Jumat, Agustus 29, 2008

zakat

AMIL ZAKAT DALAM PANDANGAN SYARI’AT

Upaya Mengoptimalkan Fungsi Zakat di Indonesia

Oleh: Abdul Muis Mahmud *)


Abstrak
Apabila kita memperhatikan kajian Fiqih Islam tentang Pengelolaan Zakat, ternyata para fuqahak mewajibkan pemerintah umat Islam untuk mengangkat dan menugaskan Amil Zakat, yaitu berdasarkan kepada perbuatan Nabi SAW dan para khalifah sepeninggal beliau, yang mengirim (menunjuk dan mengangkat) petugas pemungut/ pengelola zakat…
Umat Islam Indonesia sepatutnya bersyukur kepada Allah SWT dimana telah diundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Dan… dengan diundangkan Undang-undang dimaksud, maka diharapkan bahwa; pengelolaan Zakat di Indonesia, akan lebih optimal dan lebih berdaya guna bagi kaum muslimin sesuai dengan aturan Islam itu sendiri.

PENDAHULUAN

Zakat merupakan amal ibadah yang telah berusia lama, dan termasuk syari’at yang telah diwajibkan Allah SWT kepada umat berlalu; sebelum umat Islam.[1] Berdasarkan sejumlah hadits dan laporan para sahabat dan setelah kita membaca sejarah penetapan rukun-rukun Islam yang ada sekarang, maka kita mengetahui bahwa shalat lima waktu adalah rukun pertama yang wajib dijalankan oleh kaum Muslimin, yaitu di Makkah pada malam peristiwa Isra’ sesuai dengan fakta. Kemudian baru puasa yang diwajibkan di Madinah pada tahun 2 H bersamaan dengan zakat fithrah yang merupakan sarana penyucian dosa, dan perbuatan tidak baik bagi yang berpuasa, dan sarana pemberian bantuan kepada orang-orang miskin pada ‘idul fithri. Setelah itu barulah diwajibkan zakat kekayaan (zakat amwal), yaitu zakat yang sudah tertentu nisab dan besarnya, tetapi kita tidak menemukan dalil yang pasti tahun berapa penegasan itu datang. Dalam hadis yang berasal dari Dimam bin Tsa’labah yang datang menemui Rasul pada tahun 5 H dapatlah dipandang sebagai dalil yang lebih kuat bahwa zakat sudah diwajibkan dan dilaksanakan sebelum tahun itu, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Hafiz Ibnu Hajar[2]
Selanjutnya, untuk mengoptimalkan fungsi zakat dalam kehidupan kaum muslimin, maka syari’at mewajibkan pemerintah umat Islam untuk menunjuk dan menugaskan pengelola zakat, yang disebut dengan “Amil Zakat”.
Alhamdulillah, di Indonesia, Pengelolaan Zakat telah diundangkan melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat… Sungguhpun telah berusia sembilan tahun, namun pengaplikasian Undang-undang tersebut ternyata menghadapi kendala yang signifikan di lapangan.
Melalui kertas kerja ini, penulis mencoba untuk menyoroti “Amil Zakat Dalam Pandangan Syari’at”, dan diharapkan akan dapat memberikan masukan positip bagi semua lapisan masyarakat muslim Indonesia, dalam pengelolaan zakat, pada masa-masa mendatang.
AMIL ZAKAT[3]
Apabila kita menelusuri pelaksanaan zakat pada masa Rasulullah SAW dan para khulafa al rasyidin sepeninggal beliau, maka fakta menunjukkan bahwa pengelolaan zakat adalah di bawah kontrol kepala pemerintahan dengan menunjuk pengurus zakat yang disebut dengan “amil zakat”. Perbuatan Nabi SAW dan para khalifah itulah yang dijadikan oleh para fuqahak (ahli fikih) sebagai dasar hukum yang mewajibkan Imam (kepala pemerintahan) untuk mengirim (menunjuk dan mengangkat) petugas pemungut/ pengelola zakat…, inilah persoalan masyhur dan dikenal luas.[4] Di antaranya hadits Abu Hurairah bahwa; “Rasulullah SAW mengutus Umar bin Khattab r.a. untuk memungut zakat…”.[5]. Al Bukhari meriwayatkan hadits yang bersumber dari Abu Hamid As Sa’idi, bahwa Rasulullah SAW mempekerjakan seorang laki-laki dari Bani Asad untuk memungut zakat Bani Sulaim, yang bernama Ibnu al Lutbiyyah, maka tatkala dia datang, diapun menghitungnya”,[6] dan banyak hadits-hadits lain tentang bab ini.
Jadi, amil zakat, meminjam definisi Sayyid Sabiq dan Abdurrahman Al Jazairi, adalah orang-orang yang ditunjuk oleh imam (kepala negara) atau wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya, termasuk di dalamnya para penjaga zakat, para pengembala ternaknya dan tenaga administrasinya.[7]
Menurut Abu Ishaq dan Imam An Nawawi, (Imam/ kepala pemerintahan wajib mengangkat amil/ petugas pengelola zakat): “Karena ada orang yang memiliki harta kekayaan, tetapi dia tidak mengetahui kewajiban yang dipikulkan kepadanya, dan ada pula yang sudah mengetahui kewajiban, tetapi yang bersangkutan adalah bakhil, maka pemerintah berkewajiban mengutus petugas untuk memungut zakatnya.”[8]

SYARAT-SYARAT AMIL

Para ulama mensyaratkan amil atau petugas pengelola zakat sebagai berikut:
Pertama: Amil mesti beragama Islam, amil adalah pengurus urusan ummat Islam, seperti pengurus urusan ummat Islam yang lain, yang bersangkutan disyaratkan beragama Islam. Kecuali untuk pekerjaan yang tidak berkaitan langsung dengan “memungut dan pendistribusian zakat”, seperti menjadi satpam dan sopir pada Badan amil zakat.
Menurut Ibnu Qudamah, pekerjaan dalam mengelola zakat disyaratkan bersifat amanah, lantaran itu menjadi amil zakat disyaratkan beragama Islam, sama dengan syarat menjadi saksi (harus beragama Islam juga). Amil zakat mengurus urusan kaum muslimin - seperti halnya mengelola urusan kaum muslimin yang lain -, maka orang kafir tidak dibenarkan ikut serta menjadi amil…[9]
Kedua: Amil adalah Mukallaf; baligh dan berakal.
Ketiga: Amil mestilah orang yang amanah (dipercayai). Karena amil zakat diberi amanah untuk mengurus harta kekayaan kaum muslimin, maka amil zakat tidak boleh diangkat dari kalangan orang fasik atau khianat, misalnya orang yang melakukan korupsi dan manipulasi, atau pelanggaran lainnya.
Keempat: Mengetahui hukum zakat.
Menurut Al Qardhawi: Para ulama mensyaratkan amil zakat hendaklah mengetahui hukum-hukum zakat. Jika seseorang diserahi suatu tugas, sementara yang bersangkutan jahil (bodoh) dengan tugasnya ini, maka tidaklah mungkin ia akan menjalankan tugas dengan baik; kesalahannya akan lebih banyak dari benarnya.[10]
Kelima: Bersedia menerima tugas. Amil hendaklah bersedia menerima tugas, cakap dan sanggup mengemban tugas yang dipikulkan kepadanya. Bersifat amanah saja belumlah cukup kalau tidak dibarengi oleh kemampuan dan kesanggupan untuk bekerja. Firman Allah, yang terjemahannya: “…karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".(Qs. Al Qashash: 26), lantaran demikian Yusuf berkata kepada raja, yang terjemahannya: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (Qs. Yusuf: 55) Pandai menjaga, maksudnya amanah, sedang berpengetahuan maksudnya mempunyai pengetahuan yang memadai.[11]
Keenam: Tidak dari kalangan keluarga Nabi SAW yakni Bani Hasyim. Mayoritas Ulama mensyaratkan amil zakat tidak boleh dari kalangan keluarga Nabi.
Al Fadhal bin Al ‘Abbas dan Al Mutthalib bin Rabi’ah pernah meminta kepada Nabi SAW untuk dipekerjakan memungut zakat. Salah seorang mereka berkata: Wahai Rasulullah, kami datang kepadamu agar engkau perintahkan kepada kami untuk memungut zakat, supaya kami mendapat manfa’at seperti yang diperoleh manusia lain, dan agar kami menunaikan perintahmu seperti ditunaikan manusia lain. Lantas Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Sesungguhnya zakat tidak pantas bagi Muhammad dan tidak pantas bagi keluarga Muhammad, zakat itu hanyalah kotoran (harta) manusia.”[12]
Bolehkah perempuan menjadi amil zakat?
Ketujuh: Sebagian ulama mensyaratkan amil zakat adalah laki-laki. Mereka tidak membolehkan perempuan menjadi pengelola zakat dengan dalil sabda Nabi SAW yang bermaksud: “Suatu kaum sama sekali tidak akan beruntung, bila urusan mereka dikendali-kan oleh perempuan [lan yufliha qaumun wallaw amrahum imraatun].”[13]
Menurut Al Qardhawi: hadits ini berlaku pada wilayah umum dimana perempuan sebagai penguasa (shahibatul amri wan nuha). Adapun menjadi pegawai seperti pengelola zakat, maka tidak termasuk ke dalam daerah terlarang pada hadits yang mulia ini.
Sebagian mereka menjadikan dalil bahwa perempuan tidak pernah dicatat menjadi petugas pengelola zakat, yang menunjukkan bahwa perempuan tidak boleh menjadi amil zakat. Hal ini, menurut Al Qardhawi, tidak dapat dijadikan dalil/ hujjah. Karena situasi dan kondisi perempuan di bidang ekonomi dan sosial pada masa lampau tidak memungkinkan mereka menerima pekerjaan ini. Jadi di sini orang meninggalkan amalan yang tidak ada dalil pengharamannya.[14]
Yang lain berpendapat: Zahir ayat menunjukkan “wal ‘aamiliina ‘alaiha” (At Taubah: 60) tersebut tidak mencakup perempuan, karena “al ‘aamiliin” adalah jamak muzakkar (maskulin) (lihat: Syarah Ghayah al Muntaha: II/ 137). Jika asumsi ini diterima kebenarannya, maka kaum perempuan tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan “fuqarak”, “gharimin”, dan “ibnu sabil”, karena semua kata-kata ini adalah berbentuk muzakkar (maskulin). Pandangan seperti itu adalah berlawanan dengan ijmak, karena kaum perempuan dalam hal tadi adalah disamakan dengan laki-laki, meskipun dialog dan ungkapan kata (dalam ayat itu) adalah berbentuk muzakkar. Tegasnya, tidak ada dalil khusus yang melarang perempuan bekerja sebagai pengelola zakat. Sungguhpun begitu ada kaedah umum yang mengharuskan perempuan bersikap malu, dan menjauhkan diri daripadanya, yaitu; kewajiban untuk menjauhkan diri dari berdesak-desakan, bersaing dan bercampur baur dengan laki-laki tanpa hajat (keperluan yang memaksa), kaedah itulah yang menjadikan laki-laki lebih pantas dari perempuan menerima pekerjaan (amil zakat) ini. Kecuali pada batas tertentu, seperti kaum perempuan dipekerjakan untuk mendistribusikan zakat kepada perempuan-perempuan janda dan perempuan renta, dan sebagainya, dimana perempuan dinilai lebih mampu dan lebih bermanfa’at dari laki-laki, atau sekurang-kurangnya, lebih memadai, itulah bidang pekerjaan yang sesuai dengan kudrat perempuan yang dibenarkan syari’at.[15]
Kedelapan: Di antara ulama mensyaratkan amil zakat hendaklah orang merdeka, tidak boleh hamba sahaya. Pendapat ini ditolak oleh ulama lain dengan hadits riwayat Ahmad dan Al Bukhari, bahwa Rasulullah SAW bersabda, yang bermaksud: “… dan hendaklah kamu mendengar dan menta’ati, dan meskipun untukmu bekerja seorang budak habsyi yang kepalanya seolah-olah kismis/ anggur kering [wasma’uu wa athii’uu wa in ista’mala ‘alaikum ‘abdun habasyiyyun ka anna raksahu zabiibatun]” dengan demikian budak disamakan dengan orang merdeka [16]

AMIL ZAKAT DI INDONESIA

Dalam perjalanan sejarah yang panjang, perkembangan Islam telah merambah ke segenap penjuru dunia, termasuk ke nusantara yang diperkirakan masuk pada abad pertama hijrah (abad 7 a 8 Masehi) langsung dari tanah Arab. Demikian menurut Hasil Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di kota Medan pada 17-20 Maret 1963;[17] Namun, dalam rentang waktu yang sedemikian rupa, ternyata pengelolaan zakat di Indonesia belum berjalan menurut semestinya. Zakat ditunaikan oleh orang perorang tanpa pengelolaan yang baik, sehingga zakat tidak membawa manfa’at yang signifikan dan berdayaguna bagi kehidupan sosial kaum muslimin. Pada hal zakat adalah salah satu rukun Islam yang seringkali diperikutkan dengan kata shalat di dalam Al Quran, kurang lebih pada 82 ayat[18] … Kajian zakat hanya terbatas pada kajian ilmiah dan menghiasi literatur-literatur perpustakaan yang hanya dapat dicerna oleh kaum akademisi dan kalangan ulama tertentu…
Meskipun kita mendengar istilah “amil zakat” diucapkan masyarakat, namun istilah ini mengandung pengertian yang kurang tepat, karena biasanya dipergunakan untuk sebutan panitia pengumpul zakat fithrah pada akhir bulan Ramadhan, yang sifatnya insidentil. Panitia insidentil ini hanya bersifat swadaya, bukan permanent seperti yang dikendaki oleh ketentuan syari’at.
Secara yuridis formal pengelolaan zakat di Indonesia mulai diundangkan melalui “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat” dan “Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat”. Sedangkan tujuan dari undang-undang tersebut dituangkan pada Pasal 5 Pengelolaan zakat bertujuan: 1. meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama; 2. meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial; 3. meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat...
Meskipun Undang-undang itu telah berusia sembilan tahun, namun pengaplikasian di lapangan ternyata mengalami berbagai hambatan yang cukup memprihatinkan.
Di antara hambatan tersebut adalah:
1. Kurangnya perhatian dan sosialisasi Undang-undang Zakat kepada masyarakat luas oleh pihak pemerintah; terutama dalam penyediaan dana dan sumber daya manusia yang komprehenship.
2. Imej masyarakat yang terlanjut keliru dalam memahami pentingnya pengelolaan zakat melalui amil.
3. Kurangnya tenaga Pengelola Zakat yang propesional dan dipercayai masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah kita melihat posisi amil zakat, atau badan pengelola zakat dalam pandangan syari’at Islam, yang menurut para ulama fikih, wajib diwujudkan oleh pemerintah, maka sudah pada tempatnya seluruh kaum muslimin di Indonesia berpartisipasi aktif mensosialisasikan penerapan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 dimaksud. Dan kelemahan-kelemahan yang ada pada undang-undang tersebut agar disempurnakan lagi pada masa-masa mendatang.
Kita menyadari bahwa kendala terbesar dalam mewujudkan badan pengelola zakat yang komprehensip di Indonesia adalah imej masyarakat yang terlanjur keliru yang menganggap amil zakat sebagai hal yang tidak penting dalam syari’at, di samping faktor-faktor lain, tentunya, seperti gangguan atas kepentingan pribadi tertentu. Semua tantangan tersebut, Insya Allah akan dapat kita atasi, bila kita (dengan niat yang ikhlash mengharap-kan ridha Allah) saling bekerja sama. Pemerintah memperlihatkan keseriusannya, dan seluruh ulama, para ustaz dan muballigh, para pendidik dan para tokoh masyarakat muslim, berperan serta memberikan penerangan yang benar kepada masyarakat.…
Kemudian, kita menumbuhkan tenaga pengelola zakat yang propesional, yang amanah dan dipercayai ummat… karena sesungguhnya banyak sekali amal ibadah sosial dalam Islam berantakan, karena orang yang diberi tanggung jawab mengelolanya, ternyata kurang terjamin keamanahannya. Atau ada yang dinilai amanah tetapi tidak memiliki ilmu memadai sehingga jauh dari profesionalisme. Inilah yang tersimpul dalam terjemahan maksud sabda Rasulullah SAW ketika ada orang bertanya: “Wahai Rasulullah kapankah kiamat itu? Beliau menanggapi: “Bila amanat sudah hilang, maka tunggulah saat kehancurannya.” Orang bertanya: “Bagaimana menghilangkannya?” Nabi bersabda: “Bila sesuatu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”[19]
Akhirnya, “bila kamu bertekad akan melakukan suatu pekerjaan, maka bertawakkalah kamu kepada Allah” (Terjemahan, Qs. Ali Imran: 159). Semoga saja Badan Amil Zakat yang telah terbentuk memenuhi kriteria yang kita butuhkan, dan semoga Allah SWT meridhai kita semua. Amin! . Wallaahu a’lamu bis shawab.

DAFTAR PUSTAKA

1. Al Quranul Karim
2. Abu Ja’far, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Al Thabary (224-310H), “Tafsir al Thabary”, 1405 H, Beirut: Daar al Fikr.
3. Al Qurthuby, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar “Tafsir Al Qurthuby”, 1372 H, cetakan II, muhaqqiq: Ahmad Abdul ‘Alim Al Burduny Al Qahirah: Dar as-Sya’b.
4. Ad Dimasqy, Ismail bin Umar bin Katsir, “Tafsir Ibnu Katsir”, 1401 H, t.th. Beirut: Dar al-Fikr.
5. Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah, “Shaheh Al Bukhari”, 1987 M/ 1407H, cetakan III, editor: Dr. Mushtafa Dif al Bagha, Beirut: Dar Ibnu Katsir, al Yamamah.
6. An Naisabury, Muslim bin Al Hajjaj Abul Husain Al Qusyairy, “Shaheh Muslim”, t.th. editor: Muhammad Fuad Abdul Baqy, Beirut: Dar Ihyaai Turats al ‘Araby.
7. Al Busty, Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim At Tamimy, “Shaheh Ibnu Hibban bi Tartib Ibni Balban”, 1414 H 1993 M, Beirut: Muassasah al Risalah.
8. Abu Muhammad, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Muqaddisy, “Al Mughny fi Fiqh al Imam Ahmad bin Hanbal al Syaibany”, cet: I 1405H, Beirut: Daar al Fikr.
9. Abdullah bin Ali bin Al Jarud Abu Muhammad An Naisabury, “Al Muntaqa li Ibnil Jarud” 1408 H 1988M, cet: I, Muassasah Al Kitab al Tsaqafiyah, Beirut.
10. DR. Yusuf al Qaradlawy\فقه الزكاة\HTM.
11. Abdurrahman Al Jazairi, “Al Fiqh Ala al Madzahib al Arba’ah”, (t.t) Daar al Fikr, Beirut.
12. Sayyid Sabiq, “Fiqh Al Sunnah”, 1403H 1983M, cet. IV, Daar al Fikr, Beirut.
13. H. Saifuddin Zuhri “Sejarah Kebangkitan Islam Dan Perkembangannya di Indonesia”, 1981 cet.III, PT. AlMa’arif, Bandung.
14. Elias. A. Elias, “Qaamus Al Ashry/ Elias Modern Dictionary, Arabic – English”, 1979 H, edisi XII, Kairo: Syirkah Daarul Elias al Ashriyyah.
15. Poerwadarminta, W.J.S, “Kamus Lengkap; Inggris - Indonesia, Indonesia – Inggris”, 1982 M, cetakan 2, Bandung: Hasta.
16. Yunus, Mahmud “Kamus Arab – Indonesia”, 1990 M/ 1411 H, cetakan VIII, Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
17. http://www.gotquestions.org/Indonesia/Kristen-perpuluhan.htm
18. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.

*)Penulis, adalah Ketua Forum Cendikiawan Muslim (FCM) Pasaman Barat, dan anggota MUI Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar. Naskah ini dipersiapkan sebagai bahan Muzakarah MUI Propinsi Sumatera Barat dengan MUI Kabupaten/ Kota se-Sumatera Barat tanggal 9 s.d. 11 Mei 2008 di Simpang Empat Pasaman Barat (Telah disampaikan pada hari Sabtu 10 Mei 2008)
Hp. 085668938650, Email: muismahmud@gmail.com

No. Account:
Abdul Muis
Bank Nagari Cabang Ujung Gading
No.Rek. 1500.0210.04695-4
[1] Di dalam Bibel diterangkan tentang istilah Perpuluhan:
Perpuluhan adalah konsep Perjanjian Lama. Perpuluhan adalah peraturan Hukum Taurat di mana setiap orang Israel memberi 10% dari segala yang mereka peroleh untuk Tabernakel/Bait Suci (Imamat 27:30; Bilangan 18:26; Ulangan 14:24; 2 Tawarikh 31:5). Sebagian orang menganggap perpuluhan dalam Perjanjian Lama sebagai pajak untuk mencukupi kebutuhan dari para imam dan orang-orang Lewi dalam sistim korban. Dalam Perjanjian Baru tidak ada perintah atau rekomendasi untuk orang-orang Kristen tunduk kepada sistim perpuluhan yang legalistik. Paulus menyatakan bahwa orang-orang percaya sepatutnya menyisihkan sebagian dari penghasilan mereka untuk mendukung gereja (1 Korintus 16:1-2).
Perjanjian Baru tidak menentukan persentase penghasilan yang harus disisihkan tapi hanya mengatakan, “sesuai dengan apa yang kamu peroleh” (1 Korintus 16:2). Gereja Kristen mengambil angka 10% dari Perjanjian Lama dan menerapkannya pada “rekomendasi minimum” untuk orang Kristen dalam memberi persembahan. Namun demikian orang Kristen tidak perlu merasa wajib untuk selalu memberi perpuluhan. Orang Kristen sepatutnya memberi sesuai dengan apa yang mereka mampu, “sesuai dengan apa yang kamu peroleh.” Kadang-kadang ini berarti memberi lebih dari perpuluhan, kadang-kadang kurang dari perpuluhan. Setiap orang Kristen perlu berdoa dengan sungguh-sungguh dan meminta hikmat dari Tuhan mengenai memberi atau tidak memberi perpuluhan dan/atau berapa banyak yang dia berikan (Yakobus 1:5). Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita (2 Korintus 9:7).
( http://www.gotquestions.org/Indonesia/Kristen-perpuluhan.html )
[2] DR. Yusuf al Qaradlawy\فقه الزكاة\ PART1\CHAP1-B.HTM
جاءت السنة ببيان الأموال التي تجب فيها الزكاة، ونصاب كل منها، ومقدار الواجب فيها، وفصلت القول في الأشخاص والجهات التي تصرف لها وفيها الزكاة، وهي المذكورة في آية: (إنما الصدقات...) (التوبة:60)، وسنفصل القول في ذلك كله فيما بعد - ولكن الذي يهمنا معرفته هنا هو تاريخ فرض هذه الزكاة ذات النصب والمقادير المحددة.
فقد عرفنا أن الزكاة المطلقة غير المقدرة فرضت في مكة، كما اخترناه ورجحه كثير من الأمة، وكما دلت عليه آيات القرآن وأحاديث الرسول. وعرفنا أن القرآن المدني أكد وجوب الزكاة، وفصل بعض أحكامها، وأن السنة هي التي تولت تفصيل ما أجمله القرآن، وبينت النصب والمقادير والحدود، فمتى وقع هذا التحديد في العهد المدني؟ أو بعبارة أخرى: في أي سنة بعد الهجرة وقع فرض الزكاة المحدودة؟.
المشهور المتعالم: أنها فرضت في السنة الثانية من الهجرة، قيل: قبل فرض رمضان، وإليه أشار النووى في باب "السير" في الروضة.

ويعكر عليه ما ثبت عند أحمد وابن خزيمة والنسائي وابن ماجة والحاكم من حديث قيس بن سعد بن عبادة قال: "أمرنا رسول الله - صلى الله عليه وسلم - بصدقة الفطر قبل أن تنزل الزكاة ثم نزلت فريضة الزكاة" (الحديث).
قال الحافظ: إسناده صحيح. وهو دال على أن فرض صدقة الفطر كان قبل فرض الزكاة، فيقتضي وقوعها بعد فرض رمضان. وقد اتفقوا على أن صيام رمضان إنما فرص بعد الهجرة، لأن الآية الدالة على فرضيته مدنية بلا خلاف (فتح الباري: 3/171).
وجزم ابن الأثير في تاريخه: أن فرض الزكاة كان في السنة التاسعة من الهجرة، وقوى بعضهم ما ذهب إليه بما وقع في قصة ثعلبة بن حاطب المطولة ففيها: "لما نزلت آية الصدقة بعث النبي - صلى الله عليه وسلم - عاملاً يأخذها منه. فقال: ما هذه إلا جزية، وأخت الجزية".. والجزية إنما وجبت في التاسعة، فتكون الزكاة في التاسعة.
قال في الفتح: ولكن الحديث ضعيف لا يحتج به (بل قال في تخريج الكشاف ص77: ضعيف جدًا).
واستدل الحافظ على أن فرض الزكاة كان قبل التاسعة بحديث أنس في قصة ضمام بن ثعلبة (في الصحيحين) الذي جاء يسأل النبي - صلى الله عليه وسلم - وينشده الله أن بصدقة الجواب في عدة أمور كان منها: أنشدك الله، الله أمرك أن تأخذ هذه الصدقة من أغنيائنا فتقسمها على فقرائنا؟ قال "نعم". وكان قدوم ضمام سنة خمس. وإنما الذي وقع في التاسعة بعث العمال لأخذ الصدقات، وذلك يستدعى تقدم فرضية الزكاة قبل ذلك (فتح الباري - المرجع السابق). على أن آية: (إنما الصدقات).التي رد الله بها على الطامعين الذين إذا أعطوا منها رضوا، وإن لم يعطوا منها إذا هم يسخطون، وهم المنافقون الذين طعنوا في قسمة النبي - صلى الله عليه وسلم - للصدقات - هذه الآية تدل على أن الزكاة كانت قائمة ومنفذة فعلاً، وأن الرسول - صلى الله عليه وسلم - كان يتولى أمرها وتوزيعها، وذلك قبل نزول هذه الآية بلا ريب.
[3] Tentang keberadaan amil zakat, secara gamblang diungkapkan pada surat At Taubah ayat 60:
* $yJ¯RÎ) àM»s%y‰¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% †Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur †Îûur È@‹Î6y™ «!$# Èûøó$#ur È@‹Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒO‹Å6ym ÇÏÉÈ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di dalam hadits Nabi, misalnya kita temukan:
عن ابن عباس رضي الله عنهما ثم أن النبي صلى الله عليه وسلم بَعَثَ مُعَاذًا رضي الله عنه إِلَى اليَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنِّي رَسُولَ اللهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
Bersumber dari Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa sesungguhnya Nabi SAW telah mengutus Mu’az r.a. ke Yaman, lantas beliau bersabda: “Serulah mereka kepada syahadat bahwa tidak ada yang berhak diibadati dengan sebenarnya melainkan Allah, dan bahwa sesungguhnya aku adalah Rasul Allah. Jika mereka menta’atimu terhadap itu, maka ajarkanlah kepada mereka, bahwa Allah telah memfardhukan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka menta’atimu terhadap itu, maka ajarkanlah kepada mereka, bahwa Allah telah memfardhukan sedekah (zakat) dalam harta kekayaan mereka yang dikutip dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir miskin mereka.” (Shaheh Al-Bukhari juz II, halaman 505, NH. 1331, Muslim meriwayatkan dengan versi yang lain, Shaheh Muslim Juz I, halaman 50, NH. 19)

[4] Qaradlawy/فقه الزكاة / PART2/ CHAP4/ CHAP4P3.HTM#واجب الحكومة إرسال الجباة
ومن هنا نص الفقهاء: أنه يجب على الإمام أن يبعث السعاة لأخذ الزكاة، لأن النبي -صلى الله عليه وسلم- والخلفاء من بعده كانوا يبعثون السعاة، وهذا أمر مشهور مستفيض. ومن ذلك حديث أبى هريرة في الصحيحين أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- (بعث عمر بن الخطاب -رضى الله عنه- على الصدقة). وفيهما عن سهل بن سعد: أنه -عليه الصلاة والسلام- "استعمل ابن اللتبية على الصدقات" والأحاديث في هذا الباب كثيرة. ولأن في الناس من يملك المال ولا يعرف ما يجب عليه، ومنهم من يعرف ويبخل فوجب أن يبعث من يأخذ (المجموع للنووي: 6/167).
ويبعث الإمام أو نائبه عمال الزكاة للزروع والثمار -وهى ما لا يتعلق بالحول- وقت وجوبها، وهو إدراكها، بحيث يصلهم وقت الجذاذ والحصاد. وأما المواشي وغيرها من الأموال التي يعتبر فيها الحول، فينبغي للساعي أن يعين شهرًا يأتيهم فيه، ويستحب أن يكون ذلك الشهر هو المحرم، صيفًا كان أو شتاء، لأنه أول السنة الشرعية (المصدر نفسه ص 170).
[5] Muslim/II/ 676/ HN. 983
صحيح مسلم ج: 2 ص: 676
باب في تقديم الزكاة ومنعها 983 وحدثني زهير بن حرب حدثنا علي بن حفص حدثنا ورقاء عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة قال ثم بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم عمر على الصدقة فقيل منع بن جميل وخالد بن الوليد والعباس عم رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما ينقم بن جميل إلا أنه كان فقيرا فأغناه الله وأما خالد فإنكم تظلمون خالدا قد احتبس أدراعه وأعتاده في سبيل الله وأما العباس فهي علي ومثلها معها ثم قال يا عمر أما شعرت أن عم الرجل صنو أبيه
[6] Al Bukhari/ II/ 546/ NH 1429
صحيح البخاري ج: 2 ص: 546
66 باب قول الله تعالى والعاملين عليها ومحاسبة المصدقين مع الإمام 1429 حدثنا يوسف بن موسى حدثنا أبو أسامة أخبرنا هشام بن عروة عن أبيه عن أبي حميد الساعدي رضي الله عنه قال ثم استعمل رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا من الأسد على صدقات بني سليم يدعى بن اللتبية فلما جاء حاسبه
[7] Sayyid Sabiq/ Fiqh al Sunnah/ I/ 327.
Abdurrahman Al Jazairi, “Al Fiqh Ala al Madzahib al Arba’ah”, Daar al Fikr, Beirut (tt), Juz I halaman 987:
الفقه على المذاهب الأربعة [ جزء 1 - صفحة 987 ]
و " العامل على الزكاة " هو من له دخل في جميع الزكاة : كالساعي والحافظ والكاتب وإنما يأخذ العامل منها إذا فرقها الإمام ولم يكن له أجرة مقدرة من قبله فيعطى بقدر أجر مثله
[8] Ibrahim bin Ali bin Yusuf As Syairazy Abu Ishaq “Al Muhazzab” Daar al Fikr, Beirut juz I halaman 168:
المهذب ج: 1 ص: 168
فصل في بعث السعاة للصدقة ويجب على الإمام أن يبعث السعاة لاخذ الصدقة لان النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء من بعده كانوا يبعثون السعاة ولان في الناس من يملك المال ولا يعرف ما يجب عليه وفيهم من يبخل فوجب أن يبعث من يأخذ
An Nawawi, Abu Zakarya Muhyiddin (w. 676), “Al Majmu’ Syarhil Muhazzab”, 1417-1996, Beirut: Daarul Fikr. Juz VI, halaman 150.
المجموع ج: 6 ص: 150
قال المصنف رحمه الله تعالى ويجب على الإمام أن يبعث السعاة لأخذ الصدقة، لأن النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء من بعده «كانوا يبعثون السعاة» ولأن في الناس من يملك المال ولا يعرف ما يجب عليه، ومنهم من يبخل، فوجب أن يبعث من يأخذ
[9] Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Muqaadisi Abu Muhammad (541 H- 620H), “Al Mughny” 1405 cet. I, Daar Al Fikr, Beirut, juz II, halaman 273
المغني ج: 2 ص: 273
مسألة قال إلا أن يكونوا من العاملين عليها فيعطون بحق ما عملوا وجملته أنه يجوز للعامل أن يأخذ عمالته من الزكاة سواء كان حرا أو عبدا وظاهر كلام الخرقي أنه يجوز أن يكون كافرا وهذه إحدى الروايتين عن أحمد لأن الله تعالى قال والعاملين عليها التوبة 60 وهذا لفظ عام يدخل فيه كل عامل على أي صفة كان ولأن ما يأخذ على العمالة أجرة عمله فلم يمنع من أخذه كسائر الإجارات والرواية الأخرى لا يجوز أن يكون العامل كافرا لأن من شرط العامل أن يكون أمينا والكفر ينافي الأمانة ويجوز أن يكون غنيا وذا قرابة لرب المال وقوله بحق ما عملوا يعني يعطيهم بقدر أجرتهم والإمام مخير إذا بعث املا إن شاء استأجره إجارة صحيحة ويدفع إليه ما سمي له وإن شاء بعثه بغير إجارة ويدفع إليه أجر مثله وهذا كان المعروف على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فإنه لم يبلغنا أنه قاطع أحدا من العمال على أجر وقد روى أبو داود بإسناده عن ابن الساعدي قال استعملني عمر على الصدقة فلما فرغت منها وأديتها إليه أمر لي بعمالة فقلت إنما عملت لله وأجري على الله قال خذ ما أعطيت فإني قد عملت على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فعملني فقلت مثل قولك فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أعطيت شيئا أن تسأله فكل وتصدق فصل ويعطى منها أجر الحاسب والكاتب والحاشد والخازن والحافظ والراعي ونحوهم فكلهم معدودون من العاملين عليها ويدفع إليهم من حصة العاملين عليها فأما أجر الوزان والكيال ليقبض الساعي الزكاة فعلى رب المال لأنه من مؤونة دفع الزكاة
[10] Qaradlawy/ فقه الزكاة/PART2/ CHAP4/ CHAP4P3.HTM#شروط العاملين في الزكاة
العلم بأحكام الزكاة:
واشترطوا أيضًا أن يكون عالمًا بأحكام الزكاة، إن كان ممن يفوض إليه عموم الأمر؛ لأنه إذا كان جاهلاً بذلك، لم تكن له كفاية لعمله وكان خطؤه أكثر من صوابه (انظر المجموع للنووي: 6/167 وشرح غاية المنتهى: 2/137).لأنه يحتاج إلى معرفة ما يؤخذ وما لا يؤخذ، ويحتاج إلى الاجتهاد الجزئي فيما يعرض من مسائل الزكاة وأحكامها.وأما إذا كان عمله جزئيًا محددًا بدائرة معينة مهمته أن ينفذها فلا يشترط علمه إلا بما كلف به.
[11] Ibid.
الكفاية للعمل:
أن يكون كافيًا لعمله، أهلاً للقيام به، قادرًا على أعبائه. فإن الأمانة وحدها لا تكفى ما لم يصحبها القوة على العمل والكفاية فيه: (إن خير من استأجرت القوى الأمين) (القصص: 26). ولذا قال يوسف -عليه السلام- للملك: (اجعلني على خزائن الأرض، إني حفيظ عليم) (يوسف: 55). فالحفظ يعنى الأمانة، والعلم يعنى الكفاية والخبرة. وهما أساس كل عمل ناجح.
[12] نيل الأوطار ج: 4 ص: 231
وعن المطلب بن ربيعة بن الحرث بن عبد المطلب أنه والفضل بن عباس انطلقا إلى رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال ثم تكلم أحدنا فقال يا رسول الله جئناك لتؤمرنا على هذه الصدقات فنصيب ما يصيب الناس من المنفعة ونؤدي إليك ما يؤدي الناس فقال إن الصدقة لا تنبغي لمحمد ولا لآل محمد إنما هي أوساخ الناس مختصر حصول ومسلم وفي لفظ لهما لا تحل لمحمد ولا لآل محمد قوله أوساخ الناس هذا بيان لعلة التحريم والإرشاد إلى تنزه الآل عن أكل الأوساخ وإنما سميت أوساخا لأنها تطهرة لأموال الناس ونفوسهم كما قال تعالى تطهرهم وتزكيهم بها التوبة 301 فذلك من التشبيه وفيه إشارة إلى أن المحرم على الآل إنما هو الصدقة الواجبة التي يحصل بها تطهير المال وأما صدقة التطوع فنقل الخطابي وغيره الإجماع على على النبي صلى الله عليه وآله وسلم وللشافعي قول إنها تحل وتحل للآل على قول الأكثر وللشافعي قول بالتحريم وسيأتي الكلام في تحريم الصدقة الواجبة على بني هاشم وظاهر هذا الحديث أنها لا تحل لهم ولو كان أخذهم لها من باب العمالة وإليه ذهب الجمهور وقال أبو حنيفة والناصر العمالة معاوضة بمنفعة والمنافع مال فهي كما لو اشتراها بماله وهذا قياس فاسد الاعتبار لمصادمته للنص
المنتقى لابن الجارود ج: 1 ص: 280
1113 حدثنا محمد بن يحيى قال ثنا يعقوب بن إبراهيم بن سعد قال ثنا أبي عن صالح عن بن شهاب عن عبد الله بن عبد الله بن الحارث بن نوفل بن الحارث بن عبد المطلب أنه أخبره عبد المطلب بن ربيعة بن الحارث بن عبد المطلب أخبره أنه اجتمع ربيعة بن الحارث والعباس بن عبد المطلب فقالا ثم والله لو بعثنا هذين الغلامين لي وللفضل بن العباس إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمرهما على هذه الصدقات فذكر بعض الحديث قال فكلمناه فقلنا يا رسول الله جئناك لتؤمرنا على هذه الصدقات فقال ألاإن الصدقة لا تنبغي لمحمد ولا لآل محمد إنما هي أوساخ الناس ادع لي محمية بن الجزء وكان على العشور وأبا سفيان بن الحارث فأتياه فقال لمحمية أنكح هذا الغلام ابنتك للفضل فأنكحه وقال لأبي سفيان أنكح هذا الغلام ابنتك فأنكحه ثم قال لمحمية أصدق عنهما من الخمس
صحيح ابن حبان ج: 10 ص: 385
أنه اجتمع ربيعة بن الحارث وعباس بن عبد المطلب فقالا ثم والله لو بعثنا هذين الغلامين قال لي وللفضل بن العباس إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمرهما على هذه الصدقات فأديا ما يؤدي الناس وأصابا ما يصيب الناس من المنفعة قال فبينما هما في ذلك جاء علي بن أبي طالب فقال ماذا تريدان فأخبراه بالذي أرادا فقال لا تفعلا فوالله ما هو بفاعل فقالا لم تصنع هذا فما هذا منك إلا نفاسة علينا فوالله لقد صحبت رسول الله صلى الله عليه وسلم ونلت صهره فما نفسنا ذلك عليك فقال أنا أبو حسن أرسلوهما ثم اضطجع فلما صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الظهر سبقناه إلى الحجرة فقمنا عندها حتى مر بنا صلى الله عليه وسلم فأخذ بآذاننا وقال اخرجا ما تصرران ودخل فدخلنا معه وهو يومئذ في بيت زينب بنت جحش قال فكلمناه فقلنا يا رسول الله جئناك لتؤمرنا على هذه الصدقات فنصيب ما يصيب الناس من المنفعة ونؤدي إليك ما يؤدي الناس قال فسكت رسول الله صلى الله عليه وسلم ورفع رأسه إلى سقف البيت حتى اردنا أن نكلمه قال فأشارت إلينا زينب من وراء حجابها كأنها تنهانا عن كلامه ثم اقبل فقال ألا إن الصدقة لا تنبغي لمحمد ولا لآل محمد إنما هي اوساخ الناس ادع لي محمية بن جزء وكان على العشور وأبا سفيان بن الحرث قال فأتيا فقال لمحمية أنكح هذا الغلام ابنتك للفضل فأنكحه وقال لأبي سفيان أنكح هذا الغلام ابنتك قال فأنكحني ثم قال لمحمية اصدق عنهما من الخمس
[13] Shaheh Al Bukhari/ IV/ 1610.
صحيح البخاري ج: 4 ص: 1610
4163 حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم أيام الجمل بعد ما كدت أن ألحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم أن أهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة
[14] Qardhawi, op.cit
واشترط بعضهم أن يكون العامل ذكرًا، ولم يجوزوا اشتغال المرأة بالعمالة، لأنها ولاية على الصدقات، ولا دليل على ذلك إلا أن يحتجوا بقوله -صلى الله عليه وسلم-: (لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة) (رواه البخاري في كتاب "الفتن والمغازي" من صحيحه من حديث الحسن البصري عن أبى بكرة).
ولكن هذا إنما يكون في الولاية العامة التي تكون فيها المرأة صاحبة الأمر والنهى. أما الوظائف -ومنها العمالة على الزكاة- فلا تدخل في دائرة هذا الحديث الشريف.
ومنهم من استدل بأنه لم ينقل أن امرأة وليت عمالة زكاة البتة، وتركهم ذلك قديمًا وحديثًا يدل على عدم جوازه.وهذا ليس بدليل، فقد كانت ظروف المرأة الاقتصادية والاجتماعية في تلك العهود لا تؤهلها لمثل هذا العمل. وترك الناس عملاً ما لا يدل على حرمته.
[15] Ibid
وبعضهم قال: إن ظاهر قوله تعالى: (والعاملين عليها) (التوبة: 60). لا يشملها، لأن "العاملين" جمع للذكور (انظر: شرح غاية المنتهى: 2/137). ولو صح ذلك لامتنع إدخال المرأة في الفقراء والغارمين وابن السبيل؛ لأنها جميعًا للذكور. وهذا خلاف للإجماع، لأن المرأة تبع للرجل في ذلك كله، وإن كان الخطاب أو الصيغة للمذكر. والحق أنه ليس في المسألة دليل خاص يمنع المرأة من الاشتغال بالعمالة على الزكاة. ولكن القواعد العامة التي توجب على المرأة الاحتشام والبعد عن مزاحمة الرجال والاختلاط بهم لغير حاجة، يجعل الرجل أولى بهذا العمل من المرأة. إلا في نطاق محدود، كأن تستخدم المرأة لإيصال الزكاة إلى الأرامل والعاجزات من النساء ونحو ذلك، مما تكون المرأة فيه أقدر وأنفع من الرجل، أو على الأقل مثله في الكفاية له، وهو أمر يقدر بقدره، ولا يضيق به الشرع الرحيب.
[16] Ibid
واشترط بعضهم أن يكون حرًا لا عبدًا، ورد ذلك غيرهم بما رواه أحمد والبخاري أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال: (… واسمعوا وأطيعوا وإن استعمل عليكم عبد حبشي كأن رأسه زبيبة). ولأنه يحصل منه المقصود فأشبه الحر (المصدر السابق ص 138).
[17] H. Saifuddin Zuhri/ Sejarah Kebangkitan Islam Dan Perkembangannya di Indonesia/ 175-176
[18] Fiqh al Sunnah, Op.cit/ 276
[19] Al Bukhari/ I/ 33/ HN. 59.
صحيح البخاري ج: 1 ص: 33
59 حدثنا محمد بن سنان قال حدثنا فليح ح وحدثني إبراهيم بن المنذر قال حدثنا محمد بن فليح قال حدثني أبي قال حدثني هلال بن علي عن عطاء بن يسار عن أبي هريرة قال ثم بينما النبي صلى الله عليه وسلم في مجلس يحدث القوم جاءه أعرابي فقال متى الساعة فمضى رسول الله صلى الله عليه وسلم يحدث فقال بعض القوم سمع ما قال فكره ما قال وقال بعضهم بل لم يسمع حتى إذا قضى حديثه قال السائل عن الساعة قال ها أنا يا رسول الله قال فإذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة قال كيف إضاعتها قال إذا وسد الأمر أهله فانتظر الساعة

Tidak ada komentar:

Posting Komentar