Kamis, Agustus 28, 2008

silaturrahim

SILATURRAHIM DAN PENYAKIT KEKUASAAN


Oleh: Abdul Muis Mahmud*)

ada dua penyakit kekuasaan seperti virus yang akan menggerogoti kehidupan kita,
menghancurkan sistem syaraf, otak dan urat nadi kemanusiaan kita. Pertama: Bila berkuasa cenderung berbuat kerusakan. Kedua: Bila berkuasa senang memutuskan hubungan rahim….

Silaturrahim

Menurut suatu riwayat yang bersumber dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda, yang bermaksud:

“Sesungguhnya Allah SWT menciptakan makhluk, setelah selesai penciptaannya, maka rahim berdiri dan berkata: Inikah tempat berdiri orang yang berlindung kepadaMu dari memutuskan (rahim)?
Allah berfirman: “Benar! Apakah engkau senang Aku berhubungan dengan orang yang menghubungkanmu dan Aku putuskan (hubungan dengan) orang yang memutuskanmu?”
Rahim berkata: “Senang, wahai Tuhanku!”
Kemudian, Rasulullah SAW bersabda: Bacalah olehmu [Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Terjemahan Qs. Muhammad: 22] (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari Juz V, halaman 2232, No. 5641, Muslim, Juz IV, halaman 1980, No. 1981)

Hadits di atas dijadikan oleh para ulama sebagai dasar hukum; wajib memelihara silaturrahim dan haram memutuskannya.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan silaturrahim itu?

Silaturrahim adalah kata benda majemuk (bahasa Arab) yang terdiri dari gabungan dua suku kata (mudhaf dan mudhafu ilaihi) “silat(u)” dan “ar rahim(i).”

Silat(u). Kata ini berakar pada huruf “waw, shad, lam”, yang mengandung makna “menghubungan, menyambungkan”, dan lain-lain sesuai dengan konteks verbal yang dimaksud oleh si pembicara (lihat, Qamus al Muhith, Juz I halaman 1380). Bila dihubungkaitkan dengan kata ‘ar rahim”, maka makna yang relevan adalah “menghubungkan, menjalinkan atau menyambungkan”.

Rahim. Kata ini berakar dengan huruf ra, ha, mim, dengan makna pokok “rahmat [kasih sayang]“ar riqqah [lemah lembut]” dan “at ta’atthuf [rasa simpati]”. (Ar Razi “Mukhtar al Shihah” Juz I halaman 100 dan “Lisan al ‘Arab” juz XII, hal. 230).

Bentuk yang ditemukan dalam Al Quran, kata “rahim”, jamaknya “arham” adalah berarti “qarabah [kekeluargaan/ kekerabatan] dan “asbaab al qarabah wa ashluha, ar rahimu allati hiya manbat al walad [kandungan/ rahim ibu]”.

Ditinjau dari makna pokok, maka “rahim” tidak terpisah dari “rahmat”.

Menurut Ibnu Manzur: Orang Arab mempergunakan kata “rahmat manusia” bermaksud “kelembutan hati dan kasih sayangnya [riqqatul qalb wa ‘itfuhu)”. Sedangkan “rahmat Allah” bermaksud “kasih sayangNya, kebajikanNya, dan rezekiNya [‘athfuhu wa ihsanuh, wa rizquhu]”. (Lisan al ‘Arab, ibid).

Dari pemahaman bahasa di atas, maka dapat diketahui bahwa silaturrahim sebagai hubungan kekeluargaan yang terjalin dengan kasih sayang, kelembutan hati dan rasa simpati.

Ditinjau dari konsep sosiologis, sesungguhnya seluruh manusia adalah berasal dari keluarga yang satu (Adam dan Hawa). Maka wacana silaturrahim dalam konsep universal bermakna; jalinan kemanusiaan yang diliputi kasih sayang, kelembutan hati dan rasa simpati.

Dua penyakit kekuasaan

Selanjutnya, dalam surat Muhammad ayat 22, seperti yang disinyalir dalam hadits di atas Allah SWT berfirman, terjemahannya:

Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan rahim (kekeluargaan)?

Jadi menurut ayat ini; ada dua penyakit kekuasaan seperti virus yang akan menggerogoti kehidupan kita, menghancurkan sistem syaraf, otak dan urat nadi kemanusiaan kita. Pertama: Bila berkuasa cenderung berbuat kerusakan. Kedua: Bila berkuasa senang memutuskan hubungan rahim….
Jika kita tidak melakukan usaha preventif dari dijangkiti penyakit kekuasaan ini, dengan mempertebal iman dan taqwa… maka kita akan menghadapi petaka yang lebih besar, seperti ditegaskan Allah SWT pada lanjutan ayat 22 surat Muhammad ini, yang terjemahannya:

Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.

“La’nat”, seperti diungkapkan oleh Ar Razi adalah: “Terusir, terpencil/ terjauh dari rahmat Allah [at thardu wa al ib’adu min al khairi]” (Mukhtar al Shihah, juz I hal 250).

Laknat dalam konteks kehidupan sosial bisa berwujud situasi dan kondisi yang menyusahkan, menggelisahkan dan menyengsarakan, yang sulit dicari jalan ke luarnya.

Laknat dalam konteks politik pada asfek tertentu adalah kehancuran suatu bangsa, dengan hilangnya jati diri bangsa itu lalu menghadapi kesengsaraan demi kesengsaraan. Laknat seperti inilah yang telah menimpa Bani Israil dahulu kala, seperti firman Allah SWT, yang bermaksud:

“Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam, yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas… Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (Terjemahan Qs. Al Maidah: 78-79)

Sebagai muslim yang beriman kepada Kitabullah, maka kita dapat memprediksi bahaya yang bakal menimpa kita semua, jika penguasa (legislatif dan yudikatif) dijangkiti dua sikap mental tadi; (1) senantiasa melakukan kerusakan, melanggar prinsip agama; dan meremehkan norma-norma hukum, moral, dan lain sebagainya, lalu (2) saling memutuskan tali rahim (silaturrahim), dengan cara menyebarkan berita bohong, propokasi, intrik-intrik politik, dan menghalalkan segala cara guna mendiskreditkan orang lain, dan sebagainya, dan sebagainya… mereka yang berkarakter sedemikian rupa adalah para pengundang laknat dari Allah SWT. Setelah itu, mereka akan dijangkiti penyakit bebal jiwa, bermuka tembok dan pekak, tuli: Mereka Itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka… Mereka adalah orang-orang yang gila jabatan, mabuk kekuasaan, dan ingin menjadi penguasa seribu tahun lagi. Sementara tangisan rakyat, rintihan jiwa orang-orang tertindas, keluhan rakyat kelaparan, tidak didengar sama sekali…

Di sisi lain, jika kita melihat realitas bangsa kita pada hari ini, dimana fenomena budaya merusak telah menjalar menerkam semua komponent masyarakat kita, mulai dari akar rumput sampai ke tingkat elit kekuasaan… dan budaya silaturrahim hampir-hampir menguap dilanda badai peradaban materialisme…, maka saya pikir; sudah sewajarnya Tuhan menggiring kita ke dalam lingkaran krisis multidimensi, agar kita sadar dan segera berbenah diri.

Mungkin terlampau ektrim terdengar di telinga kita, bila krisis multidimensi diasumsikan sebagai terjemahan lain dari kosa kata “la’nat”…

Melihat realitas yang berkembang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang, yang oleh sebagian ahli dinilai telah sampai mendekati tingkat kumulatif terendah, maka tidaklah salah kita usulkan kepada pemerintah, agar memprogramkan perbaikan bangsa dan negara ke depan; dengan memprioritaskan agenda perbaikan sikap mental, terutama menghilangkan kebiasaan merusak dari tingkat elit kekuasan sampai ke akar rumput…

Konsep perbaikan yang kita maksud adalah dengan mengamalkan ajaran agama secara murni dan konsekwen… Barangkali sudah cukup bagi kita sebagai pelajaran, dimana pada masa orde baru dahulu, sekitar tahun delapan puluhan, pemerintah telah mencoba berusaha memperbaiki moralitas bangsa, dengan menomor sekiankan ajaran agama. Agama hanya dipakai sebagai alat pembenaran falsafah Pancasila, yang direalisasikan melalui penataran P4, maka untuk mensukseskan program tersebut telah terkuras biaya negara yang tidak sedikit, namun tidak membawa manfaat yang signifikan bagi negara ini. Mengapa hal ini terjadi? Karena falsafah bertahta di otak manusia, sedangkan agama bertahta di hati manusia. Falsafah hanya mungkin dicerna oleh kalangan tertentu, sedangkan agama menyentuh kalbu seluruh manusia.

Di samping itu, kembali kepada konsep rabbani melalui Al Quran dan hadits-hadits Nabi, maka jelas terbaca bahwa orang-orang yang senantiasa berbuat kebajikan, beriman dan bertaqwa (Qs. Al A’raf: 96-98) yang selalu memelihara silaturrahim, akan dilapangkan Allah SWT rezekinya.(Al Bukhari No.5986, Muslim No. 2557), dan akan dilepaskan dari berbagai kesulitan yang dihadapinya…(Qs. Ibrahim: 7)

Jadi, di antara kebutuhan mendesak yang kita perlukan pada hari ini dalam menyelesaikan krisis multi dimensi yang menjerat bangsa kita adalah menghilangkan kebiasaan merusak dalam arti seluas-luasnya dan membudayakan silaturrahim.

*). Tulisan ini dikembangkan luaskan dari ceramah pengajian kaum ibu di MIS Masjid Raya Ujung Gading Jum’at 23 November 2007

Email: muismahmud@gmail.com
No. Account:
Abdul Muis
Bank Nagari cabang Ujung Gading
No.Rek. 1500.0210.04695-4

2 komentar:

  1. Yah.. cubo pasang buku tamu nyo di blog ayah ko...! bak bisa berinteraksi langsung jo pembaca...!

    BalasHapus
  2. Setuju merekat dan menjalin kembali silaturrahim yg mulai renggang,supaya kita tdk termasuk orang2 yg memutuskan silaturrahim.

    BalasHapus