Kamis, Oktober 10, 2013

TENTANG ANAK-ANAK SHALAT PADA SHAF ORANG DEWASA

 Pada waktu senggang saya biasa menghabiskan waktu untuk bereakreasi memancing ikan... Dan hari ini saya pergi memancing bersama putera bungsu saya yang duduk di bangku kelas II SD, dengan tujuan Muara Batang Sikerbau, atau Muara Pasar Air Bangis.

Keberangkatan kami dari Ujung Gading menuju Air Bangis kebetulan sudah mendekati waktu zuhur. Maklum, berangkat setelah si bungsu pulang sekolah….

Demikianlah, kami menunggu waktu shalat Zuhur di Masjid Nurul Iman Pasar Air Bangis.

Kurang lebih dua puluh menit berselang, azan Zuhur-pun dikumandangkan oleh seorang muazzin tua; mungkin beliau adalah gharim masjid bersangkutan… Lantas… tibalah waktu shalat diiqamatkan.

Mengingat jama’ah shalat anak-anak pada waktu itu hanyalah putera saya seorang…, maka saya sengaja membawanya ke ujung shaf sebelah kiri, dengan maksud; agar tidak membaur di tengah shaf orang dewasa.

Rupanya orang tua (muazzin itu), menyusul kami yang berada di sudut shaf sebelah kiri –padahal baru saja beliau iqamat dan semestinya beliau berada di belakang  imam— lantas  tanpa terduga sama sekali, si orang tua ini membentak saya dan hendak mengusir anak saya dari shaf shalat sambil mengatakan:

“Di sini anak-anak tidak boleh shalat pada shaf orang dewasa!”

Saya mengerti dengan ucapan beliau bahwa; dalam aturan yang ideal tentang shaf shalat, maka shaf anak-anak laki-laki hendaklah berada di belakang shaf orang lelaki dewasa… Tetapi, dalam kajian Hadits dan Fiqhi juga ditemukan larangan shalat sendirian di belakang shaf, meskipun anak-anak… Oleh sebab itu –seperti kami terapkan pada Masjid Raya Ujung Gading—apabila ada seorang anak laki-laki saja yang mengikuti shalat berjama’ah, maka kami menyuruhnya untuk berada pada ujung shaf orang dewasa.

Perbuatan kasar orang tua itu, dengan lemah lembut saya tanggapi:“Tetapi, Bapak! Nabi SAW melarang shalat sendirian di belakang shaf”.

Dengan nada yang lebih keras, beliau membentak lagi: “Suruh dia bersandar ke tiang itu, atau duduk di belakang!” Maksudnya: Tidak usah ikut shalat!

Suasana tidak kondusif, rupanya…. dan tidak pada tempatnya untuk berdebat, apalagi shalat sudah diiqamatkan, tambahan pula; para jama’ah lain-pun memandang ke arah kami.

Akhirnya, saya mundur ke belakang bersama anak saya yang hendak diusir shalat oleh orang tua itu, guna menemani sang anak pada shaf kedua di belakang shaf orang dewasa.

Dari peristiwa itu, lama sekali saya berpikir:

1. Mengapa orang yang pada lahirnya adalah ahli ibadah menempuh cara yang tidak Islami dan kasar kepada sesama muslim hanya karena masalah fiqhiyah sedemikian rupa? Apa salahnya memberi pengertian dengan cara yang bersahabat, mengingat kita sebagai sesama mukmin yang akan bermunajat kepada Ilahi Rabbi…?! tambahan pula posisi kami sebagai tamu, yang sudah barang tentu tidak mengerti situasi kondisi yang berlaku selama ini di masjid itu?!

2. Apakah di Air Bangis, khususnya di Masjid Nurul Iman Pasar Air Bangis, diharamkan anak-anak shalat pada shaf orang dewasa, walaupun dengan alasan sang anak sendirian di belakang shaf?! Ataukah mereka menganggap batal shalat bila shaf orang dewasa dimasuki anak-anak…? Jika hal demikian telah menjadi paham keagamaan bagi mereka, maka menurut saya ini adalah perkara besar yang menyesatkan!

Demikianlah!

Jika pemahaman fiqhi yang kaku diterapkan, maka boleh jadi kita akan mengorbankan prinsip Islam yang lain, yang jauh lebih urgen dan substansial dari paham fiqhi yang sempit itu sendiri.

UG, 9 Oktober 2013 pukul 21:10