمر بإراقة السمن الذائب إذا وقعت فيه الفأرة فإنه يعرف من لفظه أن الدم مثل البول والشيرج مثل السمن وكذلك كل ما استنبط من العلل وأجمع المسلمون عليها فهو جلي كإجماعهم على أن الحد للردع والزجر عن ارتكاب المعاصي ونقصان حد العبد عن حد الحر لرقه فهذا الضرب من القياس لا يحتمل إلا معنى واحدا وينقض به حكم الحاكم إذا خالفه كما ينقض إذا خالف . النص والإجماع
- 1 - فصل
وأما الخفي فهو ما كان محتمل وهو ما ثبت بطريق محتمل وهو أنواع بعضها أظهر من بعض فأظهرها ما دل عليه ظاهر مثل الطعم في الربا فإنه علم من نهيه صلى الله عليه وسلم عن بيع المطعوم في قوله ( لا تبيعوا الطعام بالطعام إلا مثل بمثل ) فإنه علق النهي على الطعم فالظاهر أنه علة وكما روى ( أن بريرة أعتقت فكان زوجها عبدا فخيرها رسول الله صلى الله عليه وسلم ) فالظاهر أنه خيرها لعبودية الزوج ويليه ما عرف بالاستنباط ودل عليه التأثير كالشدة المطربة في الخمر فإنه لما وجد التحريم بوجودها وزال بزوالها دل على أنها هي العلة وهذا الضرب من القياس لأنه محتمل أن يكون الطعام أراد به ما يطعم ولكن حرم فيه التفاضل لمعنى غير ( صفحة 55 ) الطعم وكذلك حديث بريرة يحتمل أنه أثبت الخيار لرقه ويحتمل أن يكون لمعنى آخر ويكون ذكر رق الزوج تعريفا وكذلك التحريم في الخمر يجوز أن يكون للشدة المطربة ويجوز أن يكون لاسم الخمر فإن الاسم يوجد بوجود الشدة ويزول بزوالها فهذا لا ينقض به حكم الحاكم
- 2 - فصل
وأما الضرب الثاني من القياس وهو قياس الدلالة فهو أن ترد الفرع إلى الأصل بمعنى غير المعنى الذي علق عليه الحكم في الشرع إلا أنه يدل على وجود علة الشرع وهذا على اضرب منها : أن يستدل بخصيصة من خصائص الحكم على الحكم وذلك مثل أن يستدل على منع وجوب سجود التلاوة بجواز فعلها على الراحلة فإن جوازه على الراحلة من أحكام النوافل ويليه ما يستدل بنظير الحكم على الحكم كقولنا في وجوب الزكاة في مال الصبي أنه يجب العشر في زرعه فوجبت الزكاة في ماله كالبالغ وكقولنا في ظهار الذمي إنه يصح طلاقه يصح ظهاره فيستدل بالعشر على ربع العشر وبالطلاق على الظاهر لأنهما نظيران فيدل أحدهما على الآخر وهذا الضرب من القياس يجري مجرى الخفي من قياس العلة في الاحتمال إلا أن يتفق فيه ما يجمع على دلالته فيصير كالجلي في نقض الحكم به
- 3 - فصل
والضرب الثالث هو قياس الشبه وهو أن تحمل فرعا على الأصل بضرب من الشبه وذلك مثل أن يتردد الفرع بين أصلين يشبه أحدهما في ثلاثة أوصاف ويشبه الآخر في وصفين فيرد إلى أشبه الأصلين به وذلك كالعبد يشبه الحر في أنه آدمي مخاطب مثاب معاقب ويشبه البهيمة في أنه مملوك مقوم فيلحق بما هو أشبه به وكالوضوء يشبه التيمم في إيجاب النية من جهة أنه طهارة عن حدث ويشبه إزالة النجاسة في أنه طهارة بمائع فيلحق بما هو أشبه به فهذا اختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال إن ذلك يصح وللشافعي ما يدل عليه ومنهم من قال لا يصح وتأول ما قال الشافعي على أنه أراد به أنه يرجح به قياس العلة بكثرة الشبه . واختلف القائلون بقياس الشبه فمنهم من قال الشبه الذي يرد الفرع إلى الأصل يجب أن يكون حكما ومنهم من قال يجوز أن يكون حكما ويجوز أن يكون صفة قال الشيخ الإمام رحمه الله والأشبه عندي قياس الشبه لا يصح لأنه ليس بعلة الحكم عند الله تعالى ولا دليل على العلة فلا يجوز تعليق الحكم عليه
Selanjutnya, Al Qadhi Abu Bakar bin Al ‘Arabi Al Ma’afiri Al Maliki, di dalam kitabnya “Al Mahshul fii Ushul al Fiqh” cet.1, 1420 H 1999M, tahqiq: Husain Ali Al Yadari, Daar Al Bayaariq, Urdun, juz I, halaman 126 menguraikan sebagai berikut:
المحصول لابن العربي [ جزء 1 - صفحة 126-127 ]
الفصل الثالث في أقسام القياس
قال علماؤنا أقسام القياس ثلاثة
قياس علة قياس دلالة وقياس شبهة
فأما قياس العلة
فهو كقولنا في أن المرأة لا تتولى نكاحها لأنها ناقصة الأنوثة فلم يجز أن تلي عقد نكاح كالأمة فاتفق العلماء على الأمة لا تلي عقد نكاحها واختلفوا في تعليله فمنهم من قال إن العلة في امتناع إنكاح الأمة نفسها نقصان الرق ومنهم من قال نقصان الأنوثة فنحن عللنا بنقصان الأنوثة وحملنا عليه الحرة
وأما قياس الدلالة
كقولنا علمائنا في الخل مائع لا يجوز به الوضوء فلا يجوز به إزالة النجاسة كاللبن وكقولهم في الوتر صلاة تفعل على الراحلة فلا تكون واجبة كركعتي الفجر فاستدلوا في امتناع الوضوء بالخل على أنه ليس بمطهر في الشرع واستدلوا على الوتر ليس بواجب بفعله على الراحلة وذلك من خصائص النوافل
وأما قياس الشبه فهو على ضربين شبه خلقي وشبه حكمي
فأما الشبه الخلقي فكإجماع الصحابة على جزاء الحمامة بالشاة والنعامة بالبدنة لما بينهما من تشابه الخلقة
وإما الشبه الحكمي كقول علمائنا في الدليل على أن الوضوء يفتقر إلى النية خلافا لأبي حنيفة طهارة حكمية فافتقرت إلى النية كالتيمم وقد استبعد الشافعي عليه ذلك فقال طهارتان فكيف يفتقران فشبهوا طهارة وطهارة وقد اختلف الناس في قياس الشبه فمنهم من نفاه ومنهم من أثبته ومنهم من فصله وسيأتي بيانه إن شاء الله تعالى
الفصل الرابع في إثبات علة الأصل
إذا قاس المعلل على أصل فمونع في العلة في الأصل وقيل له ليست العلة في الأصل ما ذكرت ففي إثباتها للناس ثلاثة مسالك
المسلك الأول الطرد
وقد زعم بعض الناس إنه دليل على صحة العلة وهو قول فاسد لئلا أوجه
أحدها كما يطرد دليل الصحة على زعمه فكذلك يطرد دليل الفساد ومثاله إن المالكي لو قال الخل مائع لا ينبني عليه فلا يجوز إزالة النجاسة به كاللبن لقال معارضه إن الخل مائع مزيل العين فجاز إزالة النجاسة به كالماء
الثاني إن الصحابة وهو القدوة لم يعولوا عليه
الثالث إنه ليس بينه وبين الحكم ارتباط فكيف يدل عليه
[10] Lihat kembali “Masalik Al ‘Illat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar